Pemikiran Aristoteles Tentang Awal Peradaban

Oleh: Herlianto A, santri STF Al Farabi Malang
Sumber: kyuminiction.wordpress.com
Fenomena kehidupan yang mengerikan, beras dicampur plastik, ijazah dipalsukan, pembunuhan sadis, pembegalan terus menjadi hantu jalanan, human traffiking yang menyayat jiwa, narkoba merajalela, terorisme, kejahatan perang, mega skandal korupsi, dan seribu modus kriminalitas lainnya, membuat naluri ini bertanya apa sebenarnya yang terjadi dengan peradaban ini?

Kalangan Marxist menjawab fenomena ini sebagai keniscayaan pertentangan kelas lantaran katidakadilan sosial yang merentang. Borjuis dengan keyakinan kapitalismenya, telah melakukan akumulasi kapital yang paling tak bermoral, sehingga mengalienasi kaum proletar pada batas penistaannya. Maka, fenomena kriminalitas adalah “perlawanan amatir” proletar untuk merebut materi atas borjuis, dan ini otomatis (kontradiksi internal).  

Samuel P. Huntington  memposisikan kenyataan ini sebagai benturan peradaban (clash of civilization), yang melibatkan setidaknya delapan peradaban besar dunia: Barat, Confusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Benturan ini terjadi karena soal peradaban adalah riil dan mendasar, interaksi umat yang beda peradaban semakin intim, modernisasi membuat identitias lokal tercerabut, dan regionalisme ekonomi yang akut (Fukuyama & Huntington, 2005: 77-80). Sementara Francis Fukuyama psimistis dengan kenyataan ini, dan menilai segala sesuatunya sebagai The End of History. Maka habislah cerita, dan habislah sejarah.

Oikos Simpul Peradaban
           
Para pemikir modern di atas, dengan segala upayanya membaca dunia pada satu sisi. Tetapi tampaknya tidak menarik suatu kausalitas (cause-effect) yang lebih dalam lagi. Artinya pohon-pohon peradaban yang sudah tumbuh menjulang sedemikian rupa, bahkan sudah bertemu dan saling bertarung satu sama lain, perlu dicari akarnya.

Setiap peradaban dilatari oleh awal peradaban. Awal ini oleh Aristoteles, dalam buku Politik, disebut oikos (rumah tangga). Pertentangan kelas, yang melahirkan manusia buas (ill home par ill home) disatu sisi dan manusia objek kebuasan disisi lain, serta batas sejarah sebagai suatu akhir tetaplah lahir dari suatu keluarga sebagai awal peradabannya.


Keluarga menjadi pijakan pertama dan sebab awal dari rententan akibat yang kemudian membentuk peradaban. Rumah tangga adalah ruang utama dan pertama bagi manusia, baik untuk pendidikan, kasih sayang, keadilan, bahkan untuk memulai kejahatannya. Sehingga, dalam pemetaan Aristoteles, oikos menentukan terhadap kelompok yang lebih besar selanjunya, yaitu koinonia (paguyuban).

Keluarga berhasil bertransformasi ke paguyuban apabila sebelumnya menjadi oikonomia yaitu upaya membentuk kebersamaan yang baik atau kecakapan menyelenggarakan rumah tangga. Setelah koinonia lahir selanjutnya masyarakat polis (negara) bisa ada, yang menjadi tempat realisasi hakikat manusia sebagai zoon polikon dimana peradaban itu berpijak (Kusumohamidjojo, 2013: 65). Tetapi juga sebaliknya, jika keluarga rusak, paguyuban rusak, negara rusak, dan peradaban juga hancur.  

Oleh sebab itu benturan peradaban perlu dimaknai lebih dalam lagi, bahwa tidak hanya antar berbagai peradaban. Tetapi benturan peradaban adalah benturan riil antar keluarga, yang bisa terjadi dalam satu peradaban atau keluarga antar peradaban. Kapitalisme pun berarti hasrat menguasai keluarga yang satu atas keluarga yang lain. Alienasi yang terjadi adalah alienasi keluarga yang satu pada yang lain, hingga akhirnya pertentangan kelaspun adalah pertentangan keluarga yang satu dengan yang lain. Peradaban adalah rimba keluarga.

Kenyataan ini berimplikasi pada bahwa setiap analisa peradaban mensyaratkan analisa keluarga? Sayangnya, konteks modern mengabaikan keluarga. Pasca Aristoteles, hampir tak ditemukan pemikir yang melakukan analisa dan riset mendalam soal bagaimana keluarga membentuk peradaban. Keluarga distigma sebagai ranah agama yang jauh dari tata sosial yang imiah. Rumah tangga sebagai tangga awal sistem kehidupan hanya diakui sebagai lembaga pendidikan yang pertama bagi umat manusia, dan itu sangat psikologis.

Padahal tidak sesederhana itu adanya, manusia sebagai pelaku dan pembentuk peradaban dikonstruksi sedemikian rupa dalam keluarga, yang pada akhirnya akan membentuk lingkungan keluarga itu sendiri sebagai bagian dari lingkungan yang lebih besar, hingga menjadi negara yang kita huni ini. Jadi mestinya alur geneologisnya adalah oikos (keluarga), koinonia (paguyuban), polis (negara), dan realisasi hakikat manusia (civilization), yang titik tekannya pada oikos.

Mulai Dari Keluarga

Bagaimana relasi keluarga dengan fenomena peradaban saat ini sebagaimana dikutip diawal? Jika keluarga adalah awal peradaban, maka segala bentuk buih peradaban (kriminalitas, penistaan agama dan ras, dan kejahatan kemanusiaan) dapat ditilik dari keluarga. Pembuktiannya sangat sederhana, dalam banyak penelitian mutakhir salah satu penyebab anak lari pada narkoba karena keluarga broken home, kurang perhatian. Para koruptor kelas kakap tega mengambil uang rakyat untuk membiayai istri-istrinya (yang sah dan yang tidak sah) serta anak-anaknya.

Anak lari dari keluarga menjual diri, lantaran bapak ibunya sibuk berkarir, sang anak kekurangan kasih sayang karena dibesarkan sang babysitter, dan seterusnya. Dari hasil pengamatan ini memang tidak bisa ditarik suatu generalisasi serta-merta, tetapi itulah realitasnya. Bahwa tindakan manusia sebagai substratum peradaban bermula dan kembali pada keluarga.

Jadi, peradaban dengan segala hiruk pikuk pertentangan kelasnya bukan sesuatu yang mengawang-awang dan terjadi begitu saja. Tetapi muncul dari tahapan yang paling sederhana dan itu nyata. Demikian juga, akar peradaban bukanlah masa lampau yang jauh dari kekinian. Akar peradaban selalu ada dalam setiap pertumbuhan peradaban itu sendiri. Ibarat pohon selalu dikuatkan oleh akarnya.

Dengan demikian, memikirkan untuk memperbaiki keluarga adalah peluang menata peradaban ini. Keluarga dapat kita lokalisir untuk kemudian dibentuk, upaya memperbaiki dan menjaga keluarga adalah perlawanan yang sesungguhnya. Kita sudah terlalu lama melupakan keluarga dengan menalar sesuatu yang lain yang dianggap mendasar atas bangunan peradaban, ternyata tidak. Marilah kita mulai dengan memperbaiki keluarga masing-masing!   

 #filsafatmazhabkepanjen

Posting Komentar

0 Komentar