Mazhabkepanjen.com - Sedari
awal kerja dari filsuf adalah menciptakan “keresahan”. Menggugat kejumudan
berfikir, menggelitik status quo yang
memproduksi kebenaran ekslusif yang berselingkuh dengan para perumus mitos-mitos.
Dibalik kebenaran palsu alam mitos, para penguasa bermanuver melebarkan sayap
dominasi dan hegemoninya. Sementara rakyat dikungkung dalam kesadaran magis dan
naif. Mereka meyakini bahwa penderitaannya selama ini adalah takdir dan
kehendak para dewa, sementara manusia sebagai hamba tak punya hak untuk
mengajukan interpelasi tentang kondisinya karena sakral.
Model-model dominasi demikianlah yang
didekonstruksi oleh para filsuf bahkan
sejak Thales 640-546 SM. Yang dimulai dari memperdebatkan persoalan kosmologi,
disitu juga hadir Anaximandros 611-547 SM dan Anaximenes 538-480 SM. Reinkarnasi
jiwa (mazhab pythagorean) yang dipandu lansung Pythagoras 570-480 SM, keajekan
alam (mazhab elea) yang salah satu dedengkotnya adalah Parminides 515-455 SM, tentang
aneka anasir alam (mazhab pluralisme) yang salah satu motornya Empedokles
484-424 SM, Perubahan yang terus mengalir oleh Herakleitus, ketakterbatasan
benda terkecil (mazhab atomis) di gagas oleh Leukippos dan Demokritos 460-370
SM, kemudian si pandai bersilat lidah (kaum sofis) yang salah satu agennya
adalah Protagoras.
Sementara Sokrates keluar dari
wilayah debat kosmologi dan berpijak pada pengetahuan manusia sebagai yang
utama, segala sesuatu di bumi ini harus dipertanyakan “mengapa demikian?”. Arete adalah sumber dari kebenaran
hidup. “Orang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik” adalah diktum yang
terus dikumandangkan. Sokrates terus
berkeliling dari satu tempat ketempat lain dari satu pemuda ke pemuda lain untuk
berdebat tentang “budi”.
Caranya untuk mempengaruhi dianggap meracuni pemuda,
karena itu ia mendapat julukan Gadfly of
Athena (lalat pengganggu Athena). Pada saat yang sama ia dikritik oleh para
kaum sofis tentang keabsolutan ajarannya. “Kebenaran tak lagi di tangan seorang
filsuf” demikian kilah kaum sofis, tetapi setiap manusia punya kebenarannya
sendiri. Namun demikian, Sokrates tidak gentar dengan invasi kaum sofis. Malah
ia memetakan beberap tipe bernegara mulai dari Aristokrasi, Timokrasi,
Oligarki, Demokrasi dan Tirani.
Dan ia dengan tegas mengatakan Aristokrasilah yang paling tepat. Negara harus
dipimpin oleh orang pinter seperti para filsuf bukan orang yang karena di
dukung oleh banyak orang. Ini sekaligus menjadi tamparan serius bagi sistem
demokrasi yang kini kita juga memujanya.
Keberanian Sokrates untuk menerobos
kematangan mitologi yunani, membuatnya dihujat oleh para penguasa. Ajarannya
membahayakan status quo, ia pun
dikecam sebagai anak tidak saleh yang menentang para dewa, ia kemudian dihukum
mati dengan meneggak racun. Kejadian ini membuat miris salah seorang muridnya,
Plato. Baginya, Sokrates yang benar dalam kasus itu atau bahkan manusia paling
benar sedunia. Sokrates boleh “sedho” tetapi ajarannya tetap mengalir deras di
alam Yunani hingga ke pelosok dunia. Dan Plato menjadi orang paling berhasil
dalam mendaur Ulang otak Sokrates. Platolah yang membukukan ajaran Sokrates
hingga saat ini. Lalu bagaimana Plato
mempertahankan radikalitas ajaran Sokrates hingga dirinya terhindar dari kematian? Mari kita bedah bersama!
Tulisan Sebagai Memo
Yang
kita tahu adalah tak ada satu huruf pun yang berhasil di tulis oleh Sokrates,
jika kita berbicara hukum maka Sokrates tidak punya hak cipta atau HaKi (hak
kekayaan intelektual) atas karya pemikirannya. Artinya pemikiran Sokrates bisa
saja diakui oleh siapapun termasuk para filsuf di STF Al-Farabi. Sedikit ganjil
memang, seseorang yang dijuluki mahaguru filsafat ternyata tidak punya karya
sama sekali dan itu berbanding terbalik dengan para pemikir filsafat modern
dengan setumpuk karyanya. Bahkan juga ada anjuran bagi para penerus Sokrates
untuk terus menulis agar bisa mendokumentasikan orisinalitas pemikirannya,
misalnya para pemikir digubuk STF Al-Farabi diminta untuk buat makalah, artikel
dsb. Namun bukan berarti orang kaya harus punya grobak cilok, lesehan bakso
dsb.
Lalu
apa gerangan yang menyebabkan Sokrates “masa bodoh” dengan karya tulis?
Benarkah ia sibuk layaknya para pejabat atau para mahasiswa dengan
setumpuk kegiatannya, lalu tidak punya waktu untuk menulis? Jika
ditilik dari beberapa referensi sejarah tentang Sokrates dia memang menggunakan
metode yang berbeda untuk menyampaikan gagasannya, ia memilih untuk menemui
langsung para pemuda, tukang becak, tukang parkir, pedagang kaki lima, para
gembel dsb.[1]
Disitu ia mengajak berdiskusi dan berdebat tentang hakekat hidup dan
mitos-mitos di Yunani yang mendera kebebasan logika untuk berkembang.
Ia
mencoba menggunakan pola induktif dengan mengajukan persoalan terhadap lawan
debatnya meskipun ujung-ujungnya tidak
mencapai jawaban yang memuaskan tetapi ia tetap intens melakukan itu.[2]
Jadi ibarat bidan, ia melahirkan potensi emansipasi yang ada disetiap pemuda,
bak pencari ikan ia memberi “jaring” logika agar para pemuda mampu menjaring
“ikan-ikan” pemikiran sehingga mampu membebaskan keajegkan dan kejumudan
masyarakat Yunani yang terkerangkeng oleh mitos.
Namun
hal itu juga tidak menjawab mengapa Sokrates tidak menulis? Dalam sebuah buku “Derrida” Muhammad Al-fayyadl mencoba
mengulas bagaimana pentingnya “tidak menulis” bagi Sokrates. Kebenaran hakiki
adalah kebenaran yang secara intrinsik terdapat dalam suara (phone) dan diri penutur, maka kehadiran
penutur menjadi guarantee (jaminan) terhadap
pencegahan munculnya penafsiran yang liar dan menyimpang dari keinginan
pembicara.
Tulisan hanya mengacak-acak antara konteks dengan penutur. Sementara
penafsiran terus muncul karena kehadiran penutur telah dilucuti sedemikian
rupa. Sehingga tulisan hanya menghadirkan jejak (trace) yang terus menerus tertoreh dalam medan makna.
Sementara
Plato berpostulat bahwa tulisan sebagai “kekerasan artikepal” terhadap jiwa.
Bagi dia, jiwa dan ingatan manusia adalah abadi sebagaimana hakekat sumber
pengetahuan. Sebalikanya, tulisan hanya membuat ingatan menjadi sementara,
ketika orang menulis maka ia tengah mematerialkan ingatannya dan ia menjadi
enggan untuk mengingat dan menggunakan memorinya. Dengan kata lain, tulisan
mereduksi sebagian fungsi ingatan
sekaligus merusak fungsi ingatan dan jiwa sebagai cermin jiwa. Lho kok! Plato
sendiri menulis, misalnya bukunya Apologia,
Politea dsb. Wah! Nggak konsisten mas Plato ini.
Tidak
demikian, bagi Plato tulisan hanyalah teknik pengganti ingatan yang spontan nan
tidak abadi yaitu ingatan yang rapuh oleh gerusan waktu. Bagi Plato tulisan tak
ubahnya secarik memo yang sewaktu-waktu mengingatkan kita, tetapi tidak
dibutuhkan selama ingatan kita masih fresh.
Jadi, tulisan hanya memiliki fungsi instrumental bukan pengetahuan itu sendiri.
Peralihan tuturan ke tulisan adalah sebentuk degradasi yang esoterik ke teknik,
dari yang abstrak ke yang material, dari
spritualitas ke teknikalitas atau bahkan ekstrimnya merosotnya kesadaran ke
ketaksadaran. Meskipun sejarah metafisika mendepak tulisan pada sekedar teknik
tetapi fungsinya tetap diakui, maka kata J. Derrida sejatinya bukan menampik
kehadiran tulisan tetapi menundanya (Al-Fayyadl: 2009: 50).
Ala Sunan Kalijaga
Masyarakat
yunani terkenal “mokong” dengan pendirian mitosnya, sehingga tindakan Sokrates dinilai sebagai sebuah
pembangkangan terhadap para dewa sesembahannya dengan meracuni otak pemuda.
Maka, kematian pun menjadi tak terhindarkan, nyawanya melayang setelah kalah voting antara yang menginginkan ia hidup
versus mati. Melihat kejadian “mengerikan” ini, Plato berfikir ulang untuk
mengikuti jejak gurunya dalam hal metode penyampain gagasannya. Meskipun masih
menggunakan metode dialog, tapi ia memilih memadukan antara akal dengan mitos.
Mendeskripsikan mitos dengan logika-logika didalamnya. Meskipun sejatinya logika
dan mitos adalah dua hal yang bertentangan dan hampir mustahil bisa menyatu,
ibarat air dan minyak.
Ada
satu ilustrasi tentang bagaimana logika dapat diejawantahkan dalam Mitos.
Misalnya, Plato melihat hidup ini sebagai kereta kencana yang dilengkapi oleh
seorang sais dan dua kuda yang berwarna hitam dan putih, sais dianalogikan
sebagai logika (logistikon), kuda
hitam (thumos) sebagai nafsu serakah
yang akan menjatuhakan manusia pada kenistaan. Sementara kuda putih (epithumia) sebagai nurani kebaikan manusia
yang akan mengangkat derajat manusia. Kereta kencana ini dilengkapi oleh sayap
sebagai lambang cinta kasih (eros)
yang kemudian mengikuti arak-arakan kereta para dewa ke langit.
Diperjalanan
kuda putih dan hitam cendrung berjalan tidak beriringan, kuda hitam maunya
turun dan kuda putih maunya naik. Nah disinilah diperlukan peran sais (logistikon) untuk mengontrol kedua kuda
tadi agar tetap bisa mengikuti jejak para dewa (Wibowo: 2010). Jadi dari
ilustrasi tadi jelas bahwa adalah logika ketika hidup ini memang perlu
dikontrol kerena adanya nafsu dan keengganan, dan adalah mitos ketika ternyata
hidup ini bagai kreta kencana yang mengikuti para dewa kelangit untuk mencapai
alam Nirwana (surga).
Pola
pengajaran yang demikian ini adalah ala Sunan Kalijaga pada saat menyebarkan
islam ditanah jawa. Dimana fanatisme orang jawa dengan mitos-mitos kejawen
tidak bisa langsung diterobos dengan logika murni, karena akan dianggap gerakan
“subversif” terhadap kedaulatan suatu agama, dan jika itu dipaksakan akan
bernasib sama seperti Sokrates di era Yunani kuno. Atau bahasa simplenya “masuk dari pintu mereka
tetapi keluar dari pintu kita”. Disitulah kecerdasan Plato dalam menyikapi
kondisi real masyarakat Yunani, sementara ia mengharapkan ajaran Sokrates bertahan di dunia ini.
Membumikan Arete
Dalam
menerjemahkan pemikiran Sokrates ada dua penulis yang tidak bisa kita pungkiri
yaitu Xenopon dan Plato. Dua murid Sokrates ini memiliki pandangan yang berbeda
tentang gurunya. Xenopon bukan seorang filsuf sebenarnya[3].
Ia menggambarkan dari sudut yang konservatif. Dalam bukunya Memorabilia ia marah dan mendakwah
gurunya merusak kaum muda Athena. Sokrates tidak dilukiskan sebagai seorang
filsuf. Bagi Xenopon, Sokrates membosankan dan tidak dimengerti apa yang
hendak diungkapkan. Melihat ini, filsuf abad 20 dari Inggris, Bertrand Russel,
tidak terima dan mengatakan bahwa orang
bodoh tidak akan pernah tepat dan valid
dalam melaporkan apa yang dikatakan orang pandai.
Sementara
Plato terlalu cerdas menafsiri Sokrates sehingga yang tampak Sokrates ala
jagoan hasil rekaan karya seni yang artistik, maka timbul kecurigaan ada rekayasa
terhadap pemikiran orisinil Sokrates. Menjadi susah untuk membedakan antara
yang dikatakan Sokrates dan yang diucapkan Plato. Plato terlalu banyak
memasukkan komentarnya terhadap gagasan Sokrates. Tetapi ibarat bawang putih
yang sudah dicampur dengan masakan mustahil bisa melihat bentuk asli bawang
putih, hanya pada saat mencicipi akan terasa rasa dan aroma bawang putih,
demikian juga pemikiran Sokrates ditangan Plato (Strathern: 2001: 50).
Ajaran
terpenting Sokrates yang di-recycle
oleh Plato adalah Arete (keutamaan).
Yang mana Setyo Wibowo menerjemahkan Arete
sebagai moral atau budi. Sementara budi adalah pengetahuan kata Sokrates
(Hatta: 1986: 83). Maka orang (ontologi)
yang berpengetahuan (epistemologi)
dengan sendirinya berbudi baik (aksiologi).
Plato juga mengamini bahwa ilmu pengetahuan adalah yang utama dalam hidup ini,
sehingga hidup ini perlu di uji termasuk postulat-postulat dan fatwa yang
disampaikan oleh para dewa sekalipun. Sebagaimana dikutip dalam buku Plato
Apologia 38a, “hidup yang tak teruji tak layak dijalani”[4].
Jika
hidup bahagia adalah tujuan dari setiap manusia, maka kuncinya adalah
lingkungan yang bermoral. Jika lingkungan kita artikan sebagai negara (polis) maka hidup yang baik dicapai jika
negara yang kita tempati baik. Nagara yang baik adalah aristokrasi mestashih
usulan Sokrates. Bagi Plato akal budi tidak hanya mendorong manusia pada yang
baik (aspek teoritis) tetapi juga memacu jiwa untuk bertindak baik (aspek
praktis) sehingga jiwa manusia diangkat ke alam rohani (Tjahjadi: 2004: 56).
Jika saat ini kita melihat para politisi yang hebat berdebat ditelevisi dengan
pengetahuannya yang luas, tetapi tak lama setelah itu diadili di meja hijau
karena melanggar Undang-Undang Tipikor alias korupsi. Maka fenomena ini
mengatakan bahwa pengetahuan yang
dimiliki masih di wilayah teori. Kerena kabaikan yang mengerucut pada keadilan
(dikaiosyne) tidak terealisasi. Ini
menjadi pengetahuan yang tidak utuh. Dan tidak bisa digunakan untuk menjustice bahwa orang berpengetahuan belum tentu berbudi baik.
Magnum Opus Plato
Berangkat
dari pertanyaan “Apa yang disebut adanya?” Plato merumuskan suatu gagasan yang
luar biasa “menggemparkan dunia” yaitu segala sesuatu di dunia ini adalah ide.
Gagasan ini di ilhami oleh dua filsuf besar sebelumnya yaitu Parminides dan
Herakleitus. Plato membenarkan Parminides bahwa realitas yang benar adalah
dunia ada yang tidak berubah dan abadi, tetapi dia juga menghormati pengamatan
Herakleitus bahwa dunia dimana kita hidup adalah tidak permanen dan sementara
waktu saja, lalu ia menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya tidak hidup dalam
dunia nyata, dunia ada (being) yang
sesungguhnya. Dunia yang kita lihat dan kita jalani sehari-hari hanyalah
abstraksi dan imitasi dari dunia ide
yang abadi di alam sana (Freeman & Appel: 2004: 138). Sehingga kata “ide”
tidak sama dengan gagasan dalam pikiran kita sebagaimana dikatakan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dilihat dari ulasan diatas memang
sekilas kesannya Plato melupakan guru kesayangannya dan lebih sebagai seorang
Parminides ketimbang Sokrates. Tapi, ingat bahwa pokok ajaran Plato adalah
mencari pengetahuan tentang pengetahuan. Ia bertolak dari ajaran Sokrates yang
mengatakan bahwa “budi ialah tahu”. Budi yang berdasarkan pengetahuan
menghendaki suatu ajaran tentang pengetahuan sebagai dasar filosofinya.
Sementara kolaborasi dari beberapa pemikiran filsuf dalam gagasan Plato adalah hakekat dari ide
itu sendiri yang selalu terikat dengan ide-ide yang lain. Misalnya, munculnya
“idea api” tidak terlepas dari “ide panas”.
Ilustrasi lain yang bisa kita
gunakan untuk menguji “ide” Plato adalah merujuk pada ilmu pasti. Dalam ilmu
pasti tidak dibicarakan gambar-gambar kongkret, misalnya suatu garis segi
empat, melainkan segi empat pada umumnya. Dalam pelajaran metematika, segi
empat akan merujuk pada apa yang digambarkan guru pada papan. Tetapi
dalil-dalil yang di gunakan ternyata juga berlaku bagi segi empat pada umumnya
sekalipun tidak terdapat dikelas, andai saja segi empat yang digambar guru tadi
di hapus maka hukum segi empat tetap ada. Dan bentuk segi empat akan tetap
sebagaimana idenya.
Penutup
Gagasan Sokrates bukanlah gagasan
kering, akan tetapi gagasan yang selalu membias ditangan para penafsirnya. Dan
selalu terbuka untuk diperdebatkan. Tetapi juga perlua diakui bahwa hidupnya
pemikiran Sokrates tidak terlepas dari kegeniusan muridnya Plato. Iya dengan
cerdas meleburkan radikalitas rasionalitas dan mitos-mitos, hingga kebenaran
rasionalitas mampu bercokol di yunani. dan juag Perlu diakui bahwa gagasan
pamungkas Plato tentang “ide” juga tidak terlepas peran dan jerih payah
Sokrates.
Daftar Pustaka
Tjahyadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Sokrates (Alih bahasa: Frans Kowa). Jakarta: Erlangga. 2001.
Tjahyadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Sokrates (Alih bahasa: Frans Kowa). Jakarta: Erlangga. 2001.
Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida.Yogyakarta: LKiS. 2009.
Wibowo, A. Setyo. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.2010.
Zuhry, Ach. Dhofir. Pelangi di Langit Yunani. Diktat STF Al-Farabi. Malang. 2011.
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press.1986
Freeman, Eugene & Appel, David. Kebijaksanaan dan Ide-Ide Utama Plato. Surabaya: Pustaka Eureka. 2004.
[1] Itu hanya bahasa penulis untuk
mempermudah dalam mengkontekstualkan kondisi sokrates dengan kondisi sekarang
[2] Dalam Tjahyadi, Simon Petrus L.
Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari Zaman Yunani
Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
[3] Mohammad Hatta,
Alam Pikiran Yunani, 80
[4] 90 menit bersama
sokrates hal: 58
0 Komentar