Oleh: Herlianto A,
santri STF Al Farabi Kepanjen Malang
Suatu hari Sokrates (469-399 SM)
bilang begini: orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Jika
diamati sekilas, pernyataan filsuf Yunani ini, tentu saja sulit menemukan
korespondensinya di masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, para pelaku
kejahatan kerah putih (white color crime) alias koruptor hampir semua di
atas sarjana pendidikannya. Bahkan juga tak sulit mencari dari kalangan doktor
dan profesor hingga yang berlabel kiai meringkuk di penjara akibat korupsi.
Kalau begitu berarti Sokrates hanya bicara idealitas bukan realitas, artinya
“teori Sokrates” tidak berlaku di Indonesia. Apakah begitu? Tunggu dulu!
Aforisme pemikir besar tanah para
Dewa itu dapat dijelaskan dengan lebih canggih. Mula-mula dia tidak hanya
sedang bicara soal teori korespondensi antara idealitas dan realitas atau antara
teori dan praktik, tetapi juga dia ingin menjawab dari mana tindakan itu datang
dan bagaimana pertautannya dengan ke-Ada-an manusia itu sendiri. Artinya, guru
Plato itu dalam kalimatnya yang paling singkat berhasil mempertautkan antara Ontologi
(orang), Epistemologi (berpengetahuan), dan Aksiologi (budi
baik). Ketiganya adalah cabang penting filsafat, yang tanpanya filsafat dan
ilmu pengetahuan tidak bisa apa-apa, dunia menjadi begitu gelap.
Lalu apa pula hubungannya dengan
masyarakat ideografik? Masyarakat ideografik, sebagaimana dirumuskan
Windelband, adalah mereka yang bertindak dengan dasar lambang-lambang atau
simbol-simbol. Dasar pijakannya berupa doktrin-doktrin yang dijadikan aksioma
(tanpa harus mempertanyakan untuk melakukannya) yang dibakukan. Sehingga begitu
lambang-lambang itu “diotak-atik” oleh orang lain maka masyarakat ideografik
akan tersinggung dan emosional. Mereka mengira kebenaran ada pada deretan
lambang-lambang itu, mengkritik lambangnya sama dengan merobohkan kebenaran baginya.
Tentu saja, mereka akan marah besar.
Begitu Ahok menyampaikan “hal
yang kurang sedap” tentang Alquran, ratusan ribu bahkan jutaan orang datang dari
berbagai daerah turun ke jalan, dan aksi dilakukan secara marathon ke Jakarta.
Mereka lalu marah-marah di jalanan. FUI (Forum Umat Islam) Jogkarta memaksa
menurunkan baliho di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) karena menggunakan
gambar mahasiswi berjilbab. Mereka merasa lambangnya digunakan, dilecehkan,
atau bahkan direbut oleh orang lain. Kepercayaan sakralnya atas lambang itu
merasa dihina.
Masyarakat ideografik tidak bisa
bergerak sebelum dia digiring pada hal-hal yang menyentuh lambang-lambangnya.
Sekalipun secara substansial ada tindakan yang meruntuhkan ajaran dan kemurnian
keyakinannya. Tetapi selama belum berkaitan dengan lambang keyakinan, mereka
akan tetap anteng bin tenang. Karena itu, selamanya masyakat ideografik
tidak akan pernah terlibat dalam aksi bela petani Kendeng, Rembang. Tidak akan
turun jalan meski lingkungan dirusak di gunung Tupang Pitu, Banyuangi atas
kepentingan korporasi. Nuraninya biasa-biasa saja meski anak kecil dibom atas
nama agama di Samarinda. Kenapa begitu? Semua itu belum menyentuh
lambang-lambang mereka.
Di sisi lain, tipe masyarakat ini
sebetulnya mudah digerakkan jika kita mampu memberikan isu dan menyeret
lambangnya dalam satu arena gerakan. Hanya saja konsekuensinya mereka menjadi
massa yang tidak mengerti persoalan secara substansi. Mereka tak lebih
“segerombolan domba” yang digalang oleh penggembala untuk makan rumput ditengah
padang ilalang, setelah kenyang diajak pulang. Kata Tan Malaka, mereka bukan “aksi
massa” melainkan “massa aksi”. Dengan kata lain bukan aksi yang masif,
melainkan sebatas reaksi emosional tanpa memahami argumen persoalannya.
Sampai di sini, kita bisa menarik
lagi pada persoalan white color crime di awal. Apakah lantas korupsi
merupakan tindakan reaktif si koruptor atas lambang-lambang keyakinannya? Bagaimana
bisa begitu? Kembali Sokrates mengajak kita lebih dalam lagi melihat persoalan.
Setelah pengetahuan itu ada sebagai potensi dan teraktualkan dalam bentuk
tindakan, maka yang tak bisa dipungkiri adalah keterlibatan diri (orang yang
bertindak). Artinya epistemologi dan aksiologi tetaplah berpijak pada ontologi,
tidak mungkin pengetahuan hadir dalam bentuk tindakan tetapi tidak ada yang
mengetahui dan yang berindak. Keduanya berpijak pada bumi ontologi.
Lalu apa? Begini, tindakan
kejahatan apapun yang dilakukan manusia sebetulnya bertentangan dengan nurani
dirinya. Andaikan bisa, pelaku kejahatan tidak mau berbuat jahat dan memilih
yang baik, koruptor nuraninya tidak mau korupsi. Tindakan kejahatan koruptor
tidak disertai oleh kehadiran dirinya (ontologi), nuraninya menginginkan
kebaikan bukan keburukan. Alhasil, epistemologi tidak cukup dimaknai dengan
hanya mampu menghafal deretan-deretan pelajaran atau buku-buku, hatam
rumus-rumus, apalagi dengan titel dan gelar. Bagi Sokrates pada akhirnya
epistemologi (pengetahuan) adalah berbuat baik itu sendiri. Tidak ada
pengetahuan yang bertentangan dengan perbuatan baik, aksiologi ialah
epistemologi itu sendiri.
Karena itu, saat ada kiai atau
ustad terlibat dalam tindakan kejahatan bukan lantas agama (Islam) sebagai
suatu pengetahuan yang salah, tetapi mereka sendiri—yang secara ontologis membiarkan dirinya—masuk dalam pusara
kejahatan. Apabila ada profesor dan doktor yang korup tidak lantas pengetahuan
yang diberikan pada mahasiswa menjadi salah dan tak berguna. Dengan demikian,
koruptor tetaplah tidak berangkat dari pengetahuannya melainkan dari
lambang-lambang yang mereka yakini, yaitu bahwa uang adalah segalanya, jabatan
adalah puncak kehormatan dan segenap lambang lainnya.
Akhirnya, ada makna penting yang
diajarkan Sokrates yaitu jangan campurkan antara pengetahuan dengan keyakinan
lambang-lambang. Pengetahuan selalu membawa pada kebaikan, sementara
lambang-lambang pada respon sesaat dan emosional. Kalau begitu masyarakat
ideografik perlu menimba pengetahuan lebih dalam lagi, hingga akhirnya
menjadikan pengetahuannya sebagai sikap moralnya. Jika jutaan demostran kemarin
adalah massa ideografik, maka adalah tugas negara dan kita semua untuk membalik
mereka menjadi massa yang epistemik.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Timesindonesia 17/12/2016
0 Komentar