Oleh: Herlianto A, mahasiswa STF Al- Farabi Kepanjen Malang
Sumber : Ilmu-iqtishoduna.blogspot.com |
Mazhabkepanjen.com - Kita juga
bertanya-tanya apakah islam juga berfilsafat? Pertanyaan ini mengarah kepada Islam
yang diyakini sebagai sebentuk agama samawi. Sebagai agama samawi Islam bersumber
dari sesuatu yang fundamental yaitu tuhan melalui wahyu. Dengan begitu Islam,
melalui alqur’an diyakini sebagai agama sempurna bahkan penyempurna terhadap
agama sebelumnya. Al-qur’an dalam hal ini juga member penyempurnaan terhadap
kitab-kitab sebelumnya: Taurat, Zabur dan injil yang menurut beberapa
komentar islam kebenarannya sudah banyak
dikorup oleh kaum yang menghendaki runtuhnya islam.
Islam di abad
ke-6 yang di bawa oleh Nabi Muhammad memunculkan suatu keraguan akan benar
tidaknya bahwa ia memiliki nilai-nilai falsafi. Karena jauh sebelumnya di
yunani sejak 640 SM sudah memulai berfilsafat seperti Thales (640-546),
Anaximandros (611-547), Anaximenes (538-480) dst. Meski secara definitive kata
“filsafat” baru didiktumkan oleh Phytagoras pada (572-497) yang diambil dari
kata philo= kebijaksanaan dan sofia = cinta. Dari pondasi awal ini
terus bergulir hingga melahirkan filsuf yang terkenal Sokrates, Plato dan
Aristoteles.
Kembali
kepertanyaan awal, jika ujung tombak filsafat adalah akal (rasionalitas) maka
Islam juga berfilsafat, karena al-qur’an juga menjelaskan akal (afala ta’kilun). Dan jika filsafat
bermuara pada kebijaksanaan maka al-qur’an juga menjelaskan kebijaksanaa (hikmah). Rasionalitas murni dalam islam
dipraktekkan oleh Washil Atta’ pada 700-794 M atau abad ke 2 H yang selanjutnya
disebuy kaum Mu’tazilah. Pengutamaan rasionalitas ini bahkan dijadikan sebentuk
aliran negara pada masa Al-Ma’mun. sehingga segala pengingkaran terhadap akal
sama dengan tindakan melanggar hukum. Dan wajib mendapatkan punishment
dari negara, bahkan dipancung.
Tapi sayangnya,
rasionalitas Mu’tazilah ini tidak bisa dilepaskan dari percaturan politik pasca
wafatnya nabi. Ia menjadi sebentuk aliran yang muncul akibat benturan
kepentingan antara kubu Ali dengan Muawiyyah untuk menguasai tahta
kekholifahan. Tetapi apapun alasannya Mu’tazilah menjadi deklator dominannya
akal dalam tata kehidupan sehari-sehari.
Dalam
hal logika, ada yang berpendapat bahwa mantiq adalah tradisi teologi dalam
islam, baik kebutuhan retoris, membantah, menyusun argumentasi dan ekplanasi
rasional[1].
Dalam hal ini dicetuskan oleh Abu Hanifah pada 768 M, meski ia masuk dalam
daftar orang yang tidak patuh pada negara karena menolak Al-qur’an sebagai
makhluk sebagaimana yang diyakini oleh Mu’tazilah. Jadi meski belum ada kata
“filsafat islam”, tetapi dalam memahami ilmu kalam para mutakallimin telah mendasarkan pada logika sebagaimana Aristoteles
menggunakan organon ini dalam
memahami hidup dan dunia.
Konon
melalui perkembangan ilmu kalam ini, filsafat Islam[2]
mendapatkan akarnya untuk terus berkembang kearah filsafat sejati. Sehingga
yang menjadi pertanyaan apakah perbedaan antara tradisi ilmu kalam dengan
filsafat islam, karena sejatinya keduanya sama-sama menggunakan rasionalitas
dan logika? Atau jangan-jangan sebenarnya islam ini sudah tidak butuh kata
“filsafat” karena secara perangkat filosofis islam sudah punya? Lantas apa
perlunya?
Untuk
menjawab itu semua perlu dipahami islam sebagai agama dan islam sebagai
sebentuk ilmu pengetahuan. Sebagai agama islam akan berkutat pada persoalan
tauhid dan fiqhiyah. Tauhid (teologi) hanya bertumpu pada iman, musyrik,
murtad, syirik dst, sementara fiqhiyah hanya bergulat dengan halal, halal,
makruh, mubah, sunnah dst. Dari sisi pengetahuan dapat dicapai melalui filsafat.
Tidak mungkin perkembangan ilmu pengetahuan hanya dengan jalan murtad-iman dan
halal-haram. Filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan menkover islam dari
sisi pengetahuannya itu. Islam adalah teks yang mesti diinterpretasikan dengan
menggunakan filsafat. Dengan demikian filsafat islam menjadi upaya untuk
melakukan singkronisasi (talfiq)
antara rasionalitas dengan wahyu, antara inteligensia dengan spritualitas yang
unjungnya nanti adalah Jivan Mukti
(insan al-kamil).
Dalam hal penggunaan filsafat islam
secara definitif dipelopori oleh Al-khindi sekaligus ditasbihkan sebagai filsuf islam pertama.
Dimasa kholifah Al-Muktasim 833M, pemuda yang lahir di khuffah pada 801 M ini,
banyak melakukan penerjemahan terhadap magnum
opus filsuf yunan ke dalam bahasa arab. Dikatakan ia menerjemahkan kurang
lebih 650 buku yunani dan hasil karya terjemahan tersebut disumbangsihkan pada
Baitul Hikmah salah satu perpustakaan islam di masa Al-ma’mun. Al-khindi
sebagai seorang muslim yang cerdas dan banyak memahami berbagai ilmu mulai dari
kedokteran, matematika, astronomi, fisika hingga bahasa suryani yang merupakan
bahasa para filsuf waktu itu melakukan transfer pengetahuan dari yunani ke
islam.
Lho kok bisa
islam sebagai ilmu pengetahuan harus melakukan adopsi metode dan epistemologi
dari barat? Apakah al-qur’an tidak menyediakan itu semua? Bukankah islam secara
substantif telah lahir di masa nabi Adam sebagai manusia pertama dalam islam.
Bahkan nabi Ibrahim jauh sebelum filsuf yunani muncul telah berfilsafat. Ketika
ia tidak puas dengan matahari dan bulan diyakini sebagai tuhan oleh kaumnya.
Ia
berfilsafat setelah menggunakan rasionalitasnya bahwa mana mungkin sesuatu yang
kadang muncul kadang hilang diyakini sebagai tuhan. Nabi Nuh pun diceritakan
telah membuat kapal diatas gunung dalam rangka menyelamatkan kaumnya dari
gempuran azab tuhan yang berupa banjir. Bukankah dari itu semua adalah sebentuk
metode/epistemologi. Belum lagi berbicara nabi Khidir yang konon maha cerdas
dengan ilmu ladunni yang dimiliki.
Yang pasti Al-qur’an sebagi sumber khazanah pengetahuan islam harus dipandang dari
berbagai sudut. Dan mana mungkin sesuatu yang hendak dikaji telah menyiapkan
perangkat untuk memahami dirinya. Maka islam perlu mencari perangkat lain yang mampu
menafsiri al-qur’an secara utuh.
#filsafatmazhabkepanjen
[1] Ach. Dhofir Zuhry. Dalam makalah
Filsafat Islam: awal peradaban dunia.2012
[2] Penggunaan nama filsat Islam awalnya adalah sebuah
perdebatan dengan filsafat arab.
Meskipun akhirnya diputuskan menggunakan filsafat
islam karena ternyata umat islam tidak hanya terdpat dalam negara arab.
Beberapa menggunakan filsafat dalam dunia
islam. Drs. H. A. Mustofa. Filsafat Islam.
Bandung: Pustaka Setia. 1997, hal 34-35.
2 Komentar
Apakah nabi ibrahim berfilsafat? jika ya, mengapa Nabi-nabi setelahnya tidak berfilsafat?
BalasHapusNabi yang lain juga berfilsafat. Filsafat jika dimaknai sebagai cinta kebijaksanaan maka semua nabi pastilah bijaksana.. dan itu berarti mereka filsuf..
Hapus