Mahasiswa Kepulauan Bersatulah!

Oleh: Herlianto A, penikmat kajian sosial dan filsafat STF Al Farabi KEpanjen

Sumber: facebook.com

Inilah faktanya, 325 dari 524 kepala daerah tersangkut korupsi. Jumlah ini terdiri dari 21 orang Gubernur, wakil Gubernur 7 orang, 156 orang Bupati, 45 orang wakil Bupati, 41 orang Wali kota, 20 wakil Wali kota. Kemudian 1.221 pegawai pemerintah terlibat korupsi, dengan rincian 877 sudah menjadi terpidana, 185 tersangka, 112 terdakwah, 44 orang lainnya sebagai saksi2. Dari praktek setan itu negara mengalami kerugian per 2014 saja semester pertama Rp 3,7 triliun, sementara semester kedua Rp 1,59 triliun3.

Itulah kenyataan yang dialami negara ini, yang setiap tahun kita diminta tepat waktu untuk membayar pajak pada mereka. Setiap tahun hasil jerih payah kerja orang tua kita ternyata diserahkan pada cukong-cukong untuk kemudian ditilep. Belum lagi eksploitasi kekayaan alam di daerah-daerah yang semestinya dikelola untuk kesejahteraan rakyat, tetapi diselewengkan untuk membangun dinastinya di daerah. Itulah yang dilakukan Ratu Atut Chosiyah di Banten, Fuad Amin Bangkalan, dan penjahat-penjahat politik lainnya.

Angka itu bukanlah angka paten, tetapi jumlah yang akan terus dinamis seiring dengan munculnya modus-modus baru korupsi. Kekuasaan yang tidak ditangkap saat ini, bukan berarti itu bersih, bisa jadi sedang menunggu giliran untuk masuk bui. Kebusukannya belum terendus, atau belum ada dorongan terhadap penegak hukum untuk menciduk pelaku-pelaku korupsi daerah lainnya.

Desentralisasi Perlawanan Seluas-Luasnya

Dari fakta ini, menunjukkan bahwa yang merata bukan kesejahteraan sebagaimana janji konstitusi bangsa, melainkan korupsi, kolusi dan nepotismelah yang merata. Upaya negara untuk mewujudkan desentralisasi seluas-luasnya hingga ke tingkat desa, ternyata dipraktekkan secara keliru. Justru bukan berpotensi menyebarkan keadilan hingga ke telapak tangan rakyat, tetapi menguras habis uang negara yang mestinya digenggam rakyat.

Lantas cukupkah buat kita dengan melihat kenyataan ini? Ini pertanyaan mendasar buat orang-orang daerah dan kepulauan. Hidup di kepulauan di negara ini adalah hidup paling tidak layak, hidup paling sengsara dan paling mudah dikibuli oleh elit-elit tertentu. Baik di bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, hingga sosial-politik. Pendidikan pulau hingga detik ini adalah pendidikan seadanya, disatu sisi generasi pelajar pulau dituntut mengikuti tes nasional. Ini sungguh kezaliman yang nyata. Secara ekonomi, kekayaan alam dimana sebagai satu-satunya tumpuan menyambung hidup juga dijajah oleh bangsa sendiri. 


Itulah yang dialami oleh masyarakat kepulauan Masalembu belakangan ini oleh serbuan kapal-kapal nelayan besar. Sehingga kekayaan laut mereka habis direnggut. Padahal laut bagi rakyat kepulauan ini tidak saja sebagai tempat mencari nafkah untuk hidup, tetapi laut adalah kehidupan itu sendiri bagi mereka. Diwilayah politik pun sama, masyarakat kepulauan hanya menerima sebaran janji politik yang dipoles manis, namun tak pernah terwujud di hadapannya.

Maka, tak ada cara lain dengan kenyataan desentralisasi yang demikian ini selain DILAWAN. Perlawanan dalam arti yang sesungguhnya. Jika kejahatan kerah putih (white color crime) sudah meluas terdesentralisasi ke pelosok desa, maka kita mesti melakukan desentralisasi perlawanan seluas-luasnya dengan mensolidkan kekuatan massa yang ada di masing-masing pulau. 

Perlawanan sesungguhnya dapat kita maknai juga sebagai kesediaan diri dari setiap orang pulau untuk tidak melakukan kejahatan yang sama pada saat memperoleh kesempatan. Adalah takdir sejarah bahwa kehidupan adalah perjuangan. Perjuangan sejak zaman paling azali, sejak sel mani saling berjuang memasuki sel telur, sejak mahluk purba berebut memiliki kekayaan alam, para budak atas tuan tanah, hingga kaum proletar atas borjuis.

Penguatan Organisasional

Lalu dengan apa melawan? Dalam teori gerakan, perlawanan pada awalnya dimulai secara perorangan atau individu, kemudian dilanjutkan perkelompok, hingga dalam jumlah sangat besar atau gerakan nasional dan internasional4. Artinya perlu ada tata organisasi yang mumpuni untuk dapat melakukan edukasi, agitasi dan kemampuan memobilisir massa. Saya rasa tidak perlu membahas lebih detail lagi apa itu organisasi dan bagaimana pentingnya. Yang pasti gerakan membutuhkan organisasi yang kuat dan matang.

Pada prinsip organisasi kuat apabila setidaknya didasarkan pada tiga hal. Pertama, kekuatan ide atau gagasan-gagasan. Massa organisasi perlu untuk terus menerus melakukan konsolidasi dan sharing gagasan agar senantiasa ada dialektika pengetahuan yang dapat diejawantahkan. Kedua, orang-orang bermental besar. Mental besar bukan berarti besar badannya melainkan besar jiwa dan semangatnya serta tak mudah menyerah. Ketiga adanya trust (ke-saling-percayaan) antar anggota dan antar organisasi gerakan itu sendiri. 

Tanpa saling percaya, yang terjadi adalah kecurigaan-kecurigaan yang membuat pilar-pilar organisasi runtuh. Tiga prinsip ini akan membantu gerakan-gerakan yang tercecer untuk kembali menyatu dalam satu naungan gerakan. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing organisasi gerakan memiliki tujuan dan semangat yang sama yaitu berpihak dan membebaskan belenggu rakyat.

Untuk itu, tujuan yang sama ini mestinya menjadi kekuatan bukan lantas diabaikan lantaran hanya berbeda konsepsi teknis dalam pengejawantahan setiap gagasan yang ditemukan. Disitulah koordinasi dan konsolidasi kembali menempatkan pentingnya.

Jalan Lain

Apa yang menjadi fokus pembahasan dari awal adalah memunculkan perlawanan massa ditingkat daerah atau kepulauan. Selain upaya itu, orang-orang pulau khususnya generasi muda dan mahasiswa dapat mengambil langkah lain. Dalam konsep negara modern dikenal istilah triple helix yaitu pemerintah, perusahaan, dan mahasiswa. Dimana dalam relasi ini mahasiswa disediakan sebagai generasi penerus dilevel pemerintahan atau dibagian-bagian perusahaan. Tetapi, semangat ini akan memperpanjang penderitaan rakyat. Membuat lembag-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi tak ubahnya pusat pelatihan untuk menyiapkan tenaga buruh bagi perusahaan dan pegawai-pegawai lainnya. Rupa-rupanya itu yang kita alami selama berada di kampus.

Untuk itu mahasiswa kepulauan perlu melalui jalan lain, dalam arti bahwa mahasiswa menempuh jalur yang membuatnya ia kritis terhadap situasi. Belajar dikampus jangan lagi semata-mata mendambakan pekerjaan yang layak dan menyejahterakan. Itu kemungkinan kecil sekali. Karena jumlah pencari kerja, atau peminat pegawai negeri sipil jauh lima kali atau bahkan ratusan kali lebih besar dari peluang kerja yang tersedia.

Jalan yang kita tempuh adalah jalan perjuangan. Mahasiswa sudah ditakdirkan menjadi bagian dari masyarakat dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Potensi dalam arti untuk mengakomodir diri menjadi satu kekuatan untuk melawan. Pembahasan penyatuan kembali kekuatan massa ini merupakan fenomena penting di abad 21 ini. Pasalnya masyarakat kita sudah terlanjur tercerai-beraikan oleh tradisi dan kebudayaan kapitalis. Masyarakat dimana kita hidup sedang berlumur lumpur apatisme terhadap kenyataan sosial.

Generasi kita lebih senang berlama-lama di mal-mal menjadi shopaholic ketimbang menghabiskan waktu membaca buku dan berdiskusi. Itulah sebabnya mal selalu lebih ramai daripada perpustakaan kampus maupun perpustakaan umum. Mereka mengira soal sosial sepenuhnya ditangani oleh negara. Padahal pada kenyataannya tidak demikian. Adalah fakta bahwa masyarakat daerah dan kepulauan beserta para generasinya berada pada ambang penderitaan. Untuk itu, pada semua mahasiswa kepulauan bersatulah!


2 Data ini diambil dari situs kemendagri 2014.
3 Data ICW (Indonesia Corruption Watch) Februari 2015.

4 Setidaknya itu teori kelahiran perlawanan yang dijelaskan Karl Marx dalam Manifesto Partai Komunis

Posting Komentar

0 Komentar