Oleh: Herlianto A,
penikmat kajian sosial dan filsafat STF Al Farabi Malang
Segalanya adalah tentang seks (everything
is about sex), diktum Sigmund Frued ini menjadi isu menggemparkan abad
modern. Betapa tidak, seks yang sebelumnya dianggap menjijikkan, disembunyikan
dan ditabukan tiba-tiba diumbar begitu saja. Seks menjadi tema rasan-rasan
adiktif dalam perbincangan warung-warung kopi. Orang dari berbagai belahan
dunia kemudian datang hanya untuk berdebat tentang seks dan segala
varian-variannya. Para pemburu seks tersebut saling sharing hasil
intipannya tentang seks, sejak itulah kesucian seks meluruh akibat dicakar dan
diacak-acak para pengagumnya sendiri.
Ibarat suatu pementasan, alur
drama seks semakin meninggi dan terkesan hendak mencapai klimaks sehingga
setiap orang memacu diri untuk singgah dipuncak orgasme yang sempurna. Namun
rupanya alur yang dilalui perkembangan seks maju mundur. Seks menjadi
pembicaraan yang tak pernah usai sejak Adam menginginkan Hawa sebagai lawan
pertarungan seksnya, hingga abad posmomodern yang tergila-gila oleh kenikmatan
seksual.
Adalah Michel Foucault, filsuf
kenamaan asal Prancis yang memiliki deskripsi mencerahkan tentang seks. Dia
tidak hanya menempatkan seks sebagai persoalan fisiologis yang berkutat pada an
sich alat-alat reproduksi dan bagaimana menggunakannya, laki-perempuan
intim lalu selesai. Tidak demikian adanya. Baginya, seks melampaui itu semua
dan menyusur pada pemaknaan yang lebih dalam dan luas. Seks menyasar makna
tubuh bagi manusia, bagaimana memahami kepriaan dan kewanitaan dan afeksi yang
muncul antara keduanya. Seks justru sebagai refleksi atas tindakan manusia
sebagai mahluk dengan kodrat seksual dalam bahasa, seni, dan moral itu sendiri.
Karena itu, Foucault memilih
menggunakan kata “seksualitas” untuk membedakannya dengan “seks” yang hanya berkutat
pada persoalan biologis. “Seksualitas” menjadi begitu kompleks yang melibatkan
fisik, emosi, hati, dan pikiran. Tidak hanya bagaimana manusia memaknai seks
tetapi juga erat kaitannya dengan kekuasaan dan bahkan agama. Dengan demikian
Foucault menjadi salah satu pengintip seks yang sukses dalam deskripsinya.
Bagaimana Foucault menarasikan
hasil temuannya? Buku Diskursus Seksualitas Michel Foucault ditulis oleh
Ampy Kali, pemikir muda asa Indonesia timur, adalah salah satu jawaban untuk
membuka kerangka seksualitas Foucault. Mula-mula Ampy menjelaskan metode yang
digunakan Foucault dalam mendalami seksualitas, yaitu pendekatan arkeologis dan
geneologis. Dua pendekatakan ini jangan dibayangkan sebagaimana seorang
arkeolog dan geneolog meneliti sejarah yang bertumpu pada gagasan-gagasan
besar. Foucault justru merekonstruksi temuannya melalui serpihan-serpihan yang
oleh arkeolog pada umumnya tidak dihiraukan. Misalnya dia meneliti melalui
catatan harian atau arsip orang-orang pinggiran yang bukan tokoh.
Pilihan metode ini memberinya
gambaran masa lalu yang lebih otentik. Orang-orang pinggiran lebih steril dari
kepentingan-kepentingan tertentu yang melingkupi karyanya dalam melihat
sejarah. Sementara para tokoh atau orang-orang besar, tentulah terselip misi
dan visi atau kepentingan kekuasaan lainnya yang membuat narasinya tidak
orisinil. Karena itu Faoucault lebih bergairah meneliti penjara, rumah sakit,
barak-barak tentara, dan orang gila ketimbang cerita-cerita besar seperti
negara, rakyat, dan proletar.[1]
Tiga Bentuk Seksualitas
Dari metode tersebut, Foucault
menemukan perkembangan seks dari masa ke masa yang dimulai dari Greco-Roman,
kemudian seksualitas masyarakat abad pertengahan, dan masyarakat modern.
Masing-masing masa ini memiliki karakternya sendiri-sendiri. Masyarakat Greco-Roman
menempatkan etika pada kedudukan tinggi yang terlepas dari konstruksi agama dan
hal-hal adi kodrati lainnya. Mereka berpegang teguh pada prinsip epimeleia
heautou yaitu penjagaan diri sendiri atau kewaspadaan diri, sehingga yang
bermoral dalam seksualitas adalah yang mampu mengontrol aphrodisia
(kenikmatan) tubuhnya dalam memainkan seks.
Jadi, kebenaran seks mereka bukan
karena ditentukan atau diatur oleh agama tertentu melainkan atas hasrat dan
kenikmatan itu sendiri. Kultur seks mereka adala ars erotika yaitu
kenikmatan yang diperoleh bukan dari hukum mutlak, bukan atas kegunaan
tertentu, juga bukan atas dasar kebenaran ilmiah melainkan mengacu pada
kenikmatan yang dikenali sebagai kenikmatan yang sesuai dengan intensitasnya
dan kualitas khasnya[2].
Sementara, masyarakat abad
pertengahan melimpahkan otoritas yang berhak bicara seks pada agama dan raja.
Sehingga seksualitas diatur sedemikian rupa menurut aturan agama dan
undang-undang negara sehingga ia terkekang. Bahkan seks dinilai menjijikkan,
tabu, privat, dan tak layak diperbincangkan di ruang publik. Secara agama seks
dianggap menjauhkan hamba dengan sang khaliq. Dalam konteks negara, seks
dianggap tidak bermoral karenanya negara perlu mengaturnya. Foucault menyebut Ratu Victoria I (1819-1901)
dan kaumnyalah yang paling bertanggung di era ini.
Namun, ketabuan seks ini justru
memicu pikiran-pikiran nakal manusia modern untuk meneliti dan mencari tahu.
Sigmund Frued adalah salah satu tokoh modern yang cukup vulgar membongkar seks
abad pertengahan sehingga menjadi perbincangan ilmiah. Seks tidak lagi diasalkan
pada alasan-alasan agama tetapi masuk pada alasan ilmiah atau kesehatan klinis
(scientia sexualis). Sejak itu seks bukan hal tabu di ranah ilmu
pengetahuan. Bahkan ada kesadaran bahwa “masa depan sebuah negara tidak hanya
tergantung pada jumlah dan mutu warganya, tidak hanya tergantung pada lembaga
perkawinan dan institusi keluarga, tetapi pada cara setiap anggota masyarakat dalam
mendayagunakan seksnya.”[3] Prilaku seksual
masyarakat patut dianalisis demi perkembangan ekonomi dan politik suatu negara.
Kapitalis Mendayagunakan Seks
Setelah mengulas perkembangan
seks hingga abad modern, dengan pendekatan Foucault, Ampy kemudian memasuki era
postmodern. Era ini ditandai oleh dua hal, yaitu masyarakat konsumtif dan
informatif. Masyarakat yang gila belanja dan masyarakat yang dijejali oleh
jaringan-jaringan informatif. Menariknya, yang dikonsumsi tidak lagi barang
tetapi konsumsi seks, baik seks nyata maupun seks virtual lewat kemajuan
teknologi. Kenyataan masyarakat yang gila seks ini dimaksimalkan oleh kapitalis untuk menambah
pundi-pundinya dengan menempelkan hasrat seks pada barang dagangannya.
Kapitalis kemudian membuat standar-standar seks tertentu, misalnya kalau cewek
payudara montok, peru kecil, muka tirus, hidung mancung, perut agak mengecil
dst, sementara laki-laki dada tegap perut kotak-kotak, dst.
Produksi kapitalis tidak hanya
hadir memenuhi kebutuhan hidup, tetapi hadir untuk menciptakan
kebutuhan-kebutuhan semu yang sebetulnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat.
Tentu saja tujuannya agar masyarakat tidak berhenti konsumtif. Dengan demikian
ada pergeseran otoritas seks, jika pada Greco-Roman seks dalam
kontrol ars erotica, abad pertengahan dibawah bayang-bayang gereja dan
negara, abad modern dalam genggaman para ilmuan, maka di abad postmodern
dipegang oleh kapitalis. Dimana seks dikomuditaskan dijadikan alat untuk
membangun hasrat konsumtif masyarakat.
Fenomena Seks Kini
Masyarakat konsumtif dan
informatif dalam bingkai kapitalistik melahirkan fenomena seksulitas
tersendiri. Setidaknya ada empat bentuk yang mengemuka. Pertama, “sex
appeal” dalam media iklan, yaitu eksploitasi daya tarik seksualitas serta
organ-organ tubuh manusia yang memiliki keindahan tinggi. Seks memang selalu
menjadi hal yang menarik dan tak ada habisnya karena itu memiliki nilai
komersil yang tinggi. Misalnya, pameran jual motor selalu melibatkan cewek
seksi dengan belah dada hampir terbuka, bibir merekah, rambut terurai, pinggul
montok, dan rok hanya menutupi bagian pangkal paha sedikit. Dari sini,
kapitalis menciptakan fragmen-fragmen tanda melalui perempuan seksi tadi. Jadi
seakan-seakan memiliki motor yang dipamerkan tadi sama seperti memiliki
perempuan disebelahnya yang menggugah seleras seks tersebut.
Kedua, seks dalam cyberspace,
dalam hal ini mengemuka dalam tiga bentuk: voyeurisme yaitu kegiatan
melihat tubuh atau citra tubuh, terutama tubuh dan citra perempuan untuk
mencapai kesenangan visual. Sehingga sebagian orang mencapai orgasme hanya
dengan melihat gambar perempuan telanjang, setengah telanjang, sedang membuka
baju, atau sedang melakukan hubungan seksual. Virtual sex reality atau
hubungan seks jarak jauh yaitu seolah-olah orang masuk ke dalam dunia komputer
tiga dimensi disitu dia ketemu pasangannya dan hubungan intim secara virtual. Adult
sex game yaitu kegiatan melihat gambar virtual dalam cyberspace
sambil melakukan interaksi dengan gambar tersebut, misalnya berupa gambar
perempuan bergerak telanjang di atas kasur yang siap dieksekusi. Gambar secara
virtual ini diajak intim, tiba-tiba celana yang mengajak intim basah.
Ketiga,
homoseksualitas, ada dua bentuk “gay” untuk sesama laki-laki dan “lesbian”
untuk sesama perempuan. Kasus ini sebetulnya bukan barang baru sejak dulu sudah
eksis. Tetapi belakangan ini berkembang
lagi bahkan sangat pesat. Beberapa negara mulai mengesahkan aturan pernikahan
sejenis. Keempat, seks bebas (free sex) yaitu hubungan intim yang
dilakukan dengan tanpa terikat oleh aturan yang sah apapun. Alasan mereka
biasanya suka-sama suka, cinta-sama cinta, dan butuh sama butuh maka terjadilah
keintiman. Free sex ini tak jarang menerobos nilai-nilai moral tertentu,
misalnya laki-perempuan melakukan hubungan badan meskipun sudah sama-sama
pasangan di rumah. Namun mereka berkilah melakukannya sama suka dan butuh.
Demikianlah buku ini memotret
gejala-gejala seks dan seksualitas dari zaman ke zaman. Karena itu, tak syak
lagi buku ini menjadi salah satu buku penting untuk dibaca oleh mereka yang
masih gagap soal seksualitas untuk kemudian menemukan pendekatan yang baru yang
dapat mengembalikan seks ke era Greco-Roman, sebagaimana diinginkan oleh
Faoucault sendiri. Ampy Kali sebenarnya sudah menyebut di akhir buku ini
perlunya satu bentuk etika tertentu untuk melingkari seks dan seksualitas.
Namun belum jelas etika yang mana yang dimaksud dan bagaimana etika dapat
menempatkan seks sebagai ars erotika. Atau bahkan masih mungkinkah
mengembalikan seks dan seksualitas ke ars erotica?
Data Buku
Judul :
Diskursus Seksualitas Michel Foucault
Penulis :
Ampy Kali
Tahun :
2013
Tebal :
xxxii+165
ISBN :
978979944731X
0 Komentar