Oleh:
Herlianto. A
Buku Jokowi Undercover yang disita polisi. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com - Bak pewangi
jeruk yang diperaskan pada semangkok soto ayam, menambah wewangian dan ke
khasan rasa pada makanan yang sudah enak. Begitu pula dengan buku “Jokowi
Undercover: Melacak Jejak Sang Pemalsu Jatidiri”, ditulis Bambang Tri Mulyono,
menjadi satu aroma dalam adukan “semangkok politik” di negeri ini. Sehingga
kompleksitas isu politik semakin menemukan ke-komplekannya.
Curiga demi curiga
terus ditebar. Tak tanggung-tanggung, buku cukup tebal ini membuat analisa
Presiden Jokowi keturunan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Sayangnya,
sang penulis diseret ke meja hukum lantaran tuduhannya dianggap tidak ilmiah
dengan tanpa pengadilan ilmiah.
Kenyataan
inilah yang membuat saya tertarik membaca buku yang konon membuat Bambang Tri
sudah meraup untung 45 juta rupiah dalam waktu beberapa bulan saja. Hasil yang
luar biasa dibanding beberapa penulis buku lainnya yang hingga bertahun-tahun
tetap miskin dan kelaparan.
Namun tulisan ini tidak untuk membantah tuduhan
Bambang Tri atas Jokowi di buku itu, melainkan bagaimana dalam konteks (dunia)
ilmiah temuan dari buku yang dicetak sendiri itu dapat kita pahami sebagai
ilmiah.
Objektifitas
Dan Aposteriori
Paradigma
penting dalam konteks ilmiah adalah objektifitas dan aposteriori.
Artinya, keterlibatan subjek (peneliti) dalam mengambil suatu kesimpulan harus
diminimalisir sedemikian rupa, sehingga hasilnya terbebas dari
perasaan-perasaan (baper) subjek yang kadang tak rasional dan tendensius.
Karena itu, sarana penting dalam ilmiah adalah metode dan alat yang digunakan dalam
meneliti dimana campur tangan subjek dapat diantisipasi.
Misalnya begini:
apakah cuaca di Kota Batu dingin? Tentu bagi orang yang tinggal di pesisir yang
panas saat berlibur ke Kota Batu maka cuacanya akan terasa dingin. Sebagian
dari mereka memilih tidak mandi hingga beberapa hari. Tetapi bagi masyarakat
yang tinggal di daerah dingin tentu saja Kota Batu tidak dingin. Masih ada
daerah yang lebih dingin, di Antartika misalnya.
Lalu bagaimana menjawab
pertanyaan tadi. Langkah ilmiahnya adalah kita sediakan alat pengukur suhu,
misalnya termometer. Kita bawa alat yang tidak memiliki perasaan dan
kepentingan itu ke Kota Batu, misalnya termomoter mencatat bahwa suhu di
kawasan wisata ini 17 derajat. Hasil ini dianggap ilmiah nan objektif, tanpa
kecenderungan tertentu.
Kemudian penjelasan
metodelogis yang lebih detail juga diperlukan. Misalnya, jenis termomiter apa
yang digunakan dan bagaimana kapasitasnya, karena khawatir beda jenis alat beda
hasilnya. Kemudian alat ini digunakan untuk mengukur di daerah bagian mana saja,
mengingat daerah Batu cukup luas.
Jika mengukurnya di daerah Pendem yang lebih
dekat dengan Kota Malang, maka bisa jadi suhunya 18 derajat karena daerah lebih
rendah. Tetapi untuk kawasan Songgoroti, bagian tengah yang lebih tinggi, bisa
jadi 16 derajat. Jadi, 17 derajat merupakan rata-rata dari dua suhu berbeda
itu.
Paragdigma
lainnya adalah aposteriori yaitu berdasarkan pengalaman.
Artinya penulisan
ilmiah harus didasarkan pada fakta-fakta yang diteliti. Tidak disebut ilmiah
jika masih bersifat dugaan-dugaan atau asumsi. Dugaan (hipotesis) justru
merupakan tahap awal untuk memulai penelitian. Dengan kata lain, ilmiah adalah
membuktikan dugaan dengan fakta-fakta dilapangan.
Barulah lahir kesimpulan
ilmiah (bisa menolak atau menerima hipotesis). Jika prosedur (metode) ini
digunakan hasilnya adalah terukur, dapat diverifikasi atau falsifikasi. Dapat
dicek ke lapangan, benarkah kedinginan rata-rata Kota Batu pada suhu 17 derajat.
Permainan
Foto
Lalu bagaiman
dengan buku “Jokowi Undercover”? Buku ini ingin mengungkap tiga hal: Jokowi
anak anggota PKI, ingin menunjukkan kecurangan dalam pilpres 2014, dan
bermaksud menunjukkan perang (strategi) antar jenderal (purnawirawan) di
senayan yang lagi haus kekuasaan.
Tetapi artikel ini membatasi analisa pada
bagaimana pembuktian poin pertama dapat diterima secara ilmiah yang belakangan
ini menjadi isu kontraversial. Sementara poin dua dan tiga tidak perlu, lantaran
analisanya sudah biasa dan banyak beredar di internet.
Untuk
membuktikan keinginan bahwa Jokowi keturunan PKI, Bambang Tri menggunakan
analisa foto. Yaitu antara foto lelaki yang ada di depan Aidit saat berpidato
yang diambil dari “Life Magazine” (foto 1), foto Wijiatno Noto Miharjo
(bapak Jokowi) yang diambil dari buku “Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi”
(foto 2). Serta foto Wijiatno bersama keluarga (foto 3)
Lihat tiga foto ini:
Dari komparasi
foto-foto itu, dia mengatakan sangat mirip sehingga menyimpulkan bahwa foto
disamping Aidit yang agak menunduk itu adalah bapak Jokowi. Dengan demikian
Jokowi anak seorang PKI. Sampai disini Bambang Tri merasa sudah cukup
membuktikan hipotesisnya.
Persoalan
Ilmiahnya
Pertanyaan
bagi analisa ini adalah bagaimana memastikan secara detail kedua foto itu tidak
hanya identik tetapi juga orang yang sama? Bagaimana jika pada foto 1 kebetulan
memiliki bentuk wajah yang mirip dengan foto 2 dan 3? Bukankah sangat banyak orang
memiliki kemiripan wajah meskipun berbeda keturunan?
Kemudian bagaimana
memastikan kedua foto itu memiliki resolusi yang sama sehingga memungkinkan
ketepatan mengukur jarak besar hidung dan jarak bibir antara kedua foto?
Bagaimana jika foto 2 dan 3 merupakan hasil dari foto yang difoto dan difoto
lagi? Dan di masing-masing foto itu kira-kirang usi orang yang di foto berapa?
Jangan sampai foto saat usia 15 tahun dibandingkan dengan foto saat usia 50
tahun, akan sulit menemukan kesamaannya?
Sederet
persoalan ini tidak dijawab oleh Bambang Tri di bukunya sebelum melakukan
komparasi foto-foto. Artinya belum ada validasi (validity) dokumen atau
instrumen yang akan dijadikan rujukan untuk hipotesa awalnya. Sehingga hasil
bandingannya bisa sangat mungkin meleset.
Apalagi gambar di foto sudah agak
blur dan tidak tajam. Artinya tidak cukup dengan hanya membandingkan dengan
mata telanjang. Selisih 0,1 sentimeter saja akan membuat hasil berbeda. Harus
ada alat yang digunakan demi kepastian itu. Sayangnya, itu tidak dilakukan.
Artinya analisanya kurang akurat.
Sebetulnya,
bukti foto ini tidak hanya kurang valid tetapi juga kurang reliable atau
kurang tepat untuk menguak jalinan darah Jokowi dan seorang PKI. Foto itu hanya
jadi salah satu penguat saja atas hipotesisnya.
Pembuktian hipotesis Bambang
Tri perlu dilengkapi dengan fakta-fakta lain yang lebih kuat. Misalnya, dengan
penelusuran mewawancarai orang-orang yang memang pernah tahu bahwa memang
Wijiatno pernah terlibat PKI. Atau mendatangi “Life Magazine” siapa
sebenarnya orang yang ada di samping Aidit. Sukur-sukur ada catatan medis yang
menunjukkan hubungan darah itu (tampak ini sangat sulit).
Namun lagi-lagi
sayang, Bambang Tri tidak melakukan itu. Sehingga nilai keilmiahan temuannya
sangat rendah. Jika dibuat ranking keilmiahan antara 1 hingga 10. Keilmiahan
buku “Jokowi Undercover” ini masih 2, atau lebih dekat dengan dugaan.
Menariknya,
setelah tidak mampu mengungkap lebih jauh, si penulis membuat hukum ilmiah
sendiri. Dia menulis bahwa analisanya ini akan menjadi benar jika Jokowi tidak
melakukan pembantahan dengan menunjukkan foto lain Wijiatno yang asli.
Dan dia
yakin foto asli Wijiatno sudah dihilangkan. “Dalam dunia hukum maupun dunia
ilmiah, beban pembuktian ada pada pihak pembantah,” tulisnya (hal 111). Lalu
dilanjutkan: “Kalau Jokowi membantah foto itu (foto ke 1) foto bapaknya tapi
dia tidak bisa menunjukkan foto bapaknya yang otentik, maka bantahan dia gugur
demi hukum dan demi logika ilmiah,” (hal 112).
Cukup aneh,
setahu saya dimana-mana pembuktian ilmiah dibebankan pada peneliti. Karena
memang tujuan dari meneliti itu ingin membuktikan dugaannya (hipotesis). Jika
pembuktian diserahkan pada orang lain, maka Bambang Tri sudah gagal dalam
meneliti.
Dia tidak membuktikan apa-apa berarti. Bukunya tidak menjadi buku
ilmiah melainkan buku dugaan-dugaan. Karena itu mungkin wajar banyak penerbit
menolak buku itu, hingga diterbitkan sendiri. Dan tenyata keuntungan fee-nya
lebih banyak bagi si penulis.
Namun
demikian, apapun yang ditulis oleh Bambang Tri tidak perlu membuat polisi dan
orang-orang berpistol lainnya kebakarang jenggot. Apalagi menahannya sebelum
dilakukan pengadilan ilmiah. Tentu ini menjadi “penistaan” bagi penulis-penulis
tanah air.
Karena pada level tertentu Bambang Tri sudah mencoba ilmiah, tetapi
disitulah batas mampu dia memahami dan melakukan yang ilmiah. Untuk itu langkah
yang tepat adalah membedah keilmiahan buku itu. Jika memang tidak ilmiah,
berarti tidak ada masalah dan tidak perlu dirisaukan oleh negara.
#filsafatmazhabkepanjen
0 Komentar