Oleh: Herlianto A, santri STF Al
Farabi Malang
Isu paling menarik dan cukup
sensitif dari debat pilgub DKI pertama adalah soal penggusuran warga yang
berada disekitar kali. Isu ini penting karena menyasar kelas bawah yang
merupakan jumlah pemilih terbanyak. Tentu saja ekspresi yang terkesan membela
terhadap kelas ini harus ditebar. Sehingga penggusuran coba dimaknai secara
etis oleh masing-masing calon agar tampak buruk bagi calon baru dan tampak baik
bagi petahana.
Jawaban masing-masing pasangan
memiliki logikanya sendiri. Pasangan 1 (AHY-Silvi) dan 3 (Anis-Sandi)
menggunakan logika deontologis, sementara pasangan 2 (Ahok-Jarot) cenderung
teleologis. Dua pendekatan ini sangat kontras dan masih menggejala hingga kini.
Pendekatan teleologis dalam
diskursus filsafat moral dikomandani J. Bentham dan J.S. Mill. Cara pandang ini
menitik-beratkan pada tujuan dari suatu tindakan. Karenanya poros ini juga
disebut utilitarianisme. Artinya, suatu tindakan dianggap bermoral—dan
karenanya benar—apabila menguntungkan atau memberi kenikmatan. Dengan logika
ini, menggusur dianggap benar karena tujuannya adalah menormalkan sungai dan
memindahkan warga dari kehidupan kumuh ke yang cukup bersih.
Penggusuran memberi kesempatan
pada rakyat untuk dapat hidup di tempat yang lebih layak, dilengkapi dengan
fasilitas yang lebih memadai ketimbang di pantaran kali. Atas nalar itulah
petahana melakukan penggusuran besar-besaran. Jadi pendeknya the greatest
happiness for the greatest number.
Sementara deontologis diampu
Immanuel Kant. Cara pandang ini melihat aturan etis sebagai yang imperatif atau
paten, salah satu muaranya adalah manusia sebagai person bukan tujuan. Artinya
begini: mencapai kebaikan tidak boleh ada yang dikorbankan. Kita tidak boleh
menyelamatkan umat dari mara bahaya tetapi dengan merebus bayi. Manusia adalah
pusat dari kesadaran moral itu sendiri, mengorbankan manusia untuk alasan
apapun sama artinya membakar moralitas itu sendiri.
Karena itu atas nama
kemanusiaan, kubu ini menolak penggusuran masyarakat bantaran kali sekalipun
untuk pelebaran sungai dan antisipasi banjir. Pasalnya, pada penggusuran itu
ada yang dikorbankan yaitu rumah warga yang dirusak dimana di dalamnya ada
kehidupan, serta hilangnya beberapa pekerjaan warga yang membuatnya menderita.
Dalam perdebatan filsafat
moral, kedua cara pandang etis ini saling kritik satu sama lain. Misalnya,
dalam kasus "si pembunuh bertanya", yang sering diajukan. Kasus ini
adalah sebuah cerita seseorang yang ditanya oleh pembunuh tentang target
pembunuhannya yang lari dari hadapannya.
Seorang deontologis akan
menjawab jujur pada sang pembunuh bahwa dia melihat target pembunuhan dan
mengatakan dimana posisinya. Sehingga kemungkinan pembunuh akan leluasa
menjalankan operasinya dan menggorok leher sang korban. Pada sisi ini
deontologis sering dianggap tidak manusiawi malah.
Sementara teleologis demi
keselamatan target pembunuh akan menjawab tidak tahu (berbohong). Sehingga
pembunuhan kemungkinan tidak akan terjadi karena sang pembunuh menghentikan
pengejarannya lantaran kehilangan jejak. Teleologis menghalalkan segala cara
demi tujuannya, yaitu menyelamat korban.
Nah, dengan segala kelebihan
dan kekurangannya cara pandang yang manakah yang relevan dengan situasi Jakarta
saat ini?
Menurut saya, tidak cukup
menggunakan salah satu dari cara pandang itu. Kehidupan Jakarta begitu kompleks
karena itu menghadapinya tidak dapat direduksi ke salah satu kubu etis.
Teleologis semata akan membuat beberapa nilai kemanusiaan dilanggar. Begitu
juga jika deontologis semata maka tidak akan bisa berbuat apa-apa. Bagaimana
dapat menormalkan kali yang dulunya 30 meter dan kini menjadi 5 meter tanpa
menggusur. Tentu sulit dan cenderung irasional.
Untuk itu konvergensi antara
dua cara pandang itu yang paling mungkin. Bagaimana dapat mensinergikannya?
Saya kira medan terbaik untuk mempertemukan keduanya adalah ada pada seni
memimpin, political will, dan kemampuan komunikasi pemimpinnya. Cara
pandang itu dapat diterapkan oleh pemimpin manapun yang menginnginkan kebaikan
bagi warganya.
0 Komentar