Oleh:
Herlianto A, penikmat kajian sosial dan filsafat STF Al Farabi KEpanjen
Sumber: facebook.com |
Itulah
kenyataan yang dialami negara ini, yang setiap tahun kita diminta
tepat waktu untuk membayar pajak pada mereka. Setiap tahun hasil
jerih payah kerja orang tua kita ternyata diserahkan pada
cukong-cukong untuk kemudian ditilep. Belum lagi eksploitasi kekayaan
alam di daerah-daerah yang semestinya dikelola untuk kesejahteraan
rakyat, tetapi diselewengkan untuk membangun dinastinya di daerah.
Itulah yang dilakukan Ratu Atut Chosiyah di Banten, Fuad Amin
Bangkalan, dan penjahat-penjahat politik lainnya.
Angka
itu bukanlah angka paten, tetapi jumlah yang akan terus dinamis
seiring dengan munculnya modus-modus baru korupsi. Kekuasaan yang
tidak ditangkap saat ini, bukan berarti itu bersih, bisa jadi sedang
menunggu giliran untuk masuk bui. Kebusukannya belum terendus, atau
belum ada dorongan terhadap penegak hukum untuk menciduk
pelaku-pelaku korupsi daerah lainnya.
Desentralisasi
Perlawanan Seluas-Luasnya
Dari
fakta ini, menunjukkan bahwa yang merata bukan kesejahteraan
sebagaimana janji konstitusi bangsa, melainkan korupsi, kolusi dan
nepotismelah yang merata. Upaya negara untuk mewujudkan
desentralisasi seluas-luasnya hingga ke tingkat desa, ternyata
dipraktekkan secara keliru. Justru bukan berpotensi menyebarkan
keadilan hingga ke telapak tangan rakyat, tetapi menguras habis uang
negara yang mestinya digenggam rakyat.
Lantas
cukupkah buat kita dengan melihat kenyataan ini? Ini pertanyaan
mendasar buat orang-orang daerah dan kepulauan. Hidup di kepulauan di
negara ini adalah hidup paling tidak layak, hidup paling sengsara dan
paling mudah dikibuli oleh elit-elit tertentu. Baik di bidang
pendidikan, ekonomi, kebudayaan, hingga sosial-politik. Pendidikan
pulau hingga detik ini adalah pendidikan seadanya, disatu sisi
generasi pelajar pulau dituntut mengikuti tes nasional. Ini sungguh
kezaliman yang nyata. Secara ekonomi, kekayaan alam dimana sebagai
satu-satunya tumpuan menyambung hidup juga dijajah oleh bangsa
sendiri.
Itulah yang dialami oleh masyarakat kepulauan Masalembu
belakangan ini oleh serbuan kapal-kapal nelayan besar. Sehingga
kekayaan laut mereka habis direnggut. Padahal laut bagi rakyat
kepulauan ini tidak saja sebagai tempat mencari nafkah untuk hidup,
tetapi laut adalah kehidupan itu sendiri bagi mereka. Diwilayah
politik pun sama, masyarakat kepulauan hanya menerima sebaran janji
politik yang dipoles manis, namun tak pernah terwujud di hadapannya.
Maka, tak ada cara lain dengan kenyataan desentralisasi
yang demikian ini selain DILAWAN. Perlawanan dalam arti yang
sesungguhnya. Jika kejahatan kerah putih (white color crime)
sudah meluas terdesentralisasi ke pelosok desa, maka kita mesti
melakukan desentralisasi perlawanan seluas-luasnya dengan mensolidkan
kekuatan massa yang ada di masing-masing pulau.
Perlawanan
sesungguhnya dapat kita maknai juga sebagai kesediaan diri dari
setiap orang pulau untuk tidak melakukan kejahatan yang sama pada
saat memperoleh kesempatan. Adalah takdir sejarah bahwa kehidupan
adalah perjuangan. Perjuangan sejak zaman paling azali, sejak sel
mani saling berjuang memasuki sel telur, sejak mahluk purba berebut
memiliki kekayaan alam, para budak atas tuan tanah, hingga kaum
proletar atas borjuis.
Penguatan
Organisasional
Lalu dengan apa melawan? Dalam teori gerakan, perlawanan
pada awalnya dimulai secara perorangan atau individu, kemudian
dilanjutkan perkelompok, hingga dalam jumlah sangat besar atau
gerakan nasional dan internasional4.
Artinya perlu ada tata organisasi yang mumpuni untuk dapat melakukan
edukasi, agitasi dan kemampuan memobilisir massa. Saya rasa tidak
perlu membahas lebih detail lagi apa itu organisasi dan bagaimana
pentingnya. Yang pasti gerakan membutuhkan organisasi yang kuat dan
matang.
Pada prinsip organisasi kuat apabila setidaknya
didasarkan pada tiga hal. Pertama, kekuatan ide atau
gagasan-gagasan. Massa organisasi perlu untuk terus menerus melakukan
konsolidasi dan sharing gagasan agar senantiasa ada dialektika
pengetahuan yang dapat diejawantahkan. Kedua, orang-orang
bermental besar. Mental besar bukan berarti besar badannya melainkan
besar jiwa dan semangatnya serta tak mudah menyerah. Ketiga
adanya trust (ke-saling-percayaan) antar anggota dan antar
organisasi gerakan itu sendiri.
Tanpa saling percaya, yang terjadi
adalah kecurigaan-kecurigaan yang membuat pilar-pilar organisasi
runtuh. Tiga prinsip ini akan membantu gerakan-gerakan yang tercecer
untuk kembali menyatu dalam satu naungan gerakan. Satu hal yang tidak
bisa dipungkiri bahwa masing-masing organisasi gerakan memiliki
tujuan dan semangat yang sama yaitu berpihak dan membebaskan belenggu
rakyat.
Untuk itu, tujuan yang sama ini mestinya menjadi
kekuatan bukan lantas diabaikan lantaran hanya berbeda konsepsi
teknis dalam pengejawantahan setiap gagasan yang ditemukan. Disitulah
koordinasi dan konsolidasi kembali menempatkan pentingnya.
Jalan
Lain
Apa
yang menjadi fokus pembahasan dari awal adalah memunculkan perlawanan
massa ditingkat daerah atau kepulauan. Selain upaya itu, orang-orang
pulau khususnya generasi muda dan mahasiswa dapat mengambil langkah
lain. Dalam konsep negara modern dikenal istilah triple helix
yaitu pemerintah, perusahaan, dan mahasiswa. Dimana dalam relasi ini
mahasiswa disediakan sebagai generasi penerus dilevel pemerintahan
atau dibagian-bagian perusahaan. Tetapi, semangat ini akan
memperpanjang penderitaan rakyat. Membuat lembag-lembaga pendidikan,
termasuk perguruan tinggi tak ubahnya pusat pelatihan untuk
menyiapkan tenaga buruh bagi perusahaan dan pegawai-pegawai lainnya.
Rupa-rupanya itu yang kita alami selama berada di kampus.
Untuk
itu mahasiswa kepulauan perlu melalui jalan lain, dalam arti bahwa
mahasiswa menempuh jalur yang membuatnya ia kritis terhadap situasi.
Belajar dikampus jangan lagi semata-mata mendambakan pekerjaan yang
layak dan menyejahterakan. Itu kemungkinan kecil sekali. Karena
jumlah pencari kerja, atau peminat pegawai negeri sipil jauh lima
kali atau bahkan ratusan kali lebih besar dari peluang kerja yang
tersedia.
Jalan
yang kita tempuh adalah jalan perjuangan. Mahasiswa sudah ditakdirkan
menjadi bagian dari masyarakat dengan potensi-potensi yang
dimilikinya. Potensi dalam arti untuk mengakomodir diri menjadi satu
kekuatan untuk melawan. Pembahasan penyatuan kembali kekuatan massa
ini merupakan fenomena penting di abad 21 ini. Pasalnya masyarakat
kita sudah terlanjur tercerai-beraikan oleh tradisi dan kebudayaan
kapitalis. Masyarakat dimana kita hidup sedang berlumur lumpur
apatisme terhadap kenyataan sosial.
Generasi
kita lebih senang berlama-lama di mal-mal menjadi shopaholic
ketimbang menghabiskan waktu membaca buku dan berdiskusi. Itulah
sebabnya mal selalu lebih ramai daripada perpustakaan kampus maupun
perpustakaan umum. Mereka mengira soal sosial sepenuhnya ditangani
oleh negara. Padahal pada kenyataannya tidak demikian. Adalah fakta
bahwa masyarakat daerah dan kepulauan beserta para generasinya berada
pada ambang penderitaan. Untuk itu, pada semua mahasiswa kepulauan
bersatulah!
2
Data ini diambil dari situs kemendagri 2014.
3
Data ICW (Indonesia Corruption Watch) Februari 2015.
4
Setidaknya itu teori kelahiran perlawanan yang dijelaskan Karl Marx
dalam Manifesto Partai Komunis.
0 Komentar