Peta Pemikiran Barat (2): Abad Modern

Oleh: Herlianto A, penikmat kajian sosial dan filsafat STF Al-Farabi Malang

Masa ‘Renaissance’

Modern berasal dari kata Latin moderna yang berarti sekarang, baru, atau saat ini. Dari kata ini dapat ditarik satu pemahamanan bahwa manusia senantiasa hidup zaman modern sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Sebab itu, modernitas berkait erat dengan istilah kebaruan, perubahan, kemajuan, revolusi, dan pertumbuhan. Sebagai sebentuk kesadaran modernitas dicirikan oleh subjektivitas, kritik, dan kemajuan [1]

Memang agak susah untuk membuat semacam patahan antara abad pertengahan dengan abad modern ini. Tetapi banyak para sejarawan filsafat meletakkan masa ini pada abad ke 15 dan 16, dan dikaitkan dengan revolusi industri di Inggris. Mordernitas juga erat kaitannya dengan Renaissance berarti kelahiran kembali. Yang dimaksud adalah upaya untuk menghidupkan kembali tradisi kebudayaan Yunani dan Romawi.  


Niccolo Machiavelli (Italia, 1469-1527) diletakkan sebagai salah satu pemula abad ini. Penempatan ini berdasar pada suau keberaniannya menggagas persoalan negara dan agama. Jika pada abad pertengahan negara dikuasai agama (Kaisar diangkat oleh Paus dan segudang perselingkuhan lainnya), bagi Machiavelli agama tidak boleh menguasai negara. Malah sebaliknya negara yang menguasai agama. Pembalikan ini, dia menyakini bahwa agama memiliki kekuatan yang pragmatis seperti dapat menyatukan umat (semacam  patriotisme). 

Dengan demikian agama dibutuhkan untuk menguasai dan menata suatu negara. Dalam tradisi politik, dia kenal sebagai penggagas politik otoritarianisme. Prinsipnya bahwa segala-galanya harus dilakukan demi kekuasaan (the end justifies to the mean). Konon ini yang menginspirasi Naziisme Hitler di Jerman dan gigantisme Bennito Musollini di Italia. Maha karyanya Sang Pengeran mengulas soal prinsip-prinsip kekuasaan dan The Art of War tentang teknik membangun kekuatan militer.  

Di Bidang ilmu pengetahuan berkembang kerangka atau metode eksperimental dan matematis. Beberapa pelopornya Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), dan Galileo Galilei (1564-1643). Sementara tokoh yang meletakkan ilmu pengetahuan secara filosfis adalah  Francis Bacon (Inggris, 1561-1623). Melalui karyanya Novum Organon, Bacon ingin menominasikan ilmu pengethauan dalam kehidupan. Prinsipnya adalah knowledge is power. Dia berupaya mengkritisi pemikir-pemikir sebelumnya, filsuf Yunani dianggap terpesona dengan soal etis, orang Romawi dengan soal hukum dan Abad Pertengahan dengan teologi. 

Rumusan Ilmu pengetahuannya bertumpu pada observasi indrawi terhadap kebenaran. Dia kemudian disebut-sebut sebaga peletak dasar metode induksi yang menjadi roh metode ilmiah hingga kini. Selain itu, Bacon merumuskan konsep ‘Idola’ yaitu konsep tradisi yang dipuja-puja oleh manusia. Setidaknya ada empat macam idola: idola tribus semacam prasangka kolektif, idola cave yaitu pengalaman pribadi menetukan pandangan manusia tentang dunia, idola fora yaitu kata-kata yang diterima begitu saja (taklik buta), idola theatra yaitu sistem filsafat tradisional sebagai subjektifitas para pemikirnya. Idola adalah tantangan bagi kemajuan pengetahuan.[2]

Sumber: id.wikwpedia.org

Rasionalisme

Orang pertama yang memelopori adalah Rene Descartes (Prancis, 1596-1650). Rasionalisme Descartes berupaya dengan kekuatan rasionya menemukan sesuatu yang tak diragukan lagi. Uniknya, metode untuk menemukan yang tak diragukan itu adalah metode keraguan. Yaitu dengan menyangsikan segala-segalanya hingga menyadari bahwa dirinya sangsi tak dapat disangsikan lagi. Sampai disitu lahirlah diktum terkenalnya cogito ergo sum. Descartes menulis dalam bukunya Diskursus dan Metode: “sekarang saya menyadari bahwa saya berpikir semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkannya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran: saya berpikir maka saya ada, begitu kokoh dan meyakinkan.”[3]

Tetapi sayangnya, keraguan ini terkecualikan pada tiga ide bawaan (innate ideas) yaitu: pemikiran, Allah (Tuhan), dan keluasan. Selain itu juga ada jiwa tetapi digolongkan sebagai keluasan. Karena pengecualian inilah, Descartes kesulitan menjelaskannya ketika dikaitkan dengan rumusan skeptisismenya yang meragukan segala-galanya. Tetapi dia menjawab bahwa ide bawaan ini adalah pengetahuan dari Tuhan. Untuk itu, tak mungkin Tuhan yang maha jujur membohongi dirinya.[4]

Baruch de Spinoza (Belanda, 1632-1677), tokoh rasionalisme lainnya berbeda dasar dengan Descartes. Jika Descartes menemukan dasar akhir adalah cogito, manusia adalah res congitan, Spinoza menjangkarkan pada Substansi. Tanpanya, konsep pikiran mustahil ada. Dan subtansi ini hanya ada satu yaitu Allah itu sendiri. Subtansi ini yang mendasari segala sesuatu di semesta ini. Karena penyamaan ini, ajarannya disebut pantheisme atau monisme. Spinoza juga mengatasi dualisme Descartes (jiwa dan keluasan). Menurutnya, dua hal ini adalah kesatuan, artinya ‘aku’ adalah modifikasi antara badan dan pikiran. Pikiran adalah jiwa dan keluasan adalah badan. Soal pengetahuan, dia menyatakan ada tiga tahap pengetahuan: indra, taraf refleksi, dan intuisi.

Empirisme

Empirisme berasal dari empeiria yang berarti pengalaman inderawi. Berarti satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman. Berbeda dengan doktrin rasionalisme yang mendeterminasi rasio, doktrin empirisme menominasikan indera sebagai sumber utama pengetahuan. Thomas Hobbes (Inggris, 1588-1679), salah satu tokohnya, menasbihkan bahwa pengetahuan adalah semacam kalkulus atau perhitungan yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama. Dengan itu Hobbes menganggap kenyataan adalah materi dan gerak. 

Sehingga konsep-konsep spritual tidak relevan lagi dengan filsafat karena tidak terdapat dalam pengetahuan manusia. Karena itu dia juga disebut perintis materialisme modern. Ajaran Hobbes lainnya yang menarik adalah di wilayah politik yaitu  Leviathan. Dimana bahwa manusia memiliki keadaan alamiah (state of nature) sebagai pemangsa terhadap manusia yang lainnya (homo homini lupus). Dengan demikian keadaan manusia adalah konflik yang terus tanpa henti, persaingan yang brutal dalam meraih kekuasaan dan kedudukan. Maka cara untuk mengatasi kondisi primitif manusia ini dengan social contract. Yaitu manusia membuat perjanjian dengan orag lain untuk menghapuskan hak alamiah absolut masing-masing[5]. Perjanjian  ini belakangan ditafsiri sebagai hadirnya negara.

John Locke (Inggris, 1632-1704), ternyata pengagum Descartes soal rasio, tetapi dia memilih jalan yang berbeda tepatnya soal ide-ide bawaan. Baginya, mula-mula rasio dianggap sebagai kertas kosong (as white paper) untuk kemudian diorat-oret oleh pengalaman keseharian, baik pengalaman lahiriah (sensation) maupun batiniah (reflexion). Pengalamn adalah sumber satu-satunya bahan bagi rasio untuk menggapai pengetahuan. Terorinya disebut tabularasa

Locke juga membahas soal etika yang menuju kenikmatan, bahwa sesuatu yang secara moral baik akan menghasilkan kenikmatan. Nilai-nilai moral itu diantaranya: kesahatan, kehormatan, pengetahuan, dan perbuatan baik yang menuntungkan dan memuaskan. Ajaran politiknya, dalam hal keadaan alamiah manusia berbda dengan Hobbes, baginya manusia masih memiliki perdamaian meskipun tidak kokoh. Untuk itu, menyandarkan perdamaian antar manusia pada hukum riil yaitu hukum alam. Bahwa hukum alamiah manusia adalah mengikat bahwa sesama manusia sederajat dan merdeka, tidak ada yang boleh mengganggu orang lain dalam hal kehidupan, kesehatan, kemerdekaan, atau milik.[6] 

George Berkeley (Irlandia, 1685-1753), empirisme Berkeley berbeda dengan Locke. Jika Locke masih menerima adanya subtansi diluar manusia. Maka, bagi dia yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati. Artinya sesuatu itu ada sejauh ia dipersepsi (‘Esse est percipi’: being is being perceived). Artinya dunia material menjadi tidak ada, selain hanya ide-ide. Jadi ide dan materi satu kesatuan utuh. Lantasnya, bagaimana dengan keberadaan diri Berkeley apakah dia nyata atau ide. Dia menjawab bahwa dirinya adalah subtansi rohani.

Ajaran empirisme mencapai puncaknya pada David Hume (Edinburgh, 1711-1776). Hume sepenuhnya meradikal empirisme. Dia menyatakan bahwa tidak ada satupun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada realitas inderawi. Dengan kata lain isi pikiran manusia bergantung pada aktivitas inderanya. Menurutnya, pikiran bekerja berdasarkan tiga prinsip pertautan gagasan (association of ideas), yaitu: 1) berdasarkan prinsip kemiripan (resemble), 2) prinsip kedekatan (contiguity), 3) prinsip sebab akibat (cause and effect) sebagai fenomena.[7]  Dengan demikian pengetahuan manusia berdasarkan kesan inderawi atau relasi gagasan. Hume juga menolak kerangka subtansi-aksidensi. Dia menantang para filsuf untuk membuktikan dari indera yang mana ide substansi diasalkan. Maka, tantangan ini dengan sendirinya menolak terhadap metafisika yang bahas di dalam bukunya Enquiry Concerning Human Undestanding.

Hume juga menolak terhadap tradisi penalaran prinsip pertama sebagai pengatur semesta (prinsip kausalitas). Dua peristiwa yang kita anggap sebagai sebab akibat, misalnya kita menkan tombol klakson sebab itu klakson berbunyi, bagi Hume bukanlah sebab-akibat. Melainkan hanya kejadian yang berurutan. Dan karena manusia melihat kejadian ini secara terus-menerus, sehingga ia menyimpulkan itu tekanan dianggap sebagai penyebab berbunyinya kelakson. Baginya pengetahuan manusia harus berdasarkan relation of ideas dan matter of fact. Pada kejadian penekanan tombol klakson tidak bisa dibuktikan bahwa penyebab berbunyinya adalah karena ditekan. Yang terjadai adalah gejala yang satu (ditekan) menyusul gejala yang lain (berbunyi), sedangkan kausalitas tidak bisa diamati.

Sintesis Empirisme dan Rasionalisme

Radikalisme empirisme Hume membuat Immanuel Kant (Jerman, 1724-1804) bangun dar tidur dokmatisnya tentang keyakinannya terhadap metafisika. Namun alih-alih dapat melawan Hume atas kritik metafisika, Kant justru juga terjerembab dalam pengabaian terhadap metafisika. Dia menulis Kritik Atas Rasio Murni, buku ini secara teoritis menjelaskan kemungkinan ‘pengetahuan murni’ atau pengetahuan apriori yang tidak diturunkan dari pengalaman. Sehingga metafisika juga menjadi mungkin. Mula-mula membagi proposisi (putusan) menjadi dua: analitik dan sintetik. Proposisi analitik adalah putusan yang predikatnya merupakan bagian dari subjek. Misalnya, segitiga sama sisi adalah segitiga atau pensil ada. Jadi putusan yang sederhana dan menunjuk alias tidak ada tambahan kebaruan pada subjek.

Proposisi sintetik, sebaliknya, predikatnya tidak ada dalam subjek dan menambah informasi baru. Misalnya, Napoleon adalah panglima besar. Dalam putusan sintetik tidak semuanya a posteriori seperti contoh Napoleon melainkan juga ada yang a priori. Contoh, 1+2=3, dua dan tiga sebagai predikat adalah sesuatu yang baru terhadap subjek satu. Sehingga proposisi matematika adalah sintetis namun tidak perlu melalui pembuktian sebagaimana a posteriori. Dengan rumusan ini Kant membangun jembatan antara empirisme dan rasionalisme[8].

Kant merumuskan tiga pertanyaan dasar dalam filsafat: Apa yang dapat diketahui?, apa yang dapat dilakukan?, dan apa yang dapat di harapkan? Pertanyaan pertama dijawab dengan paparan diatas. Pertanyaan kedua dijawab Kritik Atas Rasio Praktis dan Dasar-Dasar Metafisika Moral. Jawaban ini disebut etika Kantian. Dia merumuskan prinsip-prinsip formal etika yaitu: 1) Hukum umum, bertindaklah sesuai maksim yang sekaligus sebagai hukum umum. 2) Menjadikan person diri atau orang lain sebagai tujuan. 3) Prinsip otonom, sekan aku pembuat aturan dan melakukannya dengan sadar. Inilah prinsip etis dan imperatif kategoris[9]. Pertanyaan ketiga dijawab melalui Kritik Atas Daya Pertimbangan, disitu Kant berbicara soal estetika sebagai sesuatu yang subjektif.

Meski Kant pengagum Hume, tetapi dia menolak skeptisisme Hume. Dia membangun suatu pendekatan baru bahwa dalam pengetahuan bukan lagi subjek yang mengarahkan pada objek, tetapi objeklah yang mengarahkan pada subjek. Kant membagi tahapan pengenalan: 1) pengenalan indra, dalam pengenalan ini manusia hanya mengetahui kesan dari objek, bukan objek pada dirinya (das ding an sich). 2) akal budi (intelek), pada taraf ini terjadi penyesuaian antara kategori dengan data indera. Terdapat 12 kategori, yang digolongkan menjadi: Kuantitas (unitas, pluralitas, totalitas), Kualitas (realitas, negasi, limitasi), Relasi (substansi, kausalitas, komunitas), dan Modalitas (kemungkinan-kemustahilan, eksistensi-nonesksistensi, keniscayaan-kontingensi). 3) taraf rasio, yaitu menarik kesimpulan dan argumentasi-argumentasi.         

Idealisme

Idealisme muncul salah satunya sebagai respon terhadap gagas ‘das Ding an sich’ (the thing in itself) yang dipopulerkan Kant sebelumnya. Selain itu juga karena pergolakan teologi di Jerman. Idealisme pada dasarnya percaya bahwa dunia bergantung pada gagasan yang kita bangun atau merupakan hasil kegiatan kesadaran manusia. Johann G Fichte (Jerman, 1762-1814), tokoh awal idealisme Jerman. Dia merumuskan Aku-Murni sebagai dasar filsafat idealismenya. Aku-Murni melampaui aku empiris individu, ia tak lain adalah kesadarn pada dirinya sendiri. 

Dalam membuktikan Aku-Murni, Fichte meminta mahasiswanya memikirkan dinding, lalu pikirkanlah dia yang memikirkan dinding, dan pikirkanlah dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding, dst. Dalam proses refleksi ini ditemukan sesuatu yang tetap yaitu ‘melakukan refleksi atas objektifasi itusendiri’. Itulah Aku-Murni, dengan demikian Aku-Murni bukan sebuah substansi yang melampaui kesadaran melainkan kegiatan di dalam kesadaran. Selanjutnya, kesadaran bagi Fichte baru muncul kalau ada sesuatu yang bukan kesadaran (non-Aku=alam). Non-Aku dibuat sendiri oleh Aku-Murni lalu dipertentangkan dengan Aku-Murni, disitulah muncul kesdaran.

Frriedrich W.S. Schelling (Jerman, 1775-1854), dia menolak terhadap doninasi Aku-Murni atas Non-Aku. Jika Kant mendominasikan dalam membentuk kenyataan hingga mengahsilkan das Ding an sich. Fichte sudah menghilangkan itu, tetapi masih ada prioritas: subjek atas objek. Bagi Schelling, perbedaan ini terjadi karena ada refleksi, jika ia dihapuskan maka antara Roh (subjek) dan alam (objek) mengalami kesatuannya. Untuk mengatasi ini, terang Schelling, dalam proses refleksi menemukan alam objektif sebagai satu sistem terpadu yang dinamis yang mengarah pada tujuan tertentu, yaitu kembali pada dirinya sendiri. Dengan demikian, alam tidak asing bagi Roh, bahkan Alam identik dengan Roh, karena Alam adalah Roh yang tampak. Itulah identitas Absolut yang dia maksud.

Ajaran idealisme mencapai puncaknya pada G.W.F.Hegel (Jerman,1770-1831). Ajarannya menyangkut Roh Absolut, Rasio, Ide, dan Dialektika serta Sejarah. Yang absolut (das Absolute) berarti lengkap dan penuh sementara Roh adalah kesadaran yang mengenali dirinya sendiri. Dari gambaran ini, Hegel memahami semesta ini sebagai totalitas menjadai yang berarah tujuan (teleologis), sejalan dengan Schalling. Yang Absolut adalah subjek yang objeknya adalah dirinya sendiri, berarti ia adalah pikiran yang memikirkan dirinya sendiri. Dengan kata lain Yang Absolut adalah Roh.

Dengan demikian realitas adalah proses berpikir, sesuatu yang menyadari dirinya sendiri. Lantas bagaimana kesadaran muncul tanpa sesuatu yang lain? Menurut Hegel dalam Phenomenologi of Spirit, Yang Absolut mengalienasikan diri dari alam lalu mengobjektivasikan dirinya sendiri, sehingga alam menjadi sesuatu yang mungkin bagi kesadaran manusia. Maka dalam kesadaran itu Yang Absolut dapat mengatasi alienasinya sebagai dirinya. Sehingga sejarah filsafat adalah tak lain suatu proses bagaimana Yang Absolut menyadari dirinya sendiri[10]. Yang Absolut sering disebut sebagai Idea, Logos atau Rasio. Diktumnya, all that is rasional is real, all that is real is rasional. Maksudnya Rasio sama luanya dengan realitas, maka realitas adalah proses pemikiran atau Idea.

Perjalanan Roh ini adalah perjalanan yang menyejarah, yaitu proses penyadaran yang terus berlangsung dalam urutan waktu. Mengkaji sejarah ini, Hegel menggunakan metode dialektika: tesis, antitesis, sistesis. Dia mencontohkan revolusi Prancis oleh Napoleon yang kemudian mencapai kemerdekaan dari feodalisme. Peperangan napoleon adalah contoh proses dialektika dalam sejarah, yang menghasilkan sintesisnya yaitu kebebasan.         

Materialisme dan Marxisme

Materialisme muncul sebagai reaksi terhadap Idealisme Jerman saat ini. Materialisme menempatkan realitas bukan pada Idea, realitas ialah materi itu sendiri. Maka, untuk menjabarkan kejadian haruslah melalui materi itu sendiri. Ludwig Feurbach (Jerman, 1804-1872) salah satu tokoh yang mencobamengantisipasi idealisme, dia mempertanyakan kesadaran Hegelian dari mana munculnya? Tidak mungkin lahir  kedasaran dari ketiadaan, maka berarti juga berangkat dari alam materi. Untuk itu berarti dasar utama tetap materi bukan ide. Dalam The Essence of Christianity, Feurbach juga mengkritik agama sebagai pelarian manusia belaka akibat tidak kuat melewati tantangan hidup. Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang teralienasi oleh keadaan, untuk membenarkan keadaannya yang tertindas.

Kritik materialisme Feurbach disambut oleh Karl F Marx (Jerman, 1818-1883). Di tangan ‘si jenggot’ materialisme menemukan mumentumnya yang gemilang. Bahkan disebut-sebut hampir seperempat dunia mengikuti ajarannya. Ajaran penting Marx dapat disederhanakan menjadi dua hal yaitu ‘materialisme dialektis’ dan ‘materialisme historis’. Marx menilai materialisme dialektis sebagai keseluruhan perubahan yang terus menarus melalui proses pertentangan. Marx menyatakan dalam Manifesto Komunis:

“Sejarah semua masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain.”[11]

Marx menarik dialektika Hegelian, tetapi dia kemudian menumpahkannya ke realitas nyata. Dengan demikian, sebagaimana dia menyebut, bahwa filsafatnya tak hanya beda dengan Hegel tetapi sebaliknya. Marx dalam Theses on Feurbach ke XI, menyatakan sindirannya terhadap Hegelian bahwa filsuf mestinya bukan menginterpretasi dunia melainkan bagaimana mengubahnya. Dialektika dalam arti Marxian tidak hanya pertentangan tetapi lebih kaya. Setidaknya ada tiga makna dialektika: 1) perubahan dari kuantitas ke kualitas, 2) kesatuan dan pertentangan lawannya, 3) negasi atas negasi[12].

Sementara materialisme historis, bahwa sejarah manusia disebabkan oleh dua syarat objektif, yaitu kekuatan-kekuatan produksi (forces of production) dan relasi-relasi produksi (relation of production). Kekuatan produksi mencakup orang yang bekerja, alat produksi, dan bahan yang digunakan. Intinya relasi manusia dengan alam. Sementara relasi produksi kaitannya dengan segala segi kehidupan manusia yang ada hubungannya dengan proses produksi termasuk dengan lembaga sosial. Diantaranya campur tangan kaum borjuis yang membuat mereka menderita[13]. Dua poin tersebut selanjutnya, dalam struktur determinisme ekonomi Marx, disebut basis yang mempengaruhi superstruktur.

Menurut Marx, dua hal itu menjadi faktor objektif dari setiap perkembangan masyarakat. Dalam Ideologi Jerman, dia membagi lima perkembangan masyarakat, yaitu: 1) komunal primitif, masyarakat bersifat pemilikian kesukuan, 2) masyarakat perbudakan, munculnya hak milik pribadi, 3) masyarakat feodal, penguasaan atas tanah, 4) masyarakat borjuis, munculnya kaum kapital dan buruh yang dipekerjakan, dan 5) masyarakat sosialis yaitu masyarakat tanpa kelas. Dari setiap lompatan perkembangan tahapan masyarakat ini semuanya didasari atas kondisi objektifnya: kekuatan produksi dan relasi produksi. Temuan ini selanjutnya diistilahkan. Jadi faktor perkembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang mengawang di langit metafisika begitu saja. Melainkan sesuatu yang empiris-objektif dalam kehidupan masyarakat. Marx menyatakan dalam Ideologi Jerman:

Premis dari konsep sejarah kami adalah individu-individu nyata, aktivitas mereka dan kondisi material dari kehidupan mereka, entah yang sudah ada di hadapan mereka ataupun yang diproduksi oleh aktivitas mereka. Premis-premis ini bisa diuji secara empiris.[14]

Eksistesialisme Awal

Eksistensialisme (awal) juga muncul sebagai kritik terhadap idealisme Jerman. Pemikiran dipelopori Soren Abye Kierkegaad (Denmark, 1813-1855). Filsuf yang dikenal melankolis ini, menilai sistem Roh yang rumuskan oleh Hegel terlalu umum mengawang di langit. Manusia tidak pernah hidup sebagai ‘Aku umum’, melainkan sebagai induvidu yang sama sekali unik dan tidak dapat diasalkan pada sesuatu yang lain. 

Yang dihadapi manusia adalah pilihan-pilihan eksistensial dalam kesehariannya. Misalnya, soal si B ragu apakah si A soulmate yang baik atau tidak. Kebenaran objektif ini menurut Kierkegaan tidak bisa di ketahui. Yang mampu diketahui oleh si B adalah realitas eksistensi sendiri yang menyukai si A. Dalam ketidaktahuan ini si B harus memtuskan pilihan: maju atau mundur. Sehingga si A (manusia) dihadapkan dengan kecemasan, kegelisan, keraguan, dan persoalan eksistensial lainnnya. 

Tentu persoaln Roh Hegelian tidal menjawab kegelisahan manusia itu. Argumentasi ini sekaligus menyangkal kemungkinan dialektis yang diyakini dapat mendamaikan tegangan eksistensi manusia, dia yakin itu tidak dapat didamaikan. Sistem keutuhan Yang Absolut Hegel dinilai terlalu ambisius, karena internal manusia hampir mustahil melakukan itu. Filsafat macam itu sama sekali tidak bergulat dengan kehidupan konkrit manusia.[15] Ajaran eksistensialisme ini kemudian diperdalam oleh Jean Paul Sartre.

Perbatasan Modernisme

Setelah melalui bagaimana kemunculan modernitas beserta kejayaannya, kini kita tiba diambang batas modernitas sebelum ke masa kontemporer. Friedrich Nietzsche (Jerman, 1844-1900) ada filsfuf yang diposisikan di tapal batas ini. Membaca Nietzsche juga bukan sesuatu yang mudah. Apalagi tulisan-tulisan berbentuk aforisme pendek yang padat makna. Tetapi setidaknya ada beberapa poin umum atau istilah kunci dari ajarannya, diantaranya Nihilisme, Kehendak untuk berkuasa, Ubermensch, dan kembalinya segala sesuatu.

Nihilisme menunjukkan bahwa apa yang dulu dianggap bernilai kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Kini menjadi keadaan tanpa makna. Renungan nihilisme adalah renungan tentang krisis kebudayaan di Eropa. Nihilisme terjadi akibat ‘kematian Allah’ yang tak lain pembunuhnya adalah manusia itu sendiri. ‘Kematian Allah’ adalah simbol pudarnya kepastian, baik kepastian agama, kepastian ilmu pengetahuan, prinsip logika, dan rasio sejarah[16].

Kehendak berkuasa, merupakan hakikat dunia, hidup, dan ada. Ini berarti bahwa dasar segala sesuatu adalah dinamisme yang masih berada dalam status khaos. Sementara konsep Ubermensch merupakan konsep manusia ideal Nietzsche, yang dijelaskan melalui tokoh Zaratustra. Siapa Ubermensche adalah sesuatu yang tak mudah membacanya. Menurut ST Sunardi, semacam manusia akan datang tak ubahnya sang mesias. Soal kembalinya segala sesuatu, adalah keyakinan Nietzsche akan kekekalan. Dia mengibaratkan kekekalan sebagai wanita yang hendak dikawininya dan melahirkan anak.


[1] F. Budi Hardiman. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia. 2007., hal 15
[2] Ibid., hal 27
[3] Rene Descartes. Diskurus dan Metode. Jogjakarta: IRCiSoD.2012., hal 74
[4] Kees Bertens. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Kanisius. 2014., hal 46
[5] Henry J Schmandt. Filsafat Politik: Yunani Kuno Hingga Modern. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2009., hal 316
[6] Ibid., hal 337
[7] Donny Gahral Adian. Senjakala Metafisika Barat: Hume ke Heidegger. Jakarta: Koekoesan. 2012., hal 43
[8] Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2007, hal 922
[9] F. Budi Hardimana. Ruang Publik. Jogjakarta: Kanisius. 2014., hal 80-82
[10] Op. Cit. Hardiman. Filsafat Modern., hal 178-180
[11] Karl Marx & Friedrich Engel. Manifesto Partai Komunis. Jogjakarta: Cakrawangsa.2014., hal 35
[12] Andi Muawiyah Ramli. Peta Pemikiran Karl Marx. Jogjakarta: LKiS. 2009., hal 116-120
[13] Ibid., hal 139-142
[14] Karl Marx & Frederick Engels. Ideologi Jerman. Jogjakarta: Pustaka Nusantara.2013., hal 10
[15] Thomas Hidya Tjaya. Kierkegaard: Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: KPG.2004., hal 48
[16] ST Sunardi. Nietzsche. Jogjakarta: LKiS. 2006., hal 34

Posting Komentar

2 Komentar