Oleh: Herlianto A,
santri STF Al Farabi Malang
Tidak berlebihan kiranya jika
“dialektika” disebut sebagai kunci dari segala kunci filsafat modern. Hamparan
filsafat yang begitu luas dan bahkan indefinite, yang membentang sejak sebelum
masehi, abad pertengahan, modern hingga posmodern ini selalu meletakkan
dialektika sebagai topik penting yang tak terlewatkan. Baik arus filsafat yang
mengambil sikap oposisi terhadap dialektika maupun yang koalisi. Bahkan
tanpanya, sebagian filsuf tak bisa menulis secarik apapun tentang filsafat.
Ketidakpuasan terhadap
dialektika selalu muncul seiring dengan hadirnya pemikir baru dialektika di
lintasan filsafat. Tak hanya membenturkan dialektika dengan realitasnya yang
tak pernah ketemu (dapat ditunjuk), kadang mempertanyakan dengan menggunakan
logika dialektika itu sendiri, yaitu apakah dialektika itu masih berdialektika?
Jika ia berdialektika, maka ia adalah tesis, lalu apa antitesis dan
sintesisnya? Menjawab pertanyaan ini serumit mempertanyakan apakah
“sebab-akibat” memiliki sebab lagi. Sehingga “sebab-akibat” menjadi akibat dari
sebab lain dari “sebab-akibat”. Memang rumit dan terkesan mengada-ngada? Tapi
memang begitulah renungan filsafat—termasuk
dialektika di dalamnya—melaju
di sirkuit berliku filsafat.
Tulisan ini tidak secara
eksplisit menjawab deretan pertanyaan tersebut, melainkan semacam melakukan
napak tilas. Namun dalam penelusuran ini tidak menutup kemungkinan menemukan
jawaban atas pertanyaan rumit tadi.
Historisitas Dialektika
Sebelum lebih lanjut menguak
pertarungan dialektika di ring sejarah. Rasanya perlu secara historis menelisik
benihnya. Mula-mula Herakleitos (540-475 SM), filsuf Yunani yang menyatakan
bahwa semesta ada dalam pertentangan, berkontradiksi (jadi bahasa awal bukan
“dialektika” tetapi “kontradiksi”). Menurutnya, segala yang ada di realitas
berkontradiksi. Lebih terang pertentangan dalam arti Herakleitos dikutip
Bertrand Russell dalam Sejarah Filsafat
Barat sebagai berikut:
Yang baik dan yang buruk adalah satu.
Bagi Dewa segala sesuatu adil, baik, namun manusia
beranggapan bahwa sebagian hal salah dan sebagian lainnya benar.
Yang menanjak dan menurun adalah satu dan sama.
Dewa adalah siang dan malam, musim dingin dan panas,
perang dan perdamaian, kenyang dan kelaparan.[1]
Dari beberapa pernyataan ini,
Herakleitos memposisikan dua hal yang bertolak belakang dalam satu kesatuan (unity
of opposite). Pertentangan itu kemudian berdamai dengan dirinya sendiri,
karenanya hal-hal yang berlawanan menghasilkan gerak sebagai sebab perubahan
dan harmoni. Empedokles (492-432 SM), tokoh Yunani lainnya sebetulnya membuat
rumusan yang tak kalah uniknya. Dia menyatakan bahwa perubahan di dunia ini
disebabkan oleh cinta dan benci (suatu kontradiksi) yang mengaduk-ngaduk
anasir-anasir alam (air, tanah, udara, api). Hanya saja cinta dan benci tidak
saling bertentangan secara ekstrim, melainkan bekerjasama. Dalam satu waktu
cinta menguat dan di waktu yang lain benci yang menguat. Tidak saling
meniadakan (mengingkari) tetapi melengkapi.
Kontradiksi sempat mengalami
stagnasi di abad pertengahan lantaran ada pembekuan terhadap kebebasan
berpikir. Dan mulai bangkit kembali dalam duet G.W.F. Hegel (1770-1831) dan K.H. Marx (1818-1883) yang kemudian secara
sah menggunakan istilah “dialektika”. Walaupun sebenarnya, menurut Russell
ajaran keduanya hanya mengasuh bayi kontradiksi Yunani yang sebelumnya sudah
mendapati eksposisinya. Hegel dan Marx cukup memberi modifikasi-modifikasi
tertentu untuk membuat dialektika tampil seksi dan berwibawa. Bahkan dialektika
memiliki dampak-dampak sosial yang penting dan nyata di realitas.
Di tangan Hegel kontradiksi dimodifikasi
menjadi trivial: tesis-antitesis-sintesis (dialektika dalam arti sekarang).
Uniknya, Hegel menarik gagasan tersebut tidak hanya sebatas bahwa segala
sesuatu menjadi terus-menerus berubah dengan pola negasi atas negasi, melainkan
juga menempatkannya sebagai yang internal—yang kemudian disebut relasi internal, yaitu bahwa
dialektika itu terjadi di ide secara internal. Martin Suryajaya menjelaskan
doktrin ini dengan cukup apik, kira-kira begini logikanya: buku adalah bukan pulpen.
Kalimat ini mengatakan bahwa pulpen hadir secara negatif dalam buku. Buku
dipahami sebagai buku sejauh relasinya dengan yang non-buku—dalam hal ini pulpen. Jadi buku identik
dengan dirinya sendiri sejauh ia identik dalam relasinya dengan yang lain.
Dengan demikian buku adalah buku sekaligus bukan buku.[2]
Doktrin ini disebut internal karena hanya dapat dipahami dalam pikiran. Buku
sekaligus bukan buku tidak ditemukan di realitas, tidak dapat ditunjuk dalam
kehidupan riil. Pada titik ini dialektika Hegel sedikit berbeda dengan
Herakleitos yang menyatakan pertentangan ada di alam.
Karl Marx kemudian hadir
dengan segala pernak-pernik realitas abad modern di Eropa: industrialisasi, kapitalisasi,
dan alienasi. Dia menyadari bahwa dialektika internal Hegelian hanya membuat
manusia mengawang-ngawang di langit, membuat manusia tidak berhenti menafsir
dunia. Sementara kehidupan sebenarnya di bumi, dimana eksploitasi dan
penindasan manusia terjadi. Dia kemudian berupaya mengeluarkan dialektika dari
tempurung kepala manusia dan menuangkannya di bumi (realitas). Dengan membaca
realitas, dia mengembalikan dialektika Herakletian bahwa pertentangan itu bukan
dipikiran tetapi di alam.
Dalam Manifesto of the
Communist Party (akrab disebut The Communist Manifesto) Marx
membuka buku babonnya itu dengan narasi bahwa “sejarah dari semua
masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka
dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan
tukang pembantu, pendeknya, penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam
pertentangan satu dengan yang lain.”[3]
Dari narasi ini, dia tidak hanya mengembalikan dialektika ke realitas, tetapi
menggeser dari sumbu kosmosentris ala Herakleitos ke dasar antroposentris dan
kenyataan sosial (dialektika materialis), bahwa realitas sosial tidak hanya
merupakan pertentangan kelas tetapi ada penindasan antar kelas.
Benar saja, eksposisi Marx
menimbulkan respon yang beragam di abad 18-19. Berbagai kejadian besar
(revolusi)—salah
satunya revolusi Bolsevik—berkecamuk
lantaran gagasan tersebut. Termasuk kaum kapitalis melakukan reformasi
besar-besaran terhadap praktek penindasannya. Praktik kapitalisasi menjadi
semakin halus, semu, dan tak mudah diidentifikasi hanya dengan mata telanjang.
Prinsip Identitas Menentang
Dialektika
Sejak kelahirannya di tanah
para Dewa, dialektika sudah menuai kritik salah satunya yang paling pedas dan
begizi dilontarkan Aristoteles (384-322 SM). Murid Plato ini membahas kritiknya
secara serius dalam Metafisika buku IV. Secara definitif, menurut
Aristoteles kontradiksi dapat direduksi sebagai being dan non-being,
unitas dan pluralitas, diam dan gerak, panas dan dingin, terbatas dan tak
terbatas, cinta dan benci. Para pemikir kala itu yang meyakini bahwa Ada (being)
atau substansi terdiri dari komposisi pertentangan ini[5].
Namun, tegas Aristoteles,
problemnya bukan pada bagaimana definisi kontradiksi, melainkan dapatkah ia
diterima sebagai jawaban dalam pencarian yang terdasar dari semesta yaitu Ada
sebagai Ada (being qua being). Apakah yang terdasar itu berkontradiksi: “Ada
dan sekaligus tidak Ada”? Bagaimana manusia dapat memahami hal yang demikian.
Baginya dua hal ini tidak bisa berkumpul dalam satu definisi. Ada adalah
sebagai Ada, dan tidak Ada adalah sebagai tidak Ada, titik.
Misalnya, manusia adalah
sebagai manusia tidak mungkin pada saat yang sama manusia sekaligus bukan
manusia. Karena “manusia” memiliki definisinya sendiri dan “bukan manusia” juga
demikian. Katakanlah misalnya manusia adalah berpikir, dan bukan manusia adalah
tidak berpikir. Dari dua definisi ini manusia dan bukan manusia satu entitas
yang tidak sama. Sehingga kontradiksi susah diterima oleh pikiran. Dari sini,
Aristoteles merumuskan prinsip identitas sebagai bentuk kontra-konsepsi
terhadap kontradiksi.
It will not be possible to be and not to be the same
thing, except in virtue of an ambiguity, just as if one whom we call 'man',
others were to call 'not−man'; but the point in question is not this, whether
the same thing can at the same time be and not be a man in name, but whether it
can in fact. Now if 'man' and 'not−man' mean nothing different, obviously 'not
being a man' will mean nothing different from 'being a man'; so that 'being a
man' will be 'not being a man'; for they will be one. For being one means this−being
related as 'raiment' and 'dress' are, if their definition is one. And if 'being
a man' and 'being a not−man' are to be one, they must mean one thing. But it
was shown earlier' that they mean different things.[6]
Melawan “Contoh Air” Engels
Kritik atas dialektika di abad
Modern muncul dari pemikir Islam, Baqir Shadr. Di bab “Dielaketika atau
Pertentangan” buku Falsafatuna, dia membahas secara khusus ada banyak
kritik yang cukup elementer yang menusuk langsung ke jantung dialektika dan ada
juga yang sekunder yang hanya menelusuri konsekuensi-konsekuensi. Dalam tulisan
ini akan diulas yang elementer saja, karena memang mendasar.
Shadr memulai dengan
mendudukkan definisi dialektika dari Hegel sebagai penegasan (tesis),
pengingkaran (antitesis), dan pengingkaran atas pengingkaran (sintesis). Dari
definisi ini Shadr menggunakan pendekatan kritik non-kontradiksi Aristoteles
bahwa tidak mungkin penegasan sekaligus pengingkaran menjadi satu,—dia kemudian lebih nyaman
menyebut dialektika dengan kontradiksi. Menurutnya, kontradiksi mengandaikan
non-kontradiksi agar memiliki arti. Artinya non-kontradiksi harus ada sebagai
pijakan menilai bahwa yang lain adalah kontradiksi. Hanya saja sejauh ini
Marxis tidak dapat mendamaikan penegasan dan pengingkaran sehingga menjadikan
hukum kontradiksi berlaku universal.
Selain itu, Shadr juga
mengembangkan kritik filosofisnya atas kontradiksi ke bagian-bagian lainnya.
Misalnya, dia menyanggah teori Marxis tentang gerak atas perubahan. Marxis
meyakini bahwa perubahan disebabkan oleh kontradiksi. Perubahan terjadi
lantaran buruh dan borjuis bertentangan. Pada titik ini, imbuh Shadr, Marxisme
tidak konsisten dengan dialektikanya, karena dalam materislisme historis
determinisme ekonomilah yang menjadi pangkal perubahan dan bukan pada
dialektika/kontradiksi.
Kemudian gerak sebagai akibat
dari kontradiksi juga “dikuliti” oleh Shadr, bahwa Marxis salah paham mengenai
gerak yang disebabkan oleh kontradiksi. Menurutnya gerak bukanlah sesuatu yang
bertentangan melaikan linear, yaitu dari potensialitas ke aktualitas. Jadi
gerak dihasilkan karena ada pergeseran dari potensialitas ke aktualitas. Gerak
terjadi setelah ada kayu (causa material) dan rencana dibuat kursi (causa
form) yang masih potensial itu lalu direalisasikan oleh tukang mebel (causa
effisien) menjadi betul-betul kursi untuk diduduki (causa final)
sehingga menjadi aktual. Dengan demikian, kalau kontradiksi hanya di ranah
aktual maka sebetulnya Marxisme telah menghilangkan potensialitas karenanya
menghilangkan gerak itu sendiri dan berarti tidak ada perubahan. [7]
Setelah itu, Shadr merambahkan
kritiknya pada tiga hukum dialektika Engel di Dialectic of Nature.
Mula-mula, soal pergeseran kuantitas ke kualitas dengan contoh air yang dipanaskan. Menurut Shadr air dipanaskan
menjadi uap bukanlah hasil dari kontradiksi internal. Air tidak berkontradisksi
dalam dirinya untuk dapat menguap. Air menguapkan karena faktor eksternal
misalnya dibakar dengan api. Karena itu, jika perubahan sosial diasosiasikan
dengan dialektika internal macam ini, maka perubahan sosial terjadi hanya pada
saat ada faktor eksternal. Tanpa dorongan eksternal tak perlulah ada perubahan.
Dengan contoh air ini pula,
Shadr meneruskan kritik selanjutnya yaitu pada negasi atas negasi. Bahwa air
dengan uap bukanlah sebuah negasi melainkan gerakan melingkar: dari air menjadi
uap dan kembali lagi menjadi air tanpa suatu penyelesaian kuantitatif maupun
kualitatif. Selanjutnya, dalam perubahan air menjadi uap bukanlah perubahan
yang sekaligus melainkan perubahan yang perlahan. Jadi tidak langsung air di lautan
menguap dan habis sekaligus melainkan perlahan. Artinya perubahan sosial tidak
mesti melalui revolusi yang sekali jadi dengan menghancurkan struktur sosial
yang ada tetapi bisa melalui perubahan individual dengan cara melakukan
tranformasi secara perlahan.[8]
Tuntutan kuantitas menjadi kualitas tidak bisa terus
dipakai dalam contoh air yang ditranformasikan menjadi uap atau es, sesuai
dengan naik atau mengembangnya derajat suhu air, sebagaimana pikiran Marxisme. Ini
disebabkan Marxisme menganggap suhu sebagai suatu kuantitas sedangkan uapdan es
sebagai kualitas. Jadi Marxisme menegaskan bahwa kuantitas dalam contoh ini
berubah menjadi kualitas. Pemikiran Marxis mengenai suhu, uap dan es tidak
memiliki landasan karena ekspresi suhu kuantitatif dipakai oleh sains dalam
penegasannya bahwa suhu air adalah seratus derajat atau lima derajat, bukan
esensi dari suhu, melainkan suatu ekspresi dari metode sains untuk pengurangan
pada fenomena alam dalam kuantitasnya supaya memfasilitasi aturan (hukum alam)
dan penentuannya.[9]
Menilai Dialektika Marx
Setelah mendapati kritik yang
bertubi-tubi apakah dialektika Marx menjadi barang usang yang harus dimasukkan
dalam tong sampah? Sebetulnya saya meragukan apakah definisi dialektika menurut
Marx itu sama dengan definisi dialektika menurut Shadr. Sebagaimana diketahui
Marx tidak secara eksplisit mendefinisikan dialektika, dia hanya menggambarkan
realitas dimana ada buruh dan borjuis yaang bertentangan dan memiliki relasi
eksploitatif.
Kalau Shadr menangkap pertentangan
“buruh” dan “borjuis” sebagamana digambarkan Marx dalam The Communist
Manifesto sebagai penegasan dan pengingkaran. Maka dia tidak akan menemukan
penegasan dan pengingkaran dalam satu kesatuan. Mungkin karena alasan itu
pulalah Marx tidak perlu menjelaskan kontradiksi dalam arti bertemunya
penegasan dan pengingkaran, yang memang tidak mungkin. Artinya kita mesti
berhenti memaknai dialektika dengan mitos “ada” sekaligus “tidak ada”. Apakah
di kamar ada buku? Di kamar ada dan sekaligus tidak ada buku, ini mitos. Yang
pasti bahwa saat ini bahwa proletar masih dalam posisinya dieksploitasi oleh
borjuis.
Sementara menanggapi hukum
dialektika Engels, Martin Suryajaya cukup fair menilanya bahwa hukum ini masih
sangat Hegelian karena masih memiliki spirit idealisme. Agar dapat
dipahami dalam kerangka Marxis maka harus diletakkan dalam balutan materialisme
dengan menariknya ke ontologi murni. Artinya yang riil tidaklah harus yang
aktual, sesuatu ada apabila memiliki kekuatan kausal, misalnya gaya gravitasi
ada sekalipun ia tidak kasat mata dan sekalipun tidak ditemukan oleh Newton.
Jadi “segala yang ada di semesta ini ada sejauh mengandung daya kausal,” tulis
Martin[10].
[2] Martin Suryajaya. Materialisme
Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Sleman Jogjakarta: ResistBook. 2012., hal 3
[3] The history of all hitherto existing
society is the history of class struggles. Freeman and slave, patrician and
plebeian, lord and serf, guild-master and journeyman, in a word, oppressor and
oppressed stood in constant opposition to one another”. Hal 8
[4] Martin Suryajaya, bunga rampai Di Balik Marx: Sosok
dan Pemikiran Friendrich Engels. Tangerang: Marjin Kiri. 2015., hal 45
[5] All contraries are reducible to being and non−being, and to
unity and plurality, as for instance rest belongs to unity and movement to
plurality. And nearly all thinkers agree that being and substance are composed
of contraries; at least all name contraries as their first principles−some name
odd and even, some hot and cold, some limit and the unlimited, some love and strife. (dalam Metafisika)
[7] Muhammad Baqir Shadr. Falsafatuna: Materi,
Filsafat, dan Tuhan Dalam Filsafat Barat dan Rasionalisme Islam (penerjemah:
Arif Maulawi). Jogjakarta: RausyanFikr institute.2013., hal 192
[10] Ibid., Martin Suryajaya. Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friendrich Engels. Tangerang: Marjin Kiri. 2015., hal 45
0 Komentar