Sopir Angkot dan Kebebasan

Oleh: Herlianto A, santri STF Al Farabi dan anggota Pusat Studi Filsafat dan Interdisipliner Malang
Sumber: postkotanews.com
Minggu-minggu ini, saya berkesempatan menemani proses penelitian salah satu wakil rektor salah satu kampus di Malang. Objek penelitiannya adalah sopir angkot terminal Landungsari di Malang. Satu objek penelitian, menurut saya, jarang dilakukan. Kali ini, para pak sopir akan diamati pori-pori mukanya dengan menggunakan mikroskop digital pembesaran 1000 kali. Dari pori-pori ini ingin diketahui tingkat kelelahan pak sopir. Semakin lelah manusia pori-porinya akan semakin membesar, itulah yang ingin diukur. Pagi, siang, dan sore dilakukan pengamatan dengan menggunakan alat tadi ditempelkan ke muka pak sopir. Dan ternyata betul, semakin membesar pori-porinya semakin sore, berarti mereka semakin lelah semakin sore.

Kemudian di hari kedu pak sopir diberikan gerakan straching (semacam pelemasan otot-otot) disela-sela istirahatnya. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan yang mereka alami. Lalu, diamati lagi perubahan pori-porinya setelah diberikan treatment gerakan pelemasan. Hasilnya, pori-pori tidak sebesar seperti sebelum diberikan streching. Ini artinya streching dapat mengurangi ketegangan otot saat lelah, sehingga badan terasa ringan dan  rasa capek sedikit bekurang. Cara streching ini dapat digunakan untuk siapa saja yang sedang mengalami kelelahan, orang yang sering duduk lama juga boleh pakai cara ini.

Lantas apa hubungannya dengan kebebasan? Tenang dulu. Nah di terminal itulah selama beberapa hari saya dapat bergumul dengan para sopir angkot, ngobrol banyak hal. Saling tukar pengalaman pengalaman hidup, dan pahitnya menjalani hidup sebagai sopir. Mereka bercerita mulai dari soal peraturan pemerintah yang belum memihak para sopir, soal pengalamannya saat menghadapi pemotor yang ugal-ugalan di jalan, hingga soal kesejahteraan.

Tentang peraturan pemkot Malang, menurut mereka belum berpihak pada sopir. Misalnya, dengan hadirnya “Go Jek” yang kini berselweran di jalan-jalan tidak diatur sedemikian rupa sehingga para sopir tercuri penumpangnya. Alhasil, dalam sehari-harinya selalu mengalami penurunan pendapatan akibat “diserobot dari belakang” oleh “Go Jek” yang lebi fleksibel dalam mengantar penumpang. Sementata sopir hanya menunggu nasib di pinggir jalan. Itupun masih dimarahi pengguna jalan yang lain lantaran saat ngetem di jalan menambah macetnya jalan yang sudah sesak dengan produk-produk Honda, Yamaha, Suzuki dan produk pabrikan lainnya.

Di sisi lain, tingkat kenyamanan di angkot belum ada peningkatan yang significant. Walau beberapa angkot sudah berupaya memberi fasilitas dengan memasang TV di bagian belakang angkot atau dengan musik dangdut yang dibunyikan, lumayan buat ngangguk-nganggukkan kepala sembari menikmati traffic jam yang membosankan. Namun semua itu belumlah cukup bagi penumpang. Mestinya tingkat kebaruan angkot juga diperlukan bahkan perlu dipasang AC dan tempat duduk yang enak. Sehingga citra angkot tidak negatif dan tidak terkesan “kere” bagi penumpangnya. 

Pengguna angkot tak lagi identik dengan orang-orang miskin yang tak punya uang membeli mobil. Melainkan sebaliknya, pengguna angkot adalah orang-orang diservis dengan baik. Tapi rupa-rupa keinginan pak sopir yang seperti itu harus ditampung dulu, dan harus nunggu entah berapa puluh tahun lagi. Karena saat ini tidak ada hal yang mewajibkan pemerintah secara yuridis untuk melakukan itu. Sekedar kewajiban sosial dan moral  tidak akan membuat pemerintah melakukan hal penting itu. Selain itu angkot merupakan milik pribadi-pribadi tertentu atau bos-bos terminal. Dan para bos ini juga emoh melakukan perbaikan.

Soal pengguna motor. Kali ini saya juga protes sama pak sopir yang sering berhenti di tengah jalan tanpa aba-aba, tanpa lampu riting sehingga sebagai pengendara motor di belakang angkot merasa jengkel dan berkali-kali membuat saya, bahkan pembaca juga, hampir jatuh. Bagaimana tidak, saya tancap gas di belakang angkot, tiba-tiba angkot banting setir ke kiri dan ngerem mendadak tanpa peduli di belakangnya ada siapa yang penting dapat penumpang. Ternyata pak sopir minta maaf untuk itu, karena memang harus begitu terangnya. Mereka memberi tips agar saat naik motor di jalan selamat dari “godaan” angkot. Yaitu jangan berada tepat di belakang angkot atau di sebelah kiri angkot saat di jalan karena pak sopir pasti banting ke kiri saat ada penumpang melambaikan tangan di depannya.

Dari sisi kesejahteraan, sudah bisa ditebak jawabannya: tidak sejahtera, selalu kekurangan. Kekurang-sejahteraan adalah derita yang dialami oleh hampir semua pekerja (buruh) di Indonesia, bukan hanya sopir. Sejak zaman penjajahan Belanda, atau bahkan sejak manusia hidup yang namanya pekerja (buruh) tetap tidak sejahtera, mentok-mentok pendapatannya hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Yang sejahtera tetap saja mereka para bos dan owner yang di rumah kerjaannya ongkang-ongkang kaki sembari marah-marah kalau setoran kurang banyak.

Menurut pengakuan para sopir, penghasilan sopir tiap harinya tidak pasti. Kadang dapat 80 ribu rupiah, 50 ribu (tentu saja setelah dipotong untuk bos), kadang tidak dapat sama sekali. Yang pasti bagi mereka adalah setoran pada bos setiap harinya harus ada. Besaran setoran berkisar antara 70 ribu hingga 80 ribu per orang, tergantung permintaan si bos. Dalam sehari sopir kadang hanya mendapat uang untuk setoran saja. Itupun pak sopir masih dibebani membeli bensin sendiri untuk operasinya. Maka, praktis pendapatan sopir pas-pasan perbulannya hanya cukup untuk makan, berobat, beli baju, dan menyekolahkan anaknya hingga dapat membaca. Intinya, hanya cukup untuk menukar atau menjual tenaganya pada para bos.

Sebagian besar para sopir sudah bekerja lebih dari lima tahun bahkan hingga belasan tahun. Dari lamanya waktu bekerja ini kalau dihitung setorannya sudah dapat angkot sebetulnya. Katakanlah setiap sopir bekerja 5 tahun dengan setoran 70 ribu per bulan, maka total setoran dapat dihitung selama lima tahun: 70.000 ribu x 30 (hari) x 12 (bulan) x 5 (tahun), totalnya adalah 126 juta. Banyak banget tentunya. Jika bekerjanya hingga belasan tahun, tinggal hitung sendiri. Jumlah ini kalau dibebelikan angkot dapat lima dan sopir dapat menjadi bos juga. Tapi itu tidak terjadi.

Katakanlah pendapatan bos itu masih kotor karena masih harus mengeluarkan servis angkot tiap bulan. Okelah, katakanlah biaya servisnya 100 ribu perbulan (menurut pengakuan sopir tidak mesti servis tiap bulan). Maka pengeluaran bos untuk servis selama lima tahun yaitu 100 ribu x 12 (bulan) x 5 (tahun), maka pengeluarannya 6 juta saja. 126 juta dukurangi 6 juta masih sisa 120 juta. Uang segini mah cukup dipakai makan selama lima tahun tanpa bekerja.

Oh… ini lagi kata bos, yang digunakan itu adalah angkot bos jadi pasti mengalami penyusutan harga setiap tahunnya. Okey… Katakanlah harga angkotnya 50 juta rupiah (harga angkot bisa lebih murah kata sopir) dan menyusut 10 persen pertahun selama lima tahun. Maka dapat dihitung penyusutan angkot 25 juta selama 5 tahun. Penyusutan ini mengurangi pendapatan bos dari 120 juta-25 juta, sisa bersihnya 95 juta. Pendapatan bersih ini untuk satu angkot, kalau si bos punya lima angkot tinggal dikalikan saja 95 juta x 5, hasilnya 475 juta selana lima tahun. Cukup buat si bos buat nambah istri dan beli rumah baru. Uang ini didapat tanpa bekerja. Pertanyaannya, jika bekerja adalah syarat yang membuat sesuatu menjadi milik kita, seperti kita ngambik air di danau menggunakan ember maka air seember itu milik kita. Bagaimana dengan si bos yang tidak bekerja tetapi memiliki sebagian besar penghasilan para sopir? Silahkan dipikir sendiri!

Bos masih mengelak sekali lagi: kalau tidak terima dengan sistem bos yang seperti itu, silahkan cari pekerjaan lain atau silahkan beli angkot sendiri juga dan disewakan. Lah, sopir mau beli angkot gimana wong uangnya diambil si bos.

Tapi kok bisa-bisanya pak sopir masih mau bekerja kalau sudah tahu hasil keringatnya diambil bos? Untuk ini hampir semua sopir (juga pekerja dan buruh) punya jawaban yang sama yaitu tidak ada lagi kerjaan yang lebih baik. Sementara kebutuhan hidup terus mengalir bagai air terjun Coban Rondo. Belum lagi biayai sekolah anak yang kian hari semakin mahal, anak minta gatget terbaru seperti punya teman-temannya, butuh beli cream pemutih wajah, dan pakaian-pakaian trendi seperti di TV-TV yang dikenakan para artis. Kalau tidak menjadi sopir bagaimana semua kebutuhan itu dapat dipenuhi. Tuhan tidak mungkin melempar gepokan uang begitu saja dari langit.

Kok tidak jadi kuli bangunan atau pekerjaan lainnya, yang penting bukan sopir? Para sopir merasa diberikan kebebasan. Menurutnya, sopir bisa bekerja jam berapapun dan bahkan juga bisa tidak bekerja dalam sehari asalkan setoran perhari yang diberikan tiap minggu tetap lancar. Disinilah, akunya, yang membedakan sopir dengan kerja kuli bangunan yang harus masuk setiap pagi seperti anak sekolahan. Sopir bebas memilih jam dan itu menyenangkan bagi mereka.

Betulkah jadi sopir adalah pekerjaan yang bebas, karena sopir memperoleh kebebasan? Jawabannya, tetap saja tidak ada kebebasan bagi pekerja (buruh) apapun. Sopir memang bisa milih jam, tapi dia tidak bisa milih saat waktu setoran tiba. Pilihan dia hanya satu yaitu harus setor. Yang diyakini sopir bukanlah kebesan tetapi tekanan atau beban yang ditunda sehingga merasa diberi kebebasan. Memang begitula cara para bos-bos (kapitalis) membangun sistem membuat para pekerja merasa ditolong, diberikan kebebasan, diberikan kehidupan, diberikan kehormatan, dst. Walaupun sebetulnya yang terjadi sebaliknya para sopirlah yang memberi bos-bos itu kehidupan, sopirlah yang memberi dia kehormatan dan kesejahteraan. Tetapilah begitulah citra yang dipahami.

Jadi kebebasan bagi sopir (juga buruh) tidak ada dan tidak akan pernah terjadi. Kecuali mereka nekat pulang kampung dan membuat usaha sendiri tanpa menindas seperti cara-cara yang dilakukan para bos selama ini. Atau kaum sopir bersatu membangun kekuatan dan merebut angkot-angkot para bos untuk dikelola bersama tanpa harus setor ke bos.


 #filsafatmazhabkepanjen

Posting Komentar

0 Komentar