Paradoks Wahdatul Wujud Dan Lilin Ibnu ‘Arabi


Oleh: Herlianto A, Mahasiswa STF Al-Farabi Malang
Sumber: arsilbinzet.wordpress.com

Mazhabkepanjen.com - “Saya Allah (Ana Al-Haq), siapa lagi saya ini, sebab tidak ada sesuatu kecuali saya” demikian pernyataan Syekh Lemah Abang yang lebih di kenal Syekh Siti Jenar dalam “sidang paripurna” dengan para Wali di Girigajah di Gunung Kadaton[1]. Ajaran Syekh Siti Jenar ini dalam lidah Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kaula gusti sementara dalam term Arab di sebut Wahdatul Wujud. Konon ia diinspirasi oleh Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi.

           Ajaran ini dianggap berbahaya bagi keteguhan iman umat Islam di Jawa, wabil khusus mereka yang baru saja mendengar “Islam”. Tak pelak, sidang paripurna para Wali itu memutuskan bahwa Siti Jenar harus dipenggal lehernya. Tak lama setelah itu Siti Jenar di hukum mati. Hal senada juga pernah dialami oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Samatrani dan Nuruddin Ar-Raniri di bumi Aceh, meski mereka gagal dieksekusi karena melarikan diri. Tapi setidaknya mereka hidup menggelandang lantaran ajarannya.

          Kita yang awam ini tentu dilumuri oleh sekian pertanyaan, benarkah Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Samatrani dan Nuruddin Ar-Raniri kafir karena kalimatnya? Bukankah Tuhan berkata bahwa ia lebih dekat dari urat leher manusia? Siapa lagi yang lebih dekat dengan urat leher manusia selain diri? Atau mungkinkah ada persaingan tidak sehat, artinya para Wali khawatir kalah pamor dengan Syekh Siti Jenar.

        Baiklah pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud memberi novum terhadap hukuman mati Siti Jenar maupun ketiga tokoh yang lain, dan tidak pula hendak berkisah tentang sejarah Wali Songo dan sejarah Aceh. Kalaupun itu perlu, diruang dan waktu yang berbeda akan lebih sempurna. Pengutipan kisah hidup Syekh Siti Jenar dan beberapa tokoh diatas lebih kepada agar memori kita akrab dengan istilah Wahdatul Wujud yang menjadi pokok persoalan tulisan ini. Yang nantinya akan dikembangkan dalam kacamata Ibnu ‘Arabi. Setidaknya kita telah melakukan pemanasan dan rangsangan-rangsangan kearah dunia sufi dengan harapan kita dapat “klimaks” sempurna bersama pelukan dan sentuhan lembut pemikiran-pemikiran Si Belerang Merah (sebutan Ibnu Arabi). 


       Diskursus Wahdatul Wujud di masyarakat kita, bisa dibilang kontraversial. Satu sisi memandang sebagai ajaran kekafiran karena menempatkan hamba sebagai yang inheren dengan khaliq, sehingga tidak ada bedanya antara yang menciptakan dan yang diciptakan. Disisi lain memandang bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang riil, dia adalah realitas dari segala yang ada, diluar dirinya adalah nihil. Dengan demikian, manusia dan semesta adalah inheren dengan Tuhan. Kedua pandangan ini sulit untuk di damaikan dalam satu frame yang sama tentang kesatuan wujud. 

        Inilah yang membuat Wahdatul Wujud sebagai sebentuk konsep inti sufisme tidak dapat diterima secara mentah-mentah dan menyeluruh oleh kalangan umat Islam di segenap penjuru dunia. Klaim-klaim semacam ini tak jarang memicu konflik horizontal. Di tengah polemik inilah, Ibnu ‘Arabi sebagai pendekar pilih tanding meyalakan lilin untuk menerangi dan melerai kedua pandangan tadi yang tengah bertikai diruang gelap. Lalu ia, memberikan jalan berbeda dengan mengkombinasikan filsafat dan perjalanan spritualnya, sebagaimana yang dikatakannya sendiri, ia telah menorobos batas-batas atau tirai-tirai tertentu hingga mencapai unity of being dan bahkan telah intim denga Tuhan.

      Meski tidak ada teks-teks Ibnu Arabi yang secara tegas menyatakan bahwa ajarannya adalah Wahdatul Wujud. Tetapi teorinya digolongkan sebagai Wahdatul Wujud, itu semata-mata karena konsep metafisika ketuhanannya tidak bisa dipisahkan dengan konsep kesatuan wujud dengan cirinya sendiri. Misalnya pernyataan bahwa “pada segala hal adalah tanda bahwa ia adalah Dia”[2]. “ia” bisa kita maknai sebagai makhluk dan “Dia” bisa kita maknai sebagai Tuhan. 

        Lebih jauh ditegaskan oleh Muhammad Al- Fayyald dalam Teologi Negatif Ibnu Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, KH. Muhammad Sholikhin dalam Filsafat dan Metafisikan Dalam Islam: Sebuah Penejelajahan Nalar, Pengalaman Mistik dan Perjalanan aliran Manunggaling Kawula-Gusti, maupun yang dikatakan oleh William C. Chittik dalam Pengetahuan Spritual Ibnu ‘Arabi (The Sufi Path of Knowledge).

       Dengan berpijak pada Futuhat Al-Makkiyah, Tarjuman Al-Asywaq dan Fusus Al-Hikam, ketiga komentator diatas bersepakat bahwa Ibnu ‘Arabi tidak hanya sebagai imago monde dan dedengkot dari Wahdatul Wujud tetapi ia berhasil memberikan narasi dan rasionalisasi yang different dari pendahulu-pendahulunya. Lantas bagaimana sebenarnya Ibnu ‘Arabi menyalakan lilinnya? Sebelum itu mari kita ber-fatihah untuknya semoga diterangi alam kuburnya, Al-fatihah!

Fatwa Wujud Ibnu ‘Arabi

        Mendebat Wahdatul Wujud memang cukup rentan terperosok kedalam jurang Panteisme dan Monisme. Yang mana dalam pandangan Panteisme segala sesuatu adalah Tuhan, manusia dan dunia adalah Tuhan. Tuhan menciptakan semesta dari creatio ex nihilo sehingga manusia dan semesta adalah bagian dari Tuhan, pendek kata manusia ini adalah Tuhan. Sementara Monisme mengembalikan kejamakan pada suatu kesatuan, dalam hal ini tepat jika disebut persatuan dalam arti menyatukan entitas makhluk dengan Tuhan. Pertanyaannya, mana mungkin manusia yang kotor ini dipadukan dengan zat Tuhan[3]. Jadi  jelas Panteisme dan Monisme kafir dalam Islam.

          
          Secara sangat sederhana nan awam, Wahdatu Wujud adalah kesatuan eksistensi antara hamba dan sang khaliq. Pengertian ini jelas tidak representatif untuk mengungkap makna Whdatul Wujud. Ada banyak versi pemahaman tentang itu. Semakin kita menelusuru lorong-lorong definisi Wahdatul Wujud maka sepanjang lorong itu pula kita akan mendapat definisi yang berbeda. 

           Jalaluddin Rumi, misalnya, mengatakan bahwa Wahdatul Wujud adalah suatu proses dari alam semesta yang selalu berubah dan hilang serta serentak diperbaharui tanpa istirahat sedetikpun dan hakekatnya adalah Tuhan.  Bagi Capt. Wahid Bakhsh Rabbani, ia berangkat dari pernyataan Al-Qur’an “Dia Adalah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin” maka Wahdatul Wujud adalah kesatuan wujud secara totalitas, eksistensi dari semua hal adalah satu hal. Sementara pertunjukan kebenaran tertinggi adalah secara totalitas, dia adalah totalitas dan totalitas ini meliputi lahir dan batin[4].

               Menurut Abu Yazid al-Bustami bahwa manusia adalah pancaran Nur ilahi oleh karena itu manusia hilang kesadarannya sebagai manusia, maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bagi Al-Jilli bahwa manusia adalah nukhsoh atau copy Tuhan. Tuhan memiliki sifat pandai, berkehendak, mendengar dst dan manusia juga memiliki sifat ini. Ia menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat nama dan sifat ilahi. Pada titik ini hampir sama dengan Ibnu ‘Arabi.     

            Sementara bagi Ibnu ‘Arabi sendiri yang mengaku telah mendapat fath (pencerahan) mengajarkan bahwa keberadaa makhluk sebagai wujud nisbi tergantung pada keberadaan Tuhan sebagai wujud mutlak, atau manusia tercipta dari wujud ilahiah. Manusia paling sempurna adalah perwujudan dari penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Meski demikian, eksistensi manusia bukan berarti identitas akhir manusia itu sama dengan tuhan, atau Tuhan sama dengan manusia. Masing-masing berbeda. Manusia ada kerena Tuhan, muncul karena terkondisi dengan status kekurangan yang sesuai dengan dirinya. Dalam artian Tuhan ingin melihat dirinya di luar dirinya. Laksana manusia bercermin untuk mengoreksi dirinya[5]

          Tuhan adalah identik dan berbeda dengan alam, Tuhan adalah imanen dan transenden. Dengan kata lain mahluk atau yang dijadikan (mumkinul wujud), wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib (wajibul wujud). Pendek kata, yang sebenarnya punya wujud hanya satu, yaitu Tuhan. Wujud dari selain Tuhan adalah wujud bayangan atau modifikasi[6]. Dengan kata lain Tuhan yang transenden meng-imanenkan dirinya agar dapat dikenali oleh mahluknya. Sampai disini ‘Arabi menepis tuduhan bahwa ajarannya dianggap cendrung Monisme dan Panteisme.

Transendensi dan Imanensi Al-Haqq

            Simplenya Wahdatul Wujud ‘Arabi berintikan pandangan bahwa al-wujud pertama-tama adalah tunggal, satu atau esa. Konsisten dengan argumen bahwa hanya Allah yang dapat disebut al-wujud secara hakiki, dalam artian tidak ada al-wujud yang dapat disebut al-wujud selain Allah itu sendiri, atau sebaliknya bahwa Allah adalah al-wujud. Sementara bahwa al-wujud itu esa berarti ia tidak terduakan, ia adalah singular pada dirinya, unik pada dirinya dan distinct pada dirinya. Ia tidak tergantikan pada dirinya. Pada titik ini Wahdatul Wujud ‘Arabi tidak bisa dipisahkan bahkan bisa dikatakan identik dengan ajaran tauhid itu sendiri, yaitu keimanan bahwa Allah adalah esa. Ini bisa ditelusuri pada:

“tidak ada dalam Al-wujud selain Dia. Maka renungkanlah seperti aku merenungkannya niscaya engkau akan mendapatkannya Dia sebagaimana Dia adanya” dan “ Ketauhilah bahwa tauhid berarti upaya diri manusia atau pencari Tuhan untuk mengetahui bahwa Allah yang menciptkannya adalah Tunggal/Satu/Esa, tidak ada sekutu bagiNya dalam hal ketuhanan-Nya”[7]

            Ibnu ‘Arabi juga menegaskan bahwa al-wujud bukanlah realitas yang dapat diketahui, al-wujud secara hakiki yakni al-wujud sebagai Allah tidak pernah terjangkau oleh pengetahuan apapun. “Tuhan” yang kita bicarakan hanya semata konsepsi tentang Tuhan atau konsepsi tentang konsepsi tentang konsep Tuhan, bukan zat Tuhan. Tuhan secara esensi tidak akan pernah terjangkau, sebagaimana Mazhab Kepanjen[8] juga mengatakan bahwa yang kita bicarakan hanyalah sebatas eksistensi Tuhan. Sehingga meski sampai elek ketika berbicara al-wujud sebenarnya kita tak pernah mengerti dan memahami zat Tuhan.

            Pengakuan Tuhan akan dirinya di dalam Al- qur’an, atau yang lebih dikenal dengan manifestasi, teofani, atau penampakan juga tidak akan membawa pemahaman atau pengetahuan manusia pada esensi Tuhan. Semua itu hanya jalan mengenal Tuhan. Dalam hal ini Ibnu ‘Arabi mengangkat satu kasus firman Allah:

Allah telah berfirman “tidak ada sesuatupun yang menyerupainya” maka dia melakukan tanzih. “dan dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” maka Dia melakukan tasbih. Dan allah berfirman “tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya” dia telah melakukan tasbih dan memuji dirinya. “Dan dia Mendengar lagi Maha Melihat”, maka Dia melakukan tanzih dan menyendirikan dirinya[9].

             Kata-kata “tidak ada sesuatupun yang menyerupainya” merupakan tanzih (Transenden) penghilangan Allah dari segala bentuk penyerupaan atau keserupaan, menegasikan segala bentuk kemiripan, analogi, simbolisai atau representasi. Artinya mustahil mendekati Tuhan. Tetapi secara bersamaan bahwa Tuhan dapat diserupakan karena “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Ungkapan “mendengar” dan “melihat” hanya bisa dibanyangkan pada mahluk selain Allah sehingga pada Allah mengandaikan adanya keserupaan atau penyerupaan Allah dengan makhlukNya, ini kemudian disebut Tasybih (Imanen). Sampai disini Tuhan adalah Transenden dan Imanen bagi ‘Arabi. Atau istilahnya lahut dan nasut bahwa pada makhluk ada sifat Ketuhanan dan pada Tuhan ada sifat kemanusiaan. 


            Selanjutnya, Ibnu ‘Arabi menegaskan adanya tasybih justru pada pernyataan yang mencerminkan tanzih. Ternyata ia menegaskan kembali bahwa keserupaan hanya milik selain Allah, bahwa Allah tidak serupa dalam keserupaannya. Dan tanzih pada pernyataan yang tasybih bermakna bahwa Tuhan “mendengar” bukan dalam arti mendengar seperti yang dapat dipahami atau dibanyangkan, dan ia “melihat” bukan dalam arti melihat seperti yang dapat dipahami atau dibayangkan[10]. Ia melihat dan mendengat dengan caranya sendiri. Pada titik ini disimpulkan bahwa ajaran Ibnu ‘Arabi adalah teologi via negative.

            Dari penjelasan ini Ibnu ‘Arabi kembali memberi enforcement bahwa hanya ada satu realitas ultimate dalam seluruh penciptaan, dimana al-haqq memanifestasikan dirinya dalam makhluk. Al-haqq  sebagai merupakan sumber segal realitas, yang tidak bisa dibagi-bagi, kekal dan tidak berubah-ubah. Berbagai objek di alam semesta ini adalah Tuhan, namun ia tidak identik dengan objek-objek itu. Tuhan menjadi beraneka ragam hanya melalui sifat-sifat atau modifikasi-Nya. Dipandang dari hubungannya dengan sifat-sifat-Nya yang mengejawantah dalam keberagaman entitas-entitas yang mungkin, maka manusia adalah ciptaan (al-khalq). Akan tetapi, kegandaan itu: satu dan banyak, yang pertama dan terakhir, yang abadi dan temporal, yang wajib dan mungkin pada hakikatnya adalah realitas yang satu dan sama[11].

            Bagi ‘Arabi manusia memang unik karena fakta bahwa mereka diciptakan menurut citra Tuhan dan dapat mengaktualisasikan semua sifat Tuhan di dalam dirinya. Ini melibatkan transformasi serempak, baik eksistensi maupun pengetahuan: manusia sempurna mulai mengenal Tuhan sebagai Tuhan dalam Diri-Nya, dan pada saat yang sama memanifestasikan sifat-sifat Tuhan melalui bentuk eksistensi sifat-sifat itu dalam kosmos. Modalitas-modalitas kesempurnaan manusia sangat beragam, tetapi tahap tertinggi kesempurnaan menuntut  agar sifat-sifat Tuhan dimanifestasikan secara seimbang dan selaras sehingga seseorang dapat menggambarkan citra sempurna  “Kehadiran Ilahi” (al- hadhrah al-ilahiyah).

            Pada poin ini seseorang disebut muhaqqiq (orang yang membenarkan) atau “pemilik dua mata”. Satu mata, orang itu melihat keunikannya sendiri sebagai makhluk, dengan lain mata, ia melihat kesamaannya dengan Tuhan. Ia menyaksikan dirinya dekat dengan Tuhan dan sekaligus jauh dari-Nya, riil dan tak riil, ada dan tak ada, transenden dan imanen[12].

“Pernikahan” Teolog dan Filsuf

            Secara langsung atau tidak, transendensi dan Imanensi wujud ‘Arabi mengurai benang kusut para mutakllimin dan filosof. Ia laksana penghulu yang mempertemukan dan mengawinkan pertentangan keduanya, meski sebenarnya upaya singkronisai ini telah dilakukan oleh Al-Khindi sebelumnya. Tetapi problem pemikiran spekulasi dan ilham sebagai sumber pengetahuan bagai bara api yang selalu memanas diantara kalangan Fuqaha  dan filsuf.

            Bagi teolog tidak ada persoalan yang fundamental, penting dan mendasar selain persoalan zat Tuhan. Pertanyaan tentang dzat merupakan inti, substansi dan titik awal dari mana teologi membangun asumsi-asumsinya. Sehingga para teolog an sich berkutat pada wilayah dzat Tuhan dan mengabaikan proses dan hasil pemikiran.

           Sebaliknya, para filsuf dengan kekuatan rasionalisasi beserta perangkat-perangkatnya  menafikan pengetahuan-pengetahuan spiritual. Filsuf termangu dengan area kosmos yang dijadikan pijakan sekaligus objek pengetahuannya. 

Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa  keduanya kurang tepat karena sama-sama mengabaikan aspek-aspek penting pengetahuan. Kaum mutakallimin hanya memotret sisi tanzih ketuhanan dan mengabaikan serta tidak mengerti tentang kosmos, sebaliknya filosof terlalu dangkal memaknai pengetahuan yang hanya diukur dengan rasio dan berputar diwilayah tasybih. Tetapi ‘Arabi menghargai usaha keduanya, hal ini ditunjukkan dari sejarah biografinya bahwa ia banyak mengunjungi para teolog seperti Abdul Aziz al-Mahdawi, Abu Abdillah al-Daqqaq, Ibn Hirzihmi[13]. Sementara filsuf yang ia kunjungi adalah Ibnu Ruysd, bahkan ia terlibat dialog yang cukup mengesankan dengan beliau. Sebagaiman dikutip oleh Zuhry:

Kemudian ia (Ibnu Rusyd) melontarkan satu pertanyaan “solusi apa yang telah kamu ketahui dari hasil kasyf  dan ilhammu? Apakah ia sejajar dengan hasil pemikiran spekulatif” aku jawab”, “ya dan tidak”. Di diantara  ya dan tidak ini, tidak ada arwah akan terbang jauh diatas meteri dan leher-leher akan terpisah dari tubuh- tubuhnya[14].

Meski tidak ada penjelasan yang spesifik tentang konteks dari pembicaraan ini, tetapi ini menunjukkan posisinya dalam berhadapan dengan filsuf. Ia menjawaban “ya dan tidak”. Jawaban “ya” dapat diartikan bahwa Ibnu ‘Arabi mengakui dirinya memperoleh pengetahuan tentang masalah ilham langsung dari Tuhan dalam sebuah “pencerahan” dan fath. Namun segera ia menambahkan “tidak”, yang menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut sama sekali berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh Ibn Rusyd dalam pemikiran spekulatif[15]

            Namun demikian, bagi ‘Arabi para filosof dan teolog telah menipu diri dengan mengira bahwa mereka dapat mengetahui esensi (Dzat) Tuhan hanya dengan memikirkannya. Kerena ketidak mampuan akal dalam memahami tanzih dan tasybih, mereka mencoba menakwilkan ayat-ayat al-qur’an yang berbicara tentang Tuhan dalam batas-batas makhluk. Jika mereka dapat melihat dengan mata penyingkapan, mereka akan mengakui bahwa Tuhan mengungkapkan sifat penyingkapan diriNya sendiri melalui ayat-ayat al-qur’an. 

Tirai Disingkap

            Setelah Ibnu ‘Arabi menjelaskan bagaimana Tanzih dan tasybih Tuhan, dan keberhasilannya mengurai benang kusut antara teolog dan filsuf. Ia memberikan preskripsi bahwa manusia mencapai Tuhan hanya melalui tajalli (penyingkapan, teofani, penyerupaan) Tuhan pada diri manusia. Dengan kata lain wujud tidak hanya berarti “menjadi” atau “mengada”, melainkan juga “menemukan” dan “ditemukan”. Ketika diterapkan pada Tuhan, kata itu berarti bahwa Tuhan ada dan mustahil tidak ada, dan bahwa dia menemukan diriNya sendiri. Wujud bukan hanya menunjukkan eksistensi, melainkan juga pengetahuan, keinsafan, dan kesadaran. 

            Pemaknaan realitas tunggal sebagai kesadaran diri berarti ia menemukan dirinya sendiri dan dalam menemukan diri sendiri itu ia mengetahui kemungkinan-kemungkinan perluasan dan penyebarannya sendiri yang tak terhingga.

Engkau tidak akan mengetahui sesuatupun tentang Tuhan kecuali melalui apa yang Dia tunjukkan pada kita                    dan dia semayamkan di dalam dirimu baik melalui ilham maupun ketersingkapan dari pernyataan diri                                   Tuhan [16].

Jika ditelusuri pernyataan ini sejalan dengan sabda Nabi “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arofa rabbahu” bahwa barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Dengan mengenali diri seorang hamba akan mampu mengenal Tuhan sesuai dengan penyingkapan diri-Nya, namun tidak dapat mengenalnya dalam keesaan dzat-Nya.  Diri manusia tidak cukup untuk tahu esensi Tuhan. Hal ini sejatinya akan membawa pada bahwa ketika seorang hamba memuja Tuhannya, sesungguhnya dia sedang memuja dirinya sendiri. Dia memuja Tuhan sesuai dengan penyingkapan dirinya-Nya pada jiwa, itu terbatas dan terumuskan oleh jiwa. Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa hamba tidak dapat memuja sesuatupun selain Tuhan, karena apapun yang dipuja oleh seseorang adalah penyingkapan diri Tuhan pada diri. Untuk membuat pemahaman yang gamblang Ibnu ‘Arabi menyampaikan analogi yang pernah dikatakan oleh Junaid al-Bagdadi:

                 Junaid mengatakan “Warna air sesuai dengan warna gelasnya” maka demikian pula halnya dengan                                         penyingkapan diri yang mengambil tempat di dalam locus pengejawantahan. Seorang Gnostik dapat                                     menangkap hal ini secara konstan. Dia senantiasa mengalami penyingkapan diri secara konstan pula: Soerang                   Gnostik tahu bahwa dia menyatakan diri dan mengapa menghendakinya. Namun, bagiamanapun juga, hanya                     yang nyata yang mengetahui Dia menyatakan-diri[17].

            Perpijak dari analogi diatas, cara pandang masing-masing orang menjadi penting  bahkan sebuah kemutlakan, karena tentu masing-masing orang punya gelas yang berbebeda untuk mengambil air pada kolam yang sama. Jadi, tidak ada dua orang yang memiliki argumen yang sama tentang Tuhan, karena satu keadaan mustahil di jumpai dalam diri dua orang. Inilah Tuhan yang mengejawantahkan diri-Nya pada jiwa. Pengejawantahan diri itu berbeda dari apa yang dialami oleh jiwa lain. Tuhan yang saya kenal melalui pengenalan diri saya adalah Tuhan dalam keimanan saya sendiri. Jadi jelas bahwa akar dari eksistensi pengetahuan tentang Tuhan adalah pengetahuan tentang diri, diri adalah lautan tak bertepi sehingga pengetahuan tentangnya tidak memiliki akhir. Dengan kata lain tidak ada pengetahuan akhir tentang Tuhan. Tetapi lagi-lagi pengetahuan diberikan melalui penyingkapan ilahi.

Ibnu ‘Arabi “Pontang-Panting”

            Penyingkapan Tuhan bukanlah barang “murahan” yang berserakan dimana-mana. Untuk mendapat pencerahan dari Tuhan harus melalui pertobatan (tawbah) yang sungguh-sungguh. Ibnu ‘Arabi memulai langkah ini sejak usianya masih belia, 20 tahun. Ia mengawalinya dengan kesadaran, bahwa selama ini ia terlalu terlena oleh dunia. Ia melakukan penyesalan terdalamnya dan benar-benar ingin berubah. Dan tak lama, Ibnu ‘Arabi mendapat pencerahan (fath). Fath berarti “pembukaan”, “ketebukaan” atau “ketersingkapan”. Ketersingkapan ini menunjukkan adanya suatu rahasia yang datang dari sesuatu yang lain diluar diri seseorang. Dalam kasus ‘Arabi, fath datang dari Tuhan, ia pun semakin mantap untuk menempuh jalan tasawuf.   

            Menurut pengakuannya selama memperoleh fath, pada saat yang bersamaan ia juga mengalami jadzbah atau ekstase. Dalam kondisi jadzbah, ia sering kehilangan kesadaran dan akal sehatnya karena kekuatan Tuhan yang datang tiba-tiba dan tidak terduga. Jadzbah biasanya dialami seorang sufi yang telah mencapai maqam yang tinggi dalam tasawuf. Namun Ibnu ‘Arabi telah mengalami itu lebih dini[18].  

            Dalam upayanya mengenal Tuhan berkali-kali dihantui kegagalan. Perkenalannya dengan Tuhan ia alami begitu sendiri tanpa kehadiran siapapun. Ia bahkan tidak memiliki seorang guru yang membimbingnya. Satu-satunya guru yang memperkenalkannya kepada Tuhan adalah Nabi ‘Isa yang ditemui dalam mimpi, dan bukan secara fisik sebagaimana umumnya para sufi. Untuk mengenal Tuhan ia tidak punya apa-apa, selain kesungguhan dan usaha keras dalam beribadah. 

            Ibnu’ Arabi kemudian memutuskan untuk meninggalkan seluruh kekayaan dan memilih menjadi orang miskin yang tidak memiliki apa-apa selain pengabdiannya kepada Allah. Pada saat itulah ia mulai mencicipi manisnya pengabdian murni kepada Allah tanpa terikat dengan apapun di dunia. Ia telah melakukan pengabdian tertinggi yaitu penyerahan absolute pada Tuhan tanpa embel-embel kepemilikan apapun. Dalam beberapa karyanya, ia mengaku telah melakukan pelepasan total dari segala atribut yang dimiliki seorang hamba dan satu-satunya yang dia miliki adalah status ontologisnya sebagai “hamba” dan bukan yang lain. Bahkan ia sedikit “congkak” dengan mengaku bahwa tak ada satupun sufi yang telah mengalami pencapaian sebagai mana yang ia lakukan. 

            Ia juga mengkui bahwa dalam menjalani itu semua kerap dihadang cobaan. Cobaan paling berat adalah setelah megalami fatrah yaitu merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Fatrah adalah masa-masa diskontinuitas seorang sufi dengan Tuhan. Momen ini adalah momen paling genting dan menyakitkan bagi seorang sufi karena Tuhan yang ia cintai telah meninggalakan dirinya. Tetapi setelah mengalami masa fatrah perjalanan tasawuf Ibnu ‘Arabi semakin mudah. Beberapa kali ia mendapatkan anugrah. Misalnya, pada 586, di Kordoba, ia bermimpi bertemu dengan para nabi dan rasul[19].

            Pengalaman-pengalamn semacam itu, membuat Ibnu ‘Arabi yakin bahwa Tuhan tidak bisa dikonsepsikan dengan pikiran, ia menyadari betapa terbatasnya wacana manusia yang berbicara tentang Tuhan. Dari sinilah ia kemudian mengkritik para teolog dan filsuf dan memberikan pandangan ketuhannya sendiri.

Kesimpulan
              
            Jelas, bahwa lilin Ibnu ‘Arabi dalam dunia tidak padam dan bahkan tidak akan pernah padam, dan selalu menyinari ruang abu-abu antara hamba yang tasybih dengan Tuhan yang Tanzih. Klasifikasi itu semata untuk memudahkan kita dalam memahami bahwa ada realitas ultim yang mendasari dari segala yang ada di semesta ini. Karena yang ultimi begitu sempurna dan suci, maka pikiran manusia tidak akan pernah sampai padanya. Tak ada satu definisi yang mampu menjelaskan dzatnya. Dengan kata lain hanya apabila Tuhan menyingkapkan diriNya manusia mampu mencapainya.  


#filsafatmazhabkepanjen
Daftar Pustaka

Al-Fayyald, Muhammad. Teologi Negatif Ibn ‘Arabi:  Kritik Metafisika Ketuhanan. Yogyakarta: LKiS. 2012.
Burchardt, Titus. Astrologi Spritual Ibn ‘Arabi (penerj: Wahyudi). Surabaya: Risalah Gusti.2001
Chittik, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysyc of Imagination. Yogyakarta: Qalam. 2001.
Chittik, Willian C. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003
Dr. Sangidu, M.Hum. Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As- Samtri dengan Nuruddin Ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media.2003.
Majid, Nurcholis. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi baru Islam Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.2010
Rabbani, Capt. Wahid Bakhsh. Sufisme Islam. Terj.  Burhan Wirasubrata. Jakarta: Sahara Publisher. 2004.
Sholikhin, KH. Muhammad. Filsafat dan Metafisika Dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: Narasi. 2008.
Zuhry, Ach. Dhofir. As Sirah al Falsafiyah Jilid II: Filsafat Islam. Malang: STF Al-Farabi. 2012.



[1] Nurcholis madjid. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi baru Islam Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. 2010., hal 29
[2] Petikan al Futuhat al- Makkiyah dikutip dariAch. Dhofir Zuhry. As Sirah al Falsafiyah Jilid II: Filsafat Islam. Malang: STF Al-Farabi. 2012., hal 100.
[3] Dr. Sangidu, M.Hum. Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As- Samtri dengan Nuruddin Ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media.2003., hal 45
[4] Capt. Wahid Bakhsh Rabbani. Sufisme Islam. Terj.  Burhan Wirasubrata. Jakarta: Sahara Publisher. 2004., hal 67
[5] KH. Muhammad Sholikhin. Filsafat dan Metafisika Dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: Narasi. 2008., hal 206
[6] Ibid.,206
[7] Petikan Al-Futuhat Al-Makkiyah, dikutip dari Muhammad Al-Fayyald dalam Teologi Negatif Ibn ‘Arabi:  Kritik Metafisika Ketuhanan, hal 159 dan 164
[8] Mazhab Filsafat yang berdiri sekitar tahun 2010an yang di prakarsai oleh para filsuf muda, bertempat dipojok utara Kabupaten Malang  tepatnya kota Kepanjen.
[9] Ibid., hal 178
[10] Ibid., hal 178-179
[11] Petikan Fushus Al-Hikam dalam Filsafat dan Metafisika dalam Islam.,hal 201
[12] William C. Chittik. Esiklopedi Tematis Filsafat Islam., hal 622
[13] Teologi negative Ibn ‘Arabi., hal  26-30
[14] As Sirah al Falsafiyyah Jilid II: Filsafat Islam.,hal 99
[15] Op. Cit.,hal 49.
[16] Petikan al Futuhat al Makkiyah dalam The Sufi Path of Knowledge oleh William C Chittik., hal 272
[17] Ibid.,hal 274
[18] Teologi Negatif Ibnu ‘Arabi., hal 38
[19] Ibid., hal 43

Posting Komentar

3 Komentar