Oleh: Herlianto A,
Santri STF Al Farabi Malang
Sebagai animale simboliticum
(mahluk simbolik), yang hakiki dari manusia adalah kemampuan memaknai atau
menafsir apapun yang merentang di sekitarnya. Kehidupan tak lain adalah menginterpretasi
itu sendiri, mulai dari aktivitas kerja, fenomena alam, tradisi, hingga
teks-teks yang dianggap suci. Karena itu, kelahiran bahasa—wicara, tulisan, dan
simbol-simbol lain—adalah
anugerah terpenting bagi manusia demi keberlangsungan interaksi antar sesama.
Kenyataan inilah yang membuat dua
disiplin ilmu: hermeneutika dan semiotika berkembang pesat hingga abad modern
ini. Perbedaan kedua disiplin ilmu ini dalam mengkaji simbol (tanda), pada
taraf tetentu, sudah hampir kabur. Semuanya bertekat dan yakin dapat
menghadirkan apa yang terlentang dibalik tanda, yang sejauh ini menjadi medan
komunikasi manusia. Namun begitu, keduanya tetap harus dibedakan pada tingkat
kedalamnnya dalam mehami tanda.
Pemikiran pasca-modern
(postsrukturalis) turut andil memproklamirkan diri sebagai—meminjam bahasa
Wittgenstein—era permainan
bahasa (language game). Di mana semuanya hanyalah soal bagaimana
mengolah bahasa sedemikian rupa. Itu yang ditunjukkan pada kata “pakai” yang
menjadi polemik pada video Ahok yang diduga menghina Alquran beberapa waktu
lalu, yang terus berlarut-larut.
Sedihnya, makna kemudian dianggap
tidak ditemukan (nihil) dalam belantara tanda dan simbol. Bahkan Roland
Barthes mendeklarasikan bahwa semua penulis sebagai tumpuan makna itu sendiri
“meninggal dunia” pasca karyanya dilepas ke publik. Ia tak dapat berbuat
apa-apa terhadap pembaca yang mencabik-cabik makana pada karyanya. Makna yang
diharapkan hadir, hanya menjadi jejak-jejak (traces) yang terus berbeda
dan menunda (differãnce).
Dalam suasan demikian bagaimana
nasib agama yang hadir lewat simbol-simbol berupa teks (suci), yang sejauh ini
dijadikan pedoman (mutlak) kehidupan umat? Masih adakah kemutlakan makna
dibalik teks-teks agama sebagai jalan bersama menuju sang khalik? Dan bisakah
makna itu hadir secara objektif dan terbebas dari subjektivitas si penafsir
atau pembaca? Sekilas, bisa kita amati makna tunggal dari satu teks (agama)
tidak ada yang berhasil menemukan. Itulah sebabnya meskipun kitabnya sama
tetapi alirannya berbeda-berbeda. Dan ironinya saling klaim sebagai paling shahih.
Fenomena ini kita jumpa di semua agama di dunia baik yang samawi maupun
yang ardi.
Lantas—pertanyaan ngeyelnya—masihkah manusia mendapati makna objektif atau
paling tidak yang mendekati objektif? Bagaimana metodenya? Untuk menjawab ini
dalam tradisi hermeneutika merentang pemikir-pemikir macam: Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, Bultman hingga Derrida. Semua memiliki pendapat yang berbeda
bahkan bertentangan. Sayangnya, artikel ini tidak akan membahasa panjang soal
itu. Pembaca dapat menuntaskannya di karya F. Budi Hardiman, Seni Memahami.
Momen Fenomenologis
Namun, ada Edmund Husserl yang
cara bacanya menarik jika ditarik ke dalam teks-teks (agama). Untuk memunculkan
makna objektif tentang makna dibalik teks, pemikir Jerman ini mengajak pembaca
dan penafsir untuk “memarkir” atau epoch (mentanda kurungkan) segala
praduga (prejudice) dan anggapan-anggapan tertentu di hadapan teks. Atau
menunda apa yang bersifat aksidental dan eksistensial dari dari teks sehingga
yang tersisa hanya pengalaman itu sendiri (Adian, 2010: 29 ). Sehingga subjek
hadir dalam keadaan kosong saat mencerap teks.
Lalu biarkan tanda atau teks yang
“memperlihatkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara ia
memperlihatkan diri dari dirinya sendiri” (Hardiman, 2015: 105). Artinya,
membiarkan teks menampakkan diri pada pembaca sehingga pembaca dapat menghayati
makna teks itu tanpa terintervensi oleh pengetahuan sebelumnya (bacground knowledge)
dalam bentuk apapun.
Sehingga pembaca menangkap makna
pra-ilmu pengetahuan dan pra-filsafat, yaitu makna sebelum ilmu dan filsafat
menyusunnya sedemikian rupa dalam struktur-struktur tetentu sehingga syarat
dengan subjektivitas yang membuat makna tidak lagi murni. Dengan begitu, makna
tak lain adalah lapangan pengahayatan (erlebnis) yang tak tebatas bak
hamparan cakrawala di atas samudra.
Sederhananya begini: kita
hadirkan Adam yang hidup dalam kesendirian pertama kali diciptakan di surga.
Dia merasa kesepian butuh teman hidup. Lalu diciptakan Hawa sebagai
pendampingnya, tanpa tahu mau diapakan si Hawa. Maka momen pertama kali Adam
melihat (mohon maaf) “selangkangan Hawa” adalah penghayatan pra-ilmu dan
pra-filsafat itu sendiri. Dia tidak punya referensi apapun tentang benda yang
satu itu. Adam hanya menghayatinya sebagai objek yanga ada, hingga Tuhan
menurunkan firmannya tentang bagaimana
mendayagunakannya untuk kehidupan dan ibadah. Itulah momen fenomenologis,
menurut Husserl.
Bagaiaman jika metode itu dipakai
pada agama? Metode ini setidaknya akan menyelamatkan agama dari kecenderungan
positivistik yang belakangan melanda cara pandang manusia dalam melihat suatu
keyakinan. Positivisme melihat segala sesuatu secara pragmatis-material,
sehingga agama dikaburkan antara jalan keselamatan dengan jalan perebutan
kekuasaan yang berafiliasi dengan kecenderungan ekonomis. Cara pandang
fenomenologis, sekurang-kurangnya mengajak umat untuk melepaskan diri dari
trauma sejarah sehingga dalam tafsir agama soalnya bukan lagi tentang
Sunni-Syiah-Wahabi. Melainkan bagaimana menghayati ayat suci sedemikian rupa
sehingga kesucian agama betul-betul tersingkap pada manusia.
Momen fenomenologis agama,
sebagaimana pengalaman Adam, dapat digambarkan bahwa manusia berada dalam
ketidaktahuan (agnostik), tetapi objek pengetahuan itu hadir
dihadapannya. Manusia kemudian ragu, sehingga menggunakan nalarnya untuk
mencari tahu hingga akhirnya kemurnian agama itu dapat mewujud secara aktual
dalam prilaku dan tata bermasyarakat di dunia ini.
Dengan demikian, Husserl juga
mengatasai abad bahasa ala pasca-modern yang kehilangan makna. Dia menunjukkan
bahwa bahwa makna bukan apa yang diucapkan lewat simbol bunyi atau yang
dituliskan lewat oretan di atas kertas. Tetapi makna itu ada setelah dilakukan
penghayatan pada objek-objek atau teks tertentu.
0 Komentar