Sosialisme dan Analogi Goa Platon

Oleh: Herlianto A, santri STF Al Farabi Malang
Sumber: muvinarium.blogspot.com

Sosialisme atau komunisme[1] merupakan cita-cita struktur sosial yang kerap kali disebut-sebut sebagai pengganti struktur masyarakat kapitalistik-imperialistik dan menindas. Salah satu semangatnya yaitu menikmati alam (kekayaan) secara bersama tanpa terikat oleh kepemilikan pribadi yang cenderung rakus. Tak ada lagi kejahatan yang membuat manusia yang satu menindas  manusia lainnya. Keinginan dasarnya ialah kesejahteraan dan kebahagiaan bersama yang sesungguhnya, bukan kesejahteraan yang hanya dipaparkan lewat undang-undang atau sederet konsepsi lainnya.

Namun persoalannya, mungkingkah kehidupan semacam itu? Dan bagaimana sosialisme dapat dijelaskan sebagai sebentuk proposal yang logis-rasional serta detail? Pada mulanya sudah banyak yang berupaya untuk itu, yaitu para sosialisme purba semacam F.N. Babeuf, Saint Simon, Robert Owen, Charles Fourier, P.J. Proudhon, dan L.A. Blanqui berupaya keras. Tetapi, alih-alih gagasannya diapresiasi, malah “dihina” sebagai penggagas sosialisme utopis, penjual ludah, dan segenap imposibilitas lainnya.

Identifikasi utopis ini disandarkan pada bagaimana mereka merealisasikan sosialismenya. Ada empat cara perwujudan sosialisme yang diajukan oleh sekian tokoh tersebut, di antaranya: 1) sosialisme dapat direalisasikan melalui keterlibatan negara dan institusi revolusioner lainnya seperti partai; 2) melalui reformasi sosial dan perbaikan institusi pendidikan serta penataan keuangan lewat bank-bank; 3) melalui merasuk ke dalam struktur tubuh kapitalisme dan melakukan perubahan di internalnya sebagaimana dikatakan para aktivis belakangan macam Aldian Napitupulu dan Budiman Sudjatmiko; dan 4) direalisasikan lewat komunitas-komunitas kecil yang memulai hidup sosialis[2].


Empat upaya diatas menjadi utopis karena justru keempatnyalah yang melanggengkan struktur kapitalistik yang secara diametral bertentangan dengan sosialisme. Kenyataannya, negara menjadi tameng dan dasar legitimasi terkuat bagi “the have” untuk memeras “the have not”, negara tak segan menggerakkan pasukan militernya untuk melindungi kekayaan kaum borjuis atas nama kepentingan vital negara. 

Pendidikan menjadi arena dimana ideologi borjuis dikembangbiakkan, institusi pendidikan hanya melakukan reproduksi tenaga-tenaga kapitalis murah demi keberlanjutan eksploitasinya. Para aktivis yang masuk ke dalam struktur, justru bersembunyi dibalik lututnya atas ketakberdayaannya. Bank-bank menjadi institusi yang paling menindas dengan beban bunga yang tak karuan pada nasabahnya sambil berdalih memberi pinjaman usaha, pun komunitas kecil mudah dihancurkan.

Selanjutnya muncul Marxisme, dengan alternatif dan pembacaan yang berbeda dan berupaya menempatkan sosialisme pada yang ilmiah, bukan utopis. Sosialisme ilmiah Marxis panjang lebar dibahas dalam “Sosialisme: dari Utopis Hingga Ilmiah Ala Marx”. Di bagian ini hanya mengulas bagaimana upaya ilmiah Marxis ditentang dengan tuduhan-tuduahn tertentu. Marxis juga dimintai proposal sosialisme ilmiahnya agar dapat dengan terang dijelaskan ke publik, sehingga mereka percaya dan mengakui kebenaran Marxisme. 

Kalau tidak, cita-cita Marxis tak ada bedanya dengan “eidos” atau Idea Platon yang hanya percaya bahwa ada dunia yang adiduniawi dimana segala sesuatunya sempurna namun tak dapat diamati secara empiris. Karena konsep “eidos” tidak muncul dari struktur empiris maka “eidos” tak punya realitas. Konsep yang tanpa realitas adalah idealisme, dan konsep komunisme juga tidak ditemukan di realitas, karenanya komunisme senasib dengan “eidos” yang sama-sama terjebak ke dalam idealisme. Seturut implikasi selanjutnya, Marx tak dapat membuktikan keilmiahan sosialismenya, karena itu pula, sosialismenya tetaplah utopis. Demikianlah kira-kira tuduhan terhadap komunisme besutan Marxis yang beredar hingga kini.

Anologi Goa Buat Marxis

Teruntuk mereka yang menuntut proposal Marxis, Platon memberikan satu senjata berupa analogi yang penting bagi Marx, analogi goa. Dalam Politeia Platon mengilustrasikan manusia yang sejak lahir terpasung dalam goa. Dalam keterpasungan itu, mulut goa menghadap pada matahari sehingga apa-apa yang melintas di depan mulut goa bayangannya memantul pada dinding goa. Orang-orang terpasung itu mengira bahwa bayang-bayang itulah realitas yang sesungguhnya. Hingga pada suatu hari, salah satu dari gerombolan na’as ini ada yang bebas dan keluar goa. Betapa kagetnya setalah berada diluar, karena ternyata apa yang selama ini dianggap realitas yang sesungguhnya yang memantul pada dinding goa hanyalah bayangan saja. Apa yang dia amati saat inilah yang sebenarnya realitas riil itu.

Dengan apa yang baru didapat ini, dia langsung bergegas balik ke para temannya yang masih terpasung di dalam goa. Dia menceritakan apa yang telah dilihatnya di luar goa sebagai realitas sesungguhnya. Dan apa yang selama ini dianggap realitas di dinding goa hanyalah bayangan dari orang yang melintas di luar goa. Namun apa yang terjadi? orang ini ditertawakan oleh kawan-kawannya sendiri. Dia dianggap ngawur, tidak ilmiah, sebatas konsepsi tanpa realitas, dan bahkan apa yang dia sampaikan dianggap hal-hal utopis. Demikianlah yang dialami Platon saat menjelaskan “eidos” pada mereka yang belum memahami dan mengetahui.

Analogi goa ini dapat dimetaforkan pada komunisme Marxis yang sampai saat ini tetap dipertanyakan realitasnya dalam artian korespondensi—sebagaimana kita bilang gelas dan memang ada bendanya yaitu gelas (dalam takaran indera). Marxis dituntut menjelaskan sosialisme yang masih akan terjadi di era kapitalisme secara empiris. Marxis diminta mendogeng kisah-kisah apa saja yang terjadi di zaman komunisme. 

Namun tentu saja, tak ada yang bisa menjelaskan era komunisme sebagaimana menjelaskan era kapitalisme saat ini. Karena tidak dapat dijelaskan saat ini, maka Marxis ditertawakan oleh borjuis-borjuis yang menguasai seluruh tenaga kaum proletar itu. Situasi yang dialami Marxis sama seperti orang yang seumur hidupnya belum pernah ke benua Eropa tetapi kemudian mempertanyakan deskiripsi dan narasi benua Eropa, karena dia tidak dapat mendeskripsikan dan menarasikan lalu mengambil kesimpulan bahwa Eropa tidak ada dan utopis, sembari terbahak-bahak geli.

Mendapati Prakondisi Sosialisme

Dalam situasi macam ini, sosialisme dituntut kesabarannya untuk menjelaskan secara logis-rasional sekaligus ilmiah gagasannya. Bahwa ada prasyarat atau jalan yang dapat ditempuh untuk sampai ke kehidupan sosialis. Eropa ada dan akan terjelaskan sejauh ditempuh dengan jalan-jalan yang menunjukkan ke arah Eropa, misalnya harus punya paspor, membeli visa, datang ke bandara dan terbang ke Eropa bukan ke Afrika, harus mengerti bahasa Inggris agar dapat memperoleh banyak informasi tentang Eropa dari orang Eropa sendiri di sana dan seterusnya. Pada titik ini, Marx sebagai pendiri sosialisme ilmiah memperoleh signifikansinya, dia melalui beberapa analisa dan temuan-temuan sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya membuka jalan menuju sosialisme, meretas hutan-hutan kapitalisme untuk dijadikan jalan setapak menuju sosialisme.

Bagi Marx, sosialisme dapat ditempuh apabila struktur sosial masyarakat betul-betul kapitalis. Hal ini ditandai dengan pertentangan yang akut antara borjuis dan proletar. Bahwa kaum buruh harus mengikatkan diri dalam satu organisasi internasional dan secara besar-besaran melakukan diktator proletariat untuk kemudian menggulingkan para kapitalis yang kini menghisapnya.

Dari mana dasar pertentangan dan bersatunya kaum buruh ini, bahan bakar apa yang dapat digunakan untuk melejitkan spiritnya? Marx menjawab bahwa situasi kaum buruh sendirilah yang kini sedang tertindas yang akan menjadi trigger-nya. Penindasan kapitalis dibuktikan lewat temuannya “surplus value” yang menjadi simpul dimana proletar betul-betul ditindas dalam hitungan yang sangat matematis dan jelas. Karena itu, tak ada bahan bakar yang lebih ampuh selain menyadari penindasan terhadap dirinya. Dan itu semua, Marx tidak mengada-ada. Dia jelas berangkat dari realitas sejarah yang terjadi, termasuk kenyataan sosial saat ini. Karena itulah sosialismenya tetap ilmiah.

Dengan demikian, kaum Marxis atau siapapun yang menginginkan kehidupan yang sejahtera, maka tak ada  cara lain, selain melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, dan salah satu alat untuk itu adalah pisau analisa Marxis.       
  
 #filsafatmazhabkepanjen


[1] Franz Magnis-Suseno dalam Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, membedakan antara “sosialisme” dan “komunisme”. Komunisme digunakan untuk aliran sosialis yang lebih radikal yang menginginkan secara total penghapusan hak milik pribadi, dan untuk mencapai itu tidak melalui institusi eksternal: partai atau negara. Sementara “sosialisme” pada sebatas keinginan untuk menikmati bersama pada kekayaan yang ada., hal 15-19.
[2] Ibid., hal 20-44 

Posting Komentar

3 Komentar