Oleh: Herlianto A, staf pengajar STF Al Farabi Malang
Perempuan memang selalu seksi untuk
dibincangkan. Bukan hanya karena hasrat yang dihasilkan melalui seksi girl
dengan bertelanjang separuh dada dan separuh paha pada event pameran
motor dan mobil. Lebih dari itu, fungsi dan peran sosial perempuan juga unik,
misalnya, negara hanya memberi porsi 30 persen dalam setiap jajaran birokrasi.
Kurang jelas apa dasar pemberian porsi ini dan mengapa hanya 30 persen? Apapun
alasannya—dari sisi keadilan—pemberian porsi ini dapat kita gugat, ada nuansa
ketidakadilan disitu.
Selain itu, ada penilaian bahwa
perempuan adalah manusia paling rentan akan kekerasan oleh lawan jenisnya.
Kekerasan rumah tangga dan kekerasan seksual, korbannya banyak perempuan.
Perempuan menjadi objek pemuasan libido laki-laki—seakan kaum hawa tidak
punya libido, benarkah?—melalui human trafficking berupa PSK,
warung pangku, LC (Ladies Corner: purel) dan ayam kampus, yang saat ini
sedang diperangi oleh negara dan masyarakat. Alhasil, secara institusional
dibuatlah perlindungan perempuan berupa Komnas Perempuan—dimana-mana tak ada
Komnas Laki-laki. Lembaga ini bertekat menyelamatkan perempuan dari kekerasan
sosial, dan mengembalikan fungsi sosialnya.
Sumber: kalyanamitra.or.id |
Dengan spirit yang sama
feminisme muncul sebagai satu gerakan dan ideologi. Sebagai gerakan kaum
feminis melakukan tindakan-tindakan preventif terhadap kemungkinan akan
kekerasan pada perempuan, atau melakukan langkah-langkah advokasi. Sebagai
ideologi, feminisme menjadi legitimasi tindakan para pejuang perempuan untuk
membenarkan tindakannya. Menyebarlah
feminisme ini ke dalam bentuknya yang kian beragam. Misalnya feminis radikal
yang anti perempuan (misoginis) dan anti pernikahan. Feminis moderat
yang bertitik pada kesetaraan perempuan secara sosial, tetapi masih “butuh
laki-laki”. Ekofeminis yang mengaitkan perempuan dengan isu-isu lingkungan, dan
post-feminis yang mengevaluasi gerakan feminis radikal.
Pejuang feminis pun tidak hanya dari
kalangan perempuan, tak sedikit kaum adam memutuskan menjadi pejuang feminis.
Lantas haruskah kita semua menjadi feminis? Selain menjawab pertanyaan ini,
tulisan ini juga akan menelusuri dimensi sejarah perempuan dan akan memberikan
kritik basis terhadap pendekatan feminis.
Dimensi Historis Perempuan
Diskursus tentang perempuan
sebenarnya sudah mengemuka sejak 600 tahun SM. Bagaimana posisi perempuan dalam
struktur sosial kemasyarakatan sudah diformasi oleh polis Sparta di Yunani. Di
Sparta, anak-anak laki-laki dan perempuan pada usia tujuh tahun dipisahkan dari
orang tuanya. Mereka dikumpulkan bersama—konon mereka dikumpulkan kadang dalam
keadaan sama-sama telanjang bulat—untuk melalui pendidikan yang disiapkan
negara. Setelah dinilai memenuhi administrasi sipil, mereka diizinkan menikah
tetapi pada usia 30 tahun para lelaki harus meninggalkan istrinya. Mereka harus
tinggal di barak untuk memperkuat militer Sparta[1][1].
Mengapa perempuan tidak ikut? Tentu saja perempuan dipandang rendah secara
fisik.
Plato menulis soal perempuan di magnum
opus-nya, Republik. Tetapi dia cukup fair menilai perbedaan
antara perempuan dan laki-laki. Bahwa keduanya dapat dibedakan hanya secara
fisik, tetapi secara potensi tidak bisa dibedakan. Sebab itu dalam kerangka
pendidikan Plato perempuan dan laki mendapat pendidikan yang sama (musik dan
gymnastik).
“Kalau perbedaan itu hanya terletak
dalam hal perempuan bertugas melahirkan dan lelaki bertugas membuahi, hal ini
tidak membuktikan bahwa perempuan itu berbeda dari lelaki dalam hal pendidikan
yang harus diterimanya; dan karena kitu kita harus terus mempertahankan para
pelindung kita dan istri mereka harus memiliki pencarian yang sama,”[2][2]
Pada abad pertengahan—melalui konfigurasi
agama (Kristen)—peran perempuan mendapat tantangan dalam kehidupan bersosial.
Mahluk lembut ini kemudian dibenamkan dalam kelas rendah dan hina dina, dan
dianggap penghalang bagi laki-laki memperoleh kesucian surgawi. Seorang Romo
dapat menikmati surga hanya apabila menjauhi perempuan dan tidak menikah seumur
hidupnya. Sejak itu kelas perempuan menjadi berbeda dengan rumusan Plato dalam
negara idealnya. Murid Sokrates itu menunggalkan perempuan dan laki-laki dalam
strata sosial, tetapi abad pertengahan memisahkannya ke dalam kerangka
subjek-objek. Pelaku utama alam adalah manusia laki-laki, sementara perempuan
numpang saja.
Di Timur Tengah—khususnya Arab Saudi sebagai kelahiran Islam—sebelum Muhammad datang, perempuan dipandang sebagai malapetaka dalam keluarga. Karena itu sebisa mungkin perempuan dimusnahkan, lahirlah tindakan-tindakan keji seperpi mengubur bayi perempuan hidup-hidup lantaran takut tercoreng nama besar keluarganya. Hadirnya Muhammad mendekonstruksi cara pandang dan cara hidup yang lebih kejam dari binatang itu. Perempuan mulai diberi ruang bernafas, dan berinteraksi dalam kehidupan sosial. Namun, latar belakang sosial ini masih menyisakan benih di ruang sosial. Dikemudian hari, masih ada skrip-skrip Islam yang dianggap problematis dan anti-perempuan, seperti misalnya soal pembagian warisan, dimana perempuan mendapat bagian lebih sedikit, dan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, laki-laki boleh poligami perempuan tidak haram poliandri, dst.
Di Cina dan Jawa, perempuan hampir memiliki risalah hidup yang sama, yaitu dalam tradisi kerajaan yang feodalistik. Dalam tradisi patriarki perempuan tak lebih dari barang dagangan yang dapat ditukar dan diperjual-belikan. Tak sedikit kisah gadis perempuan digunakan untuk membayar hutang oleh ayahnya, kisah Siti Nurbaya (ditulis Marah Rusli), atau Sanikem (Nyai Ontosoroh) dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Wajar jika raja-raja Cina dan Jawa memiliki puluhan dan bahkan ratusan selir sekedar untuk berganti selera seks setiap malamnya. Dalam tahta kerajaan juga jarang sekali ditemukan perempuan yang duduk dikursi terhormat itu. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang perempuan bernasib sama, mereka tak lebih sebagai tisu untuk mengelap nafsu bejat penjajah setelah itu dibuang ke tong sampah. Melalui dimensi historis perempuan ini, rasanya cukup berjasa kaum feminis mengangkis perempuan. Setidaknya itu yang kita ingat dar R.A Kartini. Lantas di era kapitalistik dan kehidupan transnasional ini bagaimana?
Perempaun Zona Kapitalisme
Perempuan di zona kapitalisme
mengalami pergantian pandangan yang cukup radikal dibanding era feodalistik.
Melalui kerangka demokrasi, perempuan diberikan kebebasan untuk berekspresi dan
menetukan pilihan hidupnya. Tetapi kebebasan menentukan diri juga tidak menyelamatkan
perempuan dari penistaan akan hakikat dirinya. Misalnya, tak sedikit perempuan
menjajakan keperawanan demi memenuhi kebutuhan ekonominya. Gadis-gadis bertubuh
molek berwajah manis memutuskan secara sadar untuk menjadi penari striptis di
hadapan “mata-mata samun”. Atau memutuskan menjual cahaya seksualnya untuk
memodifikasi produk-produk kapital lewat event yang digelar kapitalis.
Situasi ini tentu masih membenamkan perempuan sebagai objek ekplorasi dan
eksploitasi. Anehnya, keadaan ini dipilih sendiri oleh perempuan. Tentu saja
fakta ini membuat identifikasi motif tindakan sosialnya menjadi berbeda dari
eksternal ke internal, sekaligus ini yang membedakan perempuan era feodalistik
dan kapitalistik.
Sebab itu, melihat perempuan hari ini berbeda dengan zaman dulu. Strategi dan metode perjuangan feminis harus juga berubah. Dulu kemunculan gerakan feminis karena kekerasan pada perempuan, maka metodenya adalah advokasi langsung. Saat ini hampir tidak ditemukan kekerasan pada perempuan yang sebetulnya sedang menjalankan perbudakan dirinya untuk kepentingan orang lain. Bahkan mereka merasa puas dan nikmat di zona itu. Bisa jadi feminis yang menggunakan pendekatan lama dibilang gila oleh mereka, dan dianggap mengganggu kenikmatan mereka.
Tepat pada titik itu kritik basis terhadap feminis menjadi penting, bahwa menjadi tidak cukup melihat ketidak-setaraan perempuan melulu dari sudut kekerasan fisik. Justru penindasan perempuan yang paling dahsyat saat mereka merasa tidak sedang dieksploitasi. Untuk itu, feminis menjadi perlu melengkapi metode analisanya dengan pendekatan kritik kapitalis agar tetap kontekstual. Dalam hal ini tak ada kritik kapitalis yang lebih bernas selain analisa kapital Marxis.
Jika, sejauh ini feminis merasa Marxis tidak dapat memenuhi kebutuhan perjuangannya—karenanya dia keluar dari kerangka masyarakat kontadiktif Marxis (borjuis-proletar)—maka analisa Marxis justru dibutuhkan untuk menguatkan perjuangan feminis. Dengan analisa ini kaum feminis dalam menyelamatkan perempuan tidak harus menunggu ada yang terluka di antara mereka. Tak harus menunggu ada seorang laki-laki yang dengan kasar memperkosa perempuan.
Feminisme Vs Agama
Agama (Islam) merupakan satu lembaga
yang sering mendapat kritik filosofis keras dari kaum feminis. Karena agamalah
yang menyematkan mana laki-laki dan mana perempuan, agama bersama tradisi
membagi apa peran laki-laki dan bagaimana perempuan, selanjutnya memicu
struktur patriarki dalam tatanan masyarakat. Sedihnya, peran yang dibagi agama
dan tradisi sering timpang. Perempuan selalu berada pada posisi yang
“dirugikan” secara sosial. Paling kentara adalah pembatasan tidak rasional atas peran perempuan di ranah sosial, alhasil
feminis menyerang gagasan ini.
00Kaum feminis kemudian mencoba
membuat kosntruksi sosial baru—meletakkan laki-laki dan perempuan yang kita
pahami saat ini tidak hakiki dan sebatas bentukan budaya—sesuai dengan
keinginannya. Secara seksual muncullah gejala-gejala lesbian dan gay—dimotori
oleh gerakan Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT)—yang mana mereka
menemukan bahwa menikah tidak harus dengan laki-laki dan perempuan dalam arti
normal. Gejala ini di beberapa negara Barat
sudah diundangkan, karena itu jangan kaget jika melihat pernikahan yang
pengantennya sama-sama berkumis dan berjenggot.
Namun jika ditelisik lebih jauh, konstruksi baru kaum feminis lewat LGBT ini tidak menghilangkan kosntruksi laki-laki dan perempuan sepenuhnya. Nyatanya, dalam rumah tangga lesbian atau rumah tangga gay tetap ada yang memerankan laki-laki dan perempuan. Dalam istilah LGBT dikenal sebagai “gay bottom” (gay sisi) bagi yang memerankan perempuan, dan “gay up” memerankan laki-laki. Keputusan sebagai “gay bottom” atau “gay up” ini ditentukan melalui hubungan seksual pertama mereka. Jika pertama puas “dibawah” dia akan akan jadi gay bottom, sebaliknya jika puas di atas akan menjadi gay up. Dan jelas perbedaan penamaan ini diikuti dalam perbedaan perannya dalam rumah tangganya. Dengan demikian mereka tidak menghilangkan konstruksi laki-laki−perembuan dalam agama dan tradisi.
Kritik feminisme terhadap agama (Islam) sebetulnya kritik terhadap tafsir agama. Islam sendiri memberikan ruang pada perempuan untuk berkarya di ruang publik. Arrijal bukanlah univokal sebagai laki-laki, tetapi secara ekuivokal dapat berarti potensi. Qawwamuna juga demikian, dapat dimaknai sebagai kasih sayang (tafsir Quraish Shihab, surat Annisa). Dengan demikian siapapun yang memiliki potensi atau kemampuan tidak peduli laki-laki atau perempuan berhak mengambil posisi di ruang publik atau duduk di kursi kepemimpinan.
Soal kekerasan atas perempuan tidak
perlu menunggu feminis untuk melawannya, Islam jauh hari sudah menyediakan
kerangka mengatasi kekerasan sebagaimana Islam lahir mengatasi prilaku
jahiliyah atas perempuan. Bahkan perlindungan kekerasan tidak hanya atas
perempuan tetapi juga atas laki-laki. Jadi konstruksinya yang kuat melindungi
yang lemah, karena dalam perkembangannya kekerasan tidak hanya dilakukan oleh
laki-laki atas perempuan, tidak sedikit kekerasan dilakukan oleh perempuan atas
laki-laki.
Dengan demikian tanggung jawab
mengentaskan kekerasan atas perempuan atau laki-laki adalah tanggung jawab
bersama. Hadirnya feminisme, dalam arti mengentaskan kekerasan atas perempuan,
memiliki satu arti penting yang tak bisa kita abaikan begitu saja. Tetapi untuk
melawan kekerasan atas perempuan tidak perlu menjadi anggota feminis terlebih
dahulu. Are you feminist or not? it’s okey (apakah kamu feminis atau
bukan? Tidak masalah) tetaplah melakukan perlawanan kekerasan pada
siapapun.
*Catatan diskusi Pusat Kajian
Filsafat dan Interdisipliner, tema Feminisme.
0 Komentar