Oleh: Herlianto A, staf pengajar STF Al Farabi Malang
Sumber: puomista.wordpress.com |
Sejauh ini kalangan PSK menolak
untuk membahas demokrasi atau sosialisme dalam Islam. Bagi mereka, dua sistem
tersebut “tidak ada dalam” Islam bahkan bertentangan dengan Islam. Mereka mau
membahas kedua aliran tersebut sejauh diletatakkan di luar Islam, yaitu
demokrasi dan sosialisme “dalam sudut pandang” Islam,—karena keduanya buatan
manusia-manusia “kafir”, bukan Tuhan. Pilihan demikian lebih mengadili
demokrasi dan sosialisme, ketimbang mengambil sisi penting yang kontekstual
dengan tata bermasyarakat saat ini. Pembahasan akan dikerucutkan pada bagaimana
PSK membangun kesadaran konstituennya dan gerakannya dalam bentuk teror dalam
sudut Marxis.
Inkonsistensi Logika
Dalam edukasinya, PSK sering
memposisikan diri sebagai kelompok yang paling dekat dan mengerti Tuhan.
Tafsirnya akan Alquran sebagai yang paling tepat dan benar, lalu melakukan
klaim kebenaran (truth claim) dengan menutup tafsir dan
definisi-definisi yang lain. Mula-mula cara ini kita terima sebagai jalur
mereka memahami Alquran, karena sandaran terhadap truth claim tidak bisa
terhindarkan pada siapapun, keluar dari klaim kebenaran berarti membuat klaim
kebenaran baru. Artinya mereka yang menganggap PSK melakukan klaim kebenaran
juga sedang melakukan klaim kebenarannya sendiri. Kritik atas PSK dengan
menuduh klaim kebenaran hanya memindahkan klaim kebenaran dari PSK ke kelompok
lain. Karena itu tuduhan balik semacam ini menjadi senjata pemungkas PSK untuk
menundukkan lawan-lawannya.
Baiklah, kita akan menggunakan
senjata yang sama untuk menunjukkan inkonsistensi logika PSK. Sudah mafhum
bahwa aliran ini anti terhadap akal, mereka mengumandangkan rasionalitas untuk
ditempatkan di tong sampah karena “menjijikkan”. Rasio tak memiliki kemampuan
apa-apa, rasio terbatas, sekalipun tidak tahu dimana batasnya. Pertanyaan
baliknya, dengan apa PSK mengerti bahwa rasio terbatas? Bukankah PSK juga
menggunakan rasio untuk mengidentifikasi bahwa rasio terbatas. Bagaimana mungkin
mereka dapat menerima hasil rasio yang terbatas untuk menyatakan bahwa rasio
terbatas sementara pada saat yang sama mereka menggunakan rasio terbatas itu
untuk menilainya?
Katakanlah ditemukan Alquran
mengatakan rasio terbatas. Pertanyaannya bagaimana PSK memilih teks Alquran
sehingga dapat menyimpulkan bahwa rasio terbatas, bukankah Alquran tidak bisa
menyatakan dirinya, ia benda mati yang harus ditafsiri dengan rasio?
Termasuk—saya jamin sah—kesimpulan mereka bahwa sistem khilafah sebagai jawaban
problem sosial adalah hasil rasionalitas mereka. Bagaimana struktur sosial
khilafah—dan beberapa persoalan teknis kenegaraan lainnya—akan dibangun adalah
niscaya menggunakan rasio. Karena Alquran hanya menyediakan hukum-hukum umum
bukan soal teknis. Dengan demikian khilafah mengabaikan nuansa kemanusiaan
dengan menggunakan perangkat manusia itu sendiri. Bagaiman daya dari sesuatu
yang sudah diabaikan dapat kita terima hasilnya sebagai sesuatu yang absah? Ini
sesuatu yang kontradiktif.
Problem Historis
Secara historis PSK tidak memiliki
pijakan historis yang jelas khusus dalam beberapa kekuasaan Islam yang penah
ada. Sejarah Islam menunjukkan tidak memiliki sistem pemerintahan yang tunggal.
Sebut saja pada masa Khulafaur Rasyidin juga tidak ditemukan jejak “kekhilafahan”
sebagai mana digembar-gemborkan PSK. Artinya secara sistem pemerintahan ada
pola yang berbeda yang dijalankan oleh satiap Kholifah saat itu. Misalnya, Abu
Bakar as Shiddiq diangkat secara aklamasi, Umar bin Khattab diangkat melalui
wasiat, Usman bin Affan melalui formatur, dan Sayyidina Ali melalui wasiat.
Keempatnya memiliki tradisi yang
berbeda dan tidak bisa disamakan satu sama lain. Sistem wasiat tidak bisa disamakan dengan formatur,
dan juga berbeda dengan pola aklamasi. Masing-masing berkontradiksi dan saling
menegasikan. Artinya tidak bisa dalam satu negara menganut ketiganya secara
bersamaan sekaligus, apalagi menganggap ketiga sebagai satu. Lalu dari keempat
sistem itu yang mana punya PSK yang kini tengah diusung? Jawabannya absurd.
Atau pasca kekhalifahan, yaitu pada
masa para dinasti: Umayyah dan Abbasiyah. Jika ini pijakannya, kita tidak perlu
mengerutkan dahi menolak sistem khilafah. Cara penolakannya persis sama
sebagaimana PSK menolak negara diktator komunis ala Soviet bahwa negara
bentukan V.I. Lenin itu telah runtuh dan telah melakukan penistaan kemanusiaan
dengan pembunuhan massal. Para dinasti itu juga telah resmi ditutup dengan
tenggelamnya dinasti Ottoman di Turki. Jika ala dinasti yang dimaksud sistem
khilafah oleh PSK, tentu tak bisa dipercaya lagi sistem ini, nayatanya sudah
tumbang. Selain itu kepemimpinan dinasti Islam itu tidak kalah diktatornya
dengan kepemimpinan Stalin, juga tidak sedikit korban jiwa melayang lantaran
dianggap melanggar otoritas raja yang diklaim utusan Allah. Kelemahan
mendasarnya tetap sama yaitu tiadanya kontrol terhadap kekuasaan yang tunggal,
sehingga terjadi monopoli tafsir, pengetahuaa, dan kebenaran dan ujungnya
pembantaian. Jadi secara historis sistem khilafah tidak memiliki pijakan yang jelas.
Kritik Marxis
Sebetulnya PSK memiliki titik
berangkat yang sama dengan Marxis untuk memulai gerakannya, yaitu material. PSK
selalu memulai edukasi dari menyadari sektor material manusia, misalnya soal
kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, imperialisme ekonomi. Itulah sebabnya PSK
juga paling getol menolak kapitalisasi, privatisasi, neo-imperialisme dalam
bentuk korporasi-korporasi asing, dan segala bentuk penjajahan yang menistakan
kemanusiaan. Mereka juga penganjur nasionalisasi segala aset negara demi
sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. PSK menyadari sektor
ekonomi perlu dipandang secara mendasar untuk memulai perlawanan, kesadaran
ekonomilah yang menjadi bahan bakar perlawan sesungguhnya. Pada titik ini
rasanya tidak terlalu berbeda antara Marxis dan PSK.
Tetapi jika ditarik pada doktrin
epistemologis mereka bahwa segala sesuatunya merupakan determinasi Tuhan, bahwa
Allah telah secara sempurna dan komprehensif menata semesta, segala sesuatunya
diatur oleh Allah. Alhasil manusia tidak perlu berjuang lagi untuk kehidupannya
karena semua sudah takdir ilahi. Pada titik ini seketika PSK membalik
determinisme perjuangannya dari ekonomi ke Tuhan (agama), dan ini sekaligus
yang menjadi kekhawatiran Marxis. Agama yang dipahami secara tidak kritis dan
membenamkan kebebasan manusia ini berpotensi tenggelam dalam religion is
opium yang karenanya kapitalisme masih dapat bercokol kuat di bumi ini.
Dan anehnya PSK menolak
mentah-mentah kebebasan manusia. Kita menjadi bertanya apa maksud PSK
membeberkan problem ketimpangan ekonomi, nasionalisasi sumberdaya alam, dan
penolakan kapitalisasi. Bukankah itu semua bagian dari predeterminasi Tuhan,
sehingga manusia tidak perlu risau dengan segala ketimpangan itu, manusia
tinggal menerima saja apa adanya. Lagi-lagi PSK mendapati jalan buntu disini,
sistem khilafah menjadi sulit dipahami dan imposible diterapkan. PSK
mencampur baurkan antara yang meterial dengan non-meterial, antara yang
ekonomis dan yang spritualis tanpa didasari oleh suatu deskripsi yang dapat
diterima.
Kerena itulah PSK tidak punya sikap
yang jelas terhadap para ustad yang menjual agama di TV-TV dengan menggunakan
dalil-dalil Islam. Juga terkesan lembek terhadap mereka yang mengaku Kiai
tetapi berdiri dibalik para kapitalis-kapitalis besar yang selama ini mengeruk
kekayaan negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya. PSK menilai itu bagian
dari jihad fi sabilillah, padahal semua itu jihad memuaskan nafsu
serakah dirinya, keluarganya, dan kelompoknya. Jelas dari sudut pandang “agama
naif” ala PSK susah hal semacam itu dapat dilawan dan ditunjukkan motif-motif
serakahnya. Hanya lewat kecendrungan analisi ekonomilah—dalam hal ini analisi
ekonomi Marxis dengan segala variannya—kebusukan berlambang agama itu dapat
kita beber dan lawan.
Revolusi Bukan Teror
Tak kalah mengerikannya adalah
langkah-langkah taktis yang telah dilakukan oleh PSK—khususnya gerakan khilafah
dengan kekerasan—yang berupa gerakan teror. Sebagaimana kita saksikan
belakangan ini mulai dari negera-negara Timur Tengah hingga di kawasan Tamrin
Jakarta beberapa waktu lalu. Namun sayangnya, tak ada sejarah yang menunjukkan
bahwa negara menjadi tumbang lantaran serangan teroris, sebaliknya negara
menjadi semakin kuat. Dan yang terjadi—ini yang ditakutkan oleh Coen Husain
Pontoh (CHP), salah satu pemikir Marxis terkemuka—negara justru semakin membabi
buta melakukan tindakan represif terhadap apapun yang dianggap menentang negara[1][1].
Kritik CHP selanjutnya adalah
terorisme sama sekali tidak membebaskan justru hanya menciptakan
ketakutan-ketakutan bagi masyarakat yang mulai tumbuh kesadarannya untuk
melakukan perlawanan. Dari analisa CHP ini tak berlebihan kiranya, jika ada
kecurigaan bahwa terorisme dibentuk dan
didanai oleh negera-negara kapitalis—Kim Jong Un, pimpinan negara Korea Utara
tanpa canggung menyebut bahwa terorisme adalah cara Amerika menguatkan
cengkeramannya di negara-negara Islam—untuk menguatkan dominasi kapital di
negara dunia ketiga (developing country). Artinya teroris adalah sesajen
atau tumbal yang dipersembahkan oleh kapitalisme demi keselamatan dirinya.
Dengan demikian kita harus
membedakan antara gerakan revolusi dan teror. Tentu saja revolusi bukanlah
teror itu sendiri. Ada perbedaan cara dan konsekuensi yang mendasar antara
keduanya. Teror dilakukan denga cara serampangan dengan mengabaikan gerakan
masif dan solid, dan biasanya oleh segelintir orang yang sudah di-brain wash
dan siap menghibahkan nyawa untuk pimpinannya. Teror sama sekali tidak
menggunakan kekuatan organisasi dan soliditas perlawanan, karena memang
targetnya hanya melahirkan ketakutan di masyarakat.
Sementara revolusi melalui gerakan
massa yang solid dan dengan kesadaran penuh. Kemudian organisasi sosial dan
soliditas massanya kuat. Karena itu untuk melakukan revolusi dalam suatu negara
tidak semudah melakukan teror, hanya cukup dengan membawa lima bom bersembunyi
dibalik pos polisi dan meledakkan diri. Revolusi mensyaratkan kesatuan antara
masyarakat dengan para intelektual itu sendiri dan berdiri diatas satu
kesadaran yang sama bahwa kezaliman harus dilawan. Setidaknya begitulah proses
revolusi yang dicontohkan oleh masyarakat Prancis dan Iran dalam konteks negara
modern ini.
Dengan demikian belum telat bagi PSK
untuk menyadari posisinya dalam konteks bernegara, sosial, dan agama. Sehingga
dapat mengubah pandangan dan gerakan taktisnya dalam mencapai kesejahteraan.
Semoga Allah memberinya hidayah. Amien!
*pernah dimuat di Ragepublic.com dimuat lagi untuk tujuan pendidikan
[1][1]
Coen Husain Pontoh. Terorisme Sebagai Pukulan Mundur Bagi Politik Progressif.
Indopreogress.com.,12/1/2016
0 Komentar