Oleh:
Herlianto A, santri STF Al Farabi
Sumber: kmnu.or.id |
Kiprah pesantren dalam negara ini tak perlu dipertanyakan lagi. Sejarah membuktikan bagaimana golongan sarungan mengambil bagian penting dalam sirkuit sejarah berdirinya republik ini. Bahkan sejak NKRI masih sebagai embrio di masa para Wali Songo, dilanjutkan oleh para kiai sekaliber Syaikhona Kholil Bangkalan, KH. Hasyim As’ary, KH. Wahab Hasbullah, KH. As’ad Samsul Arifin dan sederet kiai besar lainnya, hingga Indonesia bediri kokoh di abad ke XXI ini.
Soalnya adalah bagaimana
menginternalisasi nilai-nilai kepesantrenan yang telah teruji itu dalam tata
kehidupan. Baik dalam arti nuansa beragama, berwirausaha, menjalin kekerabatan,
dan lebih-lebih berpolitik. Penulis meyakini, meskipun sekian puluh tahun
pesantren ada di tengah-tengah masyarakat tidak semua spirit
kepesantrenan secara otomatis terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Apalagi tidak semua masyarakat
Indonesia adalah santri. Dalam pemetaan Clifford Geert terdapat tiga golongan
masyarakat Indonesia: Priyai, Abangan, dan Santri.
Artinya, ada pluralitas sikap etis dalam masyarakat kita, belum lagi yang
muncul dari peradaban Barat. Untuk itu perlu upaya universalisasi atas
etika-etika pesantren. Sehingga nilai-nilai kebaikan pesantren bisa berlaku
universal, bisa dipraktekkan oleh semua lapisan, baik kalangan priyai, abangan,
dan non muslim sekalipun.
Pada titik inilah, kalangan
santri wajib menggali segala nilai-nilai kepesantrenan untuk ditularkan pada
siapapun dalam rangka menciptakan tata masyarakat yang kondusif tidak hanya
secara lahiriyah tetapi batiniahnya juga. Nilai-nilai kepesantrenan−meminjam bahasa Immanuel Kant, sebagai
suatu maxim−harus
dikeluarkan dari kerangkeng pesantren sehingga berlaku umum. Untuk itu, setiap
varian nilai yang mengemuka dari pesantren harus dikaji lagi. Upaya
“kontekstualisasi-rekontekstualisasi” dan “rasionalisasi-rerasionalisasi” atas
nilai itu jangan sampai terhenti. Sehingga tetap menjadi nafas dari tindakan
etis. Penulis meyakini, nilai tata hidup pesantren tidak kalah tangguhnya dari
nilai tata hidup yang muncul dari luar, misalnya dari peradaban Barat (western
civilization).
Melihat pentingnya menggali
nilai pesantren ini, penulis menjadi tergugah untuk mengkaji satu nilai
pesantren yaitu tawadu’ sebagai satu etika yang tak hanya berlaku di
pesantren tetapi jauh lebih luas dari itu, yaitu dalam bernegara dan
berpolitik. Artinya tawadu’ sebagai alternatif dalam diskursus etika
politik kontemporer, sekaligus oase di tengah keringnya etika para
negarawan.
Tesis ini muncul setidaknya
atas tiga hal. Pertama, setelah sekian tawaran etika politik dari
konsepsi Barat yang diyakini superior, ternyata tidak menjawab “kegalauan etis”
dalam berpolitik di negara ini. Itulah sebabnya kejadian-kejadin bertentangan
dengan etika dan moral kerap kali muncul. Misalnya “kebohongan dan
arogansi” dalam berpolitik. Sikap
politik yang muncul adalah Machiavellian yaitu the end justify to mean (menghalalkan
segala cara) demi kekuasaan. Politisi yang terbukti korup tanpa rasa malu masih
bisa tersenyum lebar sembari mengelak. Penguasa mengingkari janji politik tanpa
merasa berdosa sedikitpun. Politisi menyalahgunakan wewenangnya dengan mencatut
nama orang lain dst. Sedihnya lagi, itu semua terkesan sebagai kewajaran,
bahkan menggunakan lambang-lambang agama. Etika politik seperti ini sama sekali
jauh dari politik santun (polite politic) yang diidealkan selama ini.
Asumsi kedua
disandarkan pada fakta-fakta pemimpin lahir dari pesantren yang mampu bersikap
bijaksana dengan bekal tawadu’. Misalnya, KH. Abdur Rahman Wahid (Gus
Dus), KH. As’ad Samsul Arifin, KH. Wahab Chasbullah, KH. Mustofa Bisri. Para
santri ini mampu menjadikan tawadu’ sebagai sikap etis dalam berpolitik
secara santun. Ini sekaligus menunjukan bahwa tawadu’−sebagai produk etik
pesantren−layak
digali sehingga etika berpolitik di bangsa ini keluar dari kegersangannya.
Ketiga, pesantren
adalah kehidupan yang sudah mendarah daging di negara ini, sejak Indonesia
belum merdeka hingga kini. Hal ini berarti menempatkan tawadu’ lebih applicable
sebagai suatu tindakan. Tawadu’ secara hakiki muncul dari cipta, rasa,
dan karsa manusia Indonesia sendiri. Karenanya ia menjadi sikap etis
sekaligus identitas ke-Indonesiaan.
1.
Diskusrsus Etika
Etika berasal dari kata
Yunani Ethos yang berarti kebiasaan atau cara hidup. Titus, Smith &
Nolan membedakan antara moralitas dan etika. Moralitas mengacu pada tingkah
laku itu sendiri, sementara etika menunjuk pada penyelidikan tentang tingkah
laku. Jadi Etika adalah pengkajian soal moralitas[1].
Etika mempertanyakan secara konsepsi sikap moral mana yang pantas dan tidak
pantas yang benar dan tidak benar. Pemetaan ini diperkuat oleh Franz
Magnis-Suseno, bahwa etika bukanlah sebuah ajaran melainkan sebuah ilmu, jadi
etika dan moralitas tidak berada pada level yang sama. “Etika mau mengerti
mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, bagaimana kita dapat
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran
moral”.[2]
Karena itu Magniz-Suseno, sebagaimana Aristoteles dalam Nicomachean Ethics,
meletakkan etika sebagai upaya menemukan orientasi atau tujuan hidup.
a.
Etika Yunani:
Kesadaran Diri
Pembahasan etika sebagai suatu
upaya memahami tindakan moral manusia sudah mengemuka sejak peradaban Yunani.
Beberapa tokoh etika di antaranya: Sokrates (469-399 SM), Plato (428-347 SM),
Aristoteles (384-322 SM), dan Epicurus (341-270 SM). Masing-masing tokoh ini
memiliki kekhasannya dalam melihat etika, sehingga memungkin perdebatan etika
terus mengalir.
Sejak mula Sokrates
menganjurkan agar manusia memeriksa kehidupannya, karena kehidupan yang tidak
diperiksa tidak layak dihidupi. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mendapati
tujuan hidup manusia itu sendiri, yaitu eudaimonia (kebahagiaan). Eudaimonia
sebagai kesempurnaan etis dapat dicapai
apabila orang merasa baik dan mampu membuat orang lain juga baik[3].
Plato membahas etika dalam
beberapa bukunya misalnya Xarmides, Politeia, dan Phaedros.
Baginya keutamaan etis (Arete) adalah kemawas-dirian atau menyadari diri
(sophrosune). Setyo Wibowo menggunakan “keugaharian” sebagai padanan
kata sophrosune. Keugaharian merujuk pada kebersihan jiwa, “dimana orang
memiliki disposisi inetelektual yang sehat yang memampukannya membuat penilaian
dengan baik sehingga tindakannya terukur”.[4]
Dalam hal ini ada korelasi
yang kuat antara Epithumia (nafsu), Thumos (afektivitas atau
semangat), dan Logistikon (rasio) pada diri manusia. Mawas diri adalah
mampu memahami tiga bagian jiwa ini dan menempatkan Thumos pada posnya
dan mengendalikan Ephitumia. Jadi rasio memberikan ukuran harmonis
supaya tindakan manusia menjadi terukur dan menjadi baik[5].
Keutamaan etis Plato berelasi kuat dengan Sokrates, gurunya, yang menempat
pengetahuan diri sebagai moralitas tertinggi.
Etika Aristoteles agak sedikit
berbeda. Dalam buku Nicomachean Ethics, mula-mula ia menempatkan tujuan
hidup sebagai yang paling penting dari kehidupan. Ada beberapa pandangan soal
oerientasi hidup yang muncul, di antaranya: demi kehormatan, kesejahteraan dan
yang terkuat adalah kenikmatan atau kesenangan. Memang menurut murid Plato ini
susah menemukan kata sepakat soal mana tujuan yang tepat, karena hampir setiap
orang memiliki definisinya sendiri. Sehingga tindakan etis yang dilakukan juga
berbeda-beda. Tetapi ada satu ukuran yang paling ampuh yaitu kebahagiaan
rasional yang menempatkan kebaikan dalam dirinya sendiri.
Yang baik dalam dirinya sendiri, yang juga merupakan
penyebab dari semua yang baik dari hal-hal tersebut. Suatu penelitian atas
semua perbedaan pandangan mungkin kurang berguna dan lebih mencukupi jika kita
berkonsentrasi pada yang paling jelas (evidence) atau yang memang masuk akal[6].
Ajaran etika
sebagai yang meneyenangkan mendapat momentumnya pada Epicurus. Baginya hidup
etis adalah hidup yang sebesar-besarnya mencari kesenangan dan kenikmatan. Dia
tidak menyakini adanya hidup setelah kematian. Sehingga dunia ini adalah
panggung untuk meraup kenikmatan semaksimal mungkin. Ajaran ini sebenarnya
bernuansa ke-frustasian Epicurus atas kondisi kehidupan masyarakat yang
meyakini Dewa sebagai yang maha penyayang dan baik tetapi penderitaan dan
kejahatan justru menjadi kehidupan keseharian manusia.[7]
Jadi bagi Sokrates, moralitas
politik mestinya memudahkan bagi orang lain. Plato mensyaratkan politisi harus
memiliki bekal mawas diri (sophrosune). Aristoteles menempatkan politik
mengarahkan manusia pada tujuan yang rasional. Sementara Epicurus menjerusmuskan
politisi pada sekedar memuaskan nafsu dan hasratnya.
b. Deontologis: Etika Kantian
Abad pertengan membuat kajian
etika meredup di Barat. Diskursus etika kembali mengemuka di masa Immanuel Kant
(1724-1804). Kant tidak hanya menggegerkan filsafat di wilayah epistemologi,
tetapi tak kalah pentingnya di bidang etika. Dalam Dasar-Dasar Metafisik
Moral, ia merumuskan prinsip-prinsip formal etik. Pertama, prinsip
hukum universal, yaitu bertindak sebagaimana maksim yang bisa sekaligus sebagai
hukum umum. Maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif. Sederhananya,
untuk mengetahui tindakan yang diambil wajib atau tidak, kita harus
mempertanyakan apakah tindakan itu bisa diuniversalkan, yaitu dijadikan hukum
bagi semua orang.
Kedua, kemanusiaan
sebagai tujuan bukan sekedar alat. Kant menulis “bertindaklah sedemikian rupa
sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam personmu atau
di dalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan
semata-mata sebagai sarana belaka”.[8]
Dalam konteks ini menganiaya orang lain atau diri sendiri dianggap salah secara
moral karena mengabaikan person sebagai manusia. Ketiga, prinsip otonom
yaitu seolah kita adalah pembuat hukum itu sendiri karenanya tidak ada alasan
untuk tidak mematuhi dan menjalankan hukum itu.
Pada titik itu etika Kant
menjadi “deontologis”, yaitu tak perlu dipertanyakan dan harus dilakukan,
sehingga baik-buruk adalah hakikat dari perbuatan itu sendiri. Atau yang akrab
disebut dengan imperatif kategoris. Kant menulis:
Imperatif kategoris mungkin karena ide kebebasan
membuat saya menjadi anggota dari dunia yang bisa dipahami. Akibatnya, jika
saya adalah anggota dari dunia itu maka segala perbuatan saya akan harus sesuai
dengan otonomi kehendak.[9]
Artinya tindakan yang
dilakukan demi kewajiban bukan karena sesuai dengan kewajiban. Secara etis Kant
mengharuskan politik atau politisi tunduk pada hukum apa adanya dan tidak ada
tawaran apapun, ini yang disebut rigorisme moral.
c. Teleologis: Hedonisme dan Utilitarianisme
Imperatif kategoris
Kantian ini mendapatkan tantangannya dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Dua filsuf ini mengantisipasi etika Kantian dengan berpangkal pada manfaat (utility)
tindakan atau nilai yang menyenangkan. Artinya yang penting dari suatu tindakan
adalah bukan karena sesuai atau demi hukum, melainkan bagaimana manfaat yang
dihasilkan. Seberapapun bertindak demi hukum namun tak bernilai utilitas, maka
tetaplah tindakan ini dianggap tidak etis.
Sebaliknya, sekalipun sedikit
mengabaikan hukum, tetapi demi kebaikan lainnya, demi manfaat lainnya maka itu
bernilai etis. Etika Bentham dan Mill disebut imperatif hipotetis: jika
kita ingin A maka harus lakukan B (Jika ingin pintar maka belajarlah). Dasar perintah Kant muncul dari dalam diri
subjek, sementara hedonisme dan utilitarian dasarnya di luar subjek yaitu
kemanfaatan itu sendiri. Etika kedua filsuf ini disebut “teleologis” yaitu
nilai baik buruk tergantung tujuan dan konsekuensinya.
Etika teleologis ini
mensyaratkan politik dan politisi tak perlu prosedural terhadap hukum, yang
penting menguntungkan dan menyenangkan maka lakukanlah. Sikap etis ini
berpotensi mengabaikan dan melanggar hukum.
2. Diskursus Tawadu’
a. Definisi Tawadu’
Secara etimologis tawadu’
berarti merendahkan diri atau rendah hati. Rendah hati menurut Franz Magnis
Suseno ialah “kekuatan batin untuk menilai diri sesuai dengan kenyataan. Orang
rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya tetapi juga kekuatannya. Ia sadar
bahwa kekuatan dan kebaikannya terbatas”.[10]
Sementara dalam hadits, tawadu’
diletakkan vis a vis dengan sifat sombong atau angkuh. Misalnya
Rasulullah SAW bersabda: “sesunggughnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: Bertawadu’-lah
hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak
menganiaya terhadap lainnya” (HR. Muslim). Disini jelas bahwa tawadu’
merupakan tiadanya rasa bangga diri sendiri, dan kesungguhan hati untuk tidak
bersikap tidak aniaya pada orang lain. Tawadu’ mensetarakan manusia,
sebagaimana ia berada dihadapan Tuhan.
Tawadu’ dalam arti
tidak sombong ini, juga dibahas dalam Alquran wujudnya dalam bentuk larangan (prohibition).
Misalnya Allah berfirman: “dan janganlah kalian berjalan diatas bumi dengan
menyombongkan diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau menjulang
setinggi gunung” (QS. Al-Isra ayat 37). Hal senada bisa ditemukan dalam QS. Al
Furqaan ayat 63, dan QS. An Nahl ayat 23.
Menurut
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), seorang tokoh mazhab Hambali, tawadu’
sebagai “menunaikan segala yang hak dengan bersungguh-sungguh, taat
menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah dan tanpa
menganggap dirinya tinggi”[11].
Ibnu Qayyim menyatakan tawadu’ sebagai “kerelaan manusia terhadap
kedudukan yang lebih rendah hati terhadap sesama/orang yang beriman, atau mau
menerima kebenaran apapun bentuknya dan dari siapapun asalnya”.[12]
Sementara Ibnu Atha`illah al-Iskandari dalam Al Hikam menempatkan tawadu’
sebagai kesadaran bahwa diri tidak berarti, tidak merasa rendah hati sekalipun
sudah rendah hati.
Siapa
yang merasa dirinya tawadu’ berarti ia sombong karena tawadu’ tidak muncul dari
orang yang merasa mulia. Maka dari itu, ketika kau merasa mulia berarti kau
telah sombong.[13]
Dari beberap definisi ini
dapat disimpulkan bahwa tawadu’ adalah ketenangan, kesederhanaan dan
kesungguhan untuk menjauhi perbuatan takabbur dan sum’ah yaitu
ingin diketahui orang lain amal kebaikannya. Serta menempatkan diri sebagaimana
layaknya. Semua itu semata-mata sebagai ketundukan diri sebagai bagian dari
totalitas semesta.
b. Tawadu’ Dalam Sufisme
Sebagai kesadaran diri, tawadu’
juga mendapat porsi khusus dalam kajian sufisme. Dalam Islam sangat banyak
tokoh sufi yang membahas soal tawadu’. Pada kesempatan ini, penulis
hanya akan mengetengahkan Al Ghazali (1058-1111 M) dan Ibn `Arabi (1076-1148
M). Dua tokoh ini sangat berpengaruh luas ajaran sufismenya tidak hanya di
dunia Islam tetapi juga di kalangan penikmat sufisme Barat.
Dalam buku Ihya’ Ulumuddin
di bab tentang Metode Menggapai Kebahagiaan, Al Ghazali membuka
tulisannya dengan man `arafa nafsa-hu faqad `arafa rabba-hu, barang
siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Pernyataan ini mensyaratkan
pertanyaan penting bagi manusia untuk mengerti dirinya di antaranya: siapa
dirimu dan darimana berasal? Untuk apa tinggal dan pegi di dunia ini? kemana
tujuannya? Apa yang membedakan dirimu dengan setan dan hewan?[14]
Pertanyaan ini tidak sekedar membutuhkan penjelasan fisik bahwa manusia
memiliki tubuh, tangan, kepala dan lainnya, tetapi lebih jauh dari itu yaitu
jiwa manusia.
Ibn `Arabi dalam konsepsinya juga
bertolak dari hadist yang sama dengan Al Ghazali sebagaimana ditulis oleh
Toshihiko Izutsu dalam Sufisme: Samudra Makrifat Ibn `Arabi. Bahwa
“hanya dia yang menyadari dirinya sendiri sebagai bentuk manifestasi-diri Ilahi
yang siap untuk melangkah dan menyelam lebih jauh ke dalam rahasia kehidupan
yang berdenyut dalam setiap bagian alam semesta”.[15]Secara
etis pilihan kedua sufi ini meletakkan tujuan hidup sebagai upaya menyatunya
diri sebagai hamba (wujud nisbi) dengan yang Ilahi (wujud mutlak).
Dengan demikian tawadu’
sebagai wujud pengahambaan diri yang total, diri bukan siapa-siapa atau bahkan
ketiadaan dihadapan sang khalik. Dengan demikian secara etis tak ada alasan
untuk menyatakan bahwa manusia satu superior terhadap yang lain. Segala daya
upaya menusia adalah dalam rangka menyingkap cinta kasih sang pencipta.
c. Tawadu’ Dalam Tradisi Pesantren
Dalam kehidupan pesantren, tawadu’
merupakan satu sikap etis (akhlak) yang penting. Seorang santri tidaklah
betul-betul sebagai santri jika tidak memiliki sikap tersebut. Dalam tradisi
pesantren, tawadu’ tidak berbeda dari sekian definisi yang dipaparkan
diatas baik dalam arti sufisme maupun makna yang lebih umum.
Mula-mula santri−sebagai pelajar yang
mendalami Ilmu pengetahuan dan ke-Islaman−akan dihadapakan dengan kitab Ta’allim al-Muta’allim
karangan Syekh Az-Zarnuji. Kitab ini membahas adab mencari ilmu. Di antaranya tawadu’
dalam arti hormat kepada sang guru. Serta menempatkan ilmu pengetahuan pada
tempat yang tinggi. Kitab ini kemudian menjadi bacaan wajib santri sebagai
bekal memahami etika seorang pelajar.
Selain kitab itu beberapa
kitab babon etika lain yang dikaji di pesantren di antaranya: Minhajul
Abibidin karya Al Ghazali yang
membahas soal adab beribadah, Al Hikam karya Ibnu Atha’illah al
Iskandari yang menurut KH. Mustafa Bisri “mutiara-mutiara cemerlang untuk
meningkatkan kesadaran spritual.”[16]
Kitab cukup penting lainnya adalah Ihya’ Ulumuddin yang juga ditulis Al
Ghazali. Kitab ini sangat luas pembahasannya termasuk soal tawadu’.
Beberapa kitab ini cukup dekat dengan etika tasawuf, karenanya kitab-kitab ini
diberikan pada tahapan pendidikan lanjutan di pesantren .
Namun demikian, yang paling
kasat mata dari seorang santri baik yang masih di tahap pengenalan etik atau
yang sudah masuk dalam kelas tasawuf adalah kerendahan hatinya. Dan
kesungguhannya untuk tunduk dan hormat kepada sang guru atau mereka yang
dianggap memiliki pengetahuan lebih luas. Tawadu’ semacam ini
dipraktekkan dengan apik oleh Gus Dur. Dalam pengakuannya, dia menjadi
presiden tak lain dorongan dari lima kiai yang tak pernah disebut namanya.
Termasuk saat dia menerima impachment dirinya yang kontraversial juga
karena “perintah” dari sang guru. “Saya ini orang pesantren, apapun yang
diperintah kiai akan saya lakukan. Disuruh masuk api saya akan lakukan,” kata
Gus Dur dalam sebuh wawacara media televisi.[17]
Hal yang sama dilakukan oleh
KH. Mustafa Bisri, pengasuh pesantren Raudlatuh Tholibin Rembang. Gus Mus
dengan tawadu’ meletakkan jabatannya sebagai Rais Aam dalam
muktamar NU ke-33di Jombang. Padahal dia dipilih (dengan sistem AHWA) sebagai Rais
Aam. Tetapi atas nama ketawadu’an karena merasa masih ada yang lebih
baik diatas dirinya, Gus Mus memilih meletakkan jabatan mentereng itu.
Jauh hari sebelum itu, Kiai
Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah menolak jadi Rais Akbar karena Kiai
Hasyim As’ari masih ada. Kiai Syansuri menolak menjadi Rais Aam karena masih
ada Kiai Wahab Chasbulla sekalipun sedang sakit. Kiai As’ad Syamsul Arifin juga
menolak jadi Rais Aam karena masih ada Kiai Mahrus Ali Lirboyo.[18]
Sikap etis seperti yang telah
dilakukan oleh kalangan sarungan diatas menunjukkan bahwa betapa kekuasan tidak
bisa dipermainkan seenak hatinya. Pemimpin harus mengayomi bukan membohongi
rakyat, pemimpin harus siap berada digarda depan atas nama keadilan untuk
rakyat. Dari sini sikap tawadu’ menginginkan pemimpin yang betul-betul bijak dan mengedepankan
kepentingan rakyat ketimbang kepentingan diri dan kelompoknya−dalam
bahasa Plato menginginkan king philoshoper (filsuf raja). Karena menjadi pemimpin apapun
bentuknya−pemimpin dalam arti bernegara, perusahaan, atau organisasi−adalah
tugas mulia yang harus diemban dengan kesungguhan.
3. Tawadu’ Sebagai Etika Politik
Politik dalam terminologi
Aristoteles dalam buku Politics adalah ikut-mengambil-peran dalam polis
(negara). Jadi pada saat masyarakat menyatakan diri menjadi warga dari negara
tertentu maka itu sudah sikap politik. Etika politik berkaitan dengan
konsepsi moralitas tentang pencapaian kekuasaan tertentu. Dalam arti yang lebih
luas etika politik adalah “diskursus soal bagaimana seseorang atau
sekolompok masyarakat berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu
masyarakat bangsa dan kenegaraannya.”[19]
Bagaimana tawadu’
sebagai etika politik (yang kemudian disebut politik tawadu’)? Politik tawadu’
melihat negara tidak seperti Hobbessian bahwa negara hadir hanya untuk meredam
kebinalan manusia. Negara tak lebih dari “satpam” yang menjaga kemungkinan
pemangsaan warga yang satu terhadap yang lainnya. Bagi politik tawadu’
negara adalah perealisasian diri manusia dengan hakikat dirinya sebagai mahluk
sosial yang tak bisa hidup tanpa orang lain, dan karenanya meletakkan orang
lain sebagaimana ia meletakkan dirinya. Negara menjadi wadah manusia untuk
berfilantropi, sehingga kekuasaan bukan alat untuk menindas yang lain yang tak
berkuasa. Negara menjadi panggung mengejawantahkan hakikat diri manusia sebagai
mahluk berpikir, berperasaan, dan berhasrat.
Maka berpolitik adalah
bagaimana belajar rendah hati untuk menghormati
hukum dan orang lain. Segala bentuk penistaan terhadap hak asasi dan
kebebasan orang lain−sebagaimana
dipraktekkan oleh para tiran−tidak
memiliki tempat dalam etika tawadu’. Negara bukan alat untuk menindas
melainkan tempat dimana segala kebutuhan dan keinginan hidup sejahtera
diupayakan bersama. Prinsip itulah yang kemudian mendorong pesantren untuk
selalu ambil untuk mengubah ritme politik politik yang tiran. Sejarah
membuktikan, bagaimana Syekh Hasyim As’ari menyusun resolusi jihat melawan
kesewenang-wenangan Inggris di Surabaya.
Pada zaman gigantisme Orde
Baru para santri juga mengambil peran dengan menyodorkan calon terbaiknya, KH.
Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, dan itu berhasil. Dalam
kepemimpinannya Gus Dur menerapkan etika tawadu’ dalam berpolitik,
melihat kebebasan sebagai hak setiap orang, bahwa manusia Indonesia setara di
hadapan hukum apapun keadaannya. Salah satu langkah terbesarnya adalah dia
mencabut TAP MPR yang melarang dan mesdiskreditkan orang-orang yang sebelumnya
di tuduh komunis dalam berpolitik. Gus Dur mengajarkan pluralitas berpolitik,
beragama, bertradisi, dan berbangsa. Dalam menjalankan misi agung kemanusiaan
itu prinsip Gus Dur cuma satu tunduk (tawadu’) kepada Kiai yang
memerintahkannya. Itulah arti penting tawadu’ dan wujud konkritnya dalam
bernegara.
Dengan demikian sudah
selayaknya, cara perpolitik di negara ini mengedepankan nilai-nilai tawadu’.
Nilai penghormatan setinggi-tingginya pada perbedaan, yang dilandasi dengan
kepatuhan pada hukum dan mengedapankan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi. Jika partai politik menjadikan tawadu’ sebagai tema penting
dalam setiap pendidikan politik yang dilakukan, kemungkinan besar konflik
berdarah pasca pemilu tidak akan terjadi. Dan impian membangun politik santun
akan secara perlahan terwujud.
4. Tawadu’ Vs Deontologis dan Teleologis
Lantas bagaimana posisi tawadu’
sebagai konsep etis dibanding beberapa
etika lainnya? Dalam filsafat barat hampir setiap pemikiran ber-ending
ke pertimbangan moral, yang membuat etika Barat begitu beragam. Namun ada dua
arus besar etika yang hingga kini masih hangat diperbincangkan yaitu Deontologis-Kantian
dan Teleologis-Bentham. Bagian ini akan mencoba mendialogkan tawadu’
dengan dua konsep itu, bukan dengan semua konsep etika yang ada.
Etika menjadi penting lantaran
memiliki relasi konstitutif terhadap kebebasan. Kebebasanlah yang memungkinkan
sikap moral. Menurut Franz-Magniz Suseno
ada dua bentuk kebebasan: kebebasan eksistensial dan sosial.
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan individu atau kehendak pribadi dalam
memilih, sementara kebebasan sosial adalah kebebasan orang lain diluar individu
yang justru membatasi kebebasan individu. Sejatinya, dua bentuk kebebasan ini
tidak pernah damai, karena sama-sama ingin bebas. Katakanlah si A dan si B
sama-sama bebas jadi Bupati di daerah C. Tetapi tidak mungkin ada dua Bupati
dalam satu kabupaten, karena itu harus diselenggarakan pemilihan. Hasil pemilu
akan mengorbankan kebebasan salah satu pihak, khususnya yang kalah.
Bagi etika Kantian kasus ini
dapat diselesaikan dengan kembali ke hukum yang mengatur yang sudah disepakati
secara umum oleh warga (publik). Jika memang si A kalah jumlah suara pada si B,
maka mau tidak mau si B lah yang jadi
Bupati. Tetapi persoalannya si A tidak menerima hasil ini lantaran curiga si B
main curang, terjadilah konflik. Si A menolak maxim prosedur demokrasi
bahwa suara terbanyaklah yang menang. Rumitnya, si A juga menggunakan aturan
umum lainnya bahwa kecurangan tidak diperbolehkan−aturan ini juga lahir dari maxim prosedur
demokrasi. Dengan demikian, dalam deontologis negara menjadi medan pertarungan
mempertahankan maxim tertentu, yang pelakunya tak lain adalah partai
politik.
Sementara bagi Bentham,
pertimbangan etisnya adalah utilitas (menguntungkan). Cuma persoalannya
menguntungkan buat siapa? Jika menguntungkan buat individu tentulah hasil
pemilihan diatas hanya etis bagi si B karena dia yang menang. Si A yang kalah
sama sekali tidak diuntungkan. Karenanya si A melawan hasil si B dengan alasan
ingin mendapatkan sikap etisnya−memperoleh
keuntungannya sendiri. Keributan tak bertepi akan menghiasai masyarakat yang
berpegang pada sikap etis demikian.
Negara menjadi tidak
dibutuhkan, karena hadirnya negara akan merumuskan aturan-aturan yang membuat
warga tidak bebas dalam mengejar utilitas hidupnya. Etika demikian cocok dengan
negara-negara liberal.
Dari paparan diatas, tawadu’
mencoba memberi sela bahwa individu maupun kelompok di depan hukum harus
merendahkan hati (equality before the law). Tidak hanya dalam arti
menerima kekalahan sebagaimana si A menerima kekalahannya dari si B dalam
pemilu. Tetapi juga tunduk untuk menyelesaikan secara hukum setiap kecurangan
yang terjadi di lapangan. Penegak hukum juga tawadu’ untuk memproses
perkara sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu arti penting tawadu’
sebagai suatu ketundukan.
Tawadu’ menjadi semakin
kontekstual dengan masyarakat Indonesia, karena kita adalah bangsa yang
berbudaya, bangsa yang memegang teguh nilai-nilai kehidupan tanpa harus kaku
dengan produksi hukum-hukum yang kian membuat hidup semakin sesak. Bangsa
Indonesia memiliki sikap hormat dan rendah hati terhadap orang lain.
Dengan demikian, tidak ada
kebebasan yang hilang atau terenggut oleh orang lain, karena pilihan sikap tawadu’
lahir dari suara hati masyarakat. Berarti pilihan si A untuk tunduk pada hukum−mengakui kekalahan−adalah pilihan bebas
bukan paksaan, pun pilihan si B untuk membiarkan proses dugaan kecurangan di
proses secara hukum juga sebuah kehendak bebas, karenanya si A dan si B
sama-sama memperoleh kebebasan.
PENUTUP
Persoalan
etika politik di bangsa ini perlu dipikirkan secara serius, berbagai khazanah
dan nilai-nilai perlu dibuka dan dikaji sebagai satu upaya menemukan pola etis
berpolitik yang paling tepat. Tepat bukan berarti tanpa kelemahan atau
kemungkinan disalah artikan, tetapi tepat dalam arti paling flexible
terhadap situasi politik di negara ini.
Maka, tentu yang memiliki
kemungkinan tepat adalah nilai-nilai etis yang berasal dari kekayaan tradisi
bangsa itu sendiri. Tidak salah jiwa tawadu’ ditawarkan sebagai alternatif diskursus etika ditengah gejolak etika
yang kian runyam di negara ini. Karena tawadu’ adalah nilai etis
pesantren yang sudah menubuh di dalam masyarakat Indonesia selama puluhan
tahun. Semoga tawadu’ sebagai tawaran etis dapat menjadi satu
kekayaan pembahasan etika di dalam negara yang masih terus berupaya menemukan
rumusan etis yang paling tepat.
#filsafatmazhabkepanjen
[1]
Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, & Richard T. Nolan. (1984). Persoalan-Persoalan
Filsafat (Living Issues in Philoshopy). Diterjemahkan H.M. Rasjidi.
Jakarta: Bulan Bintang., hal 141
[2]
Franz Magnis-Suseno. (2005). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Jogjakarta: Kanisius., hal 14
[3]
Budiono Kusumohamidjojo. (2013). Filsafat Yunani Klasik: Relevansi Untuk
Abad XXI. Yogyakarta: Jalasutra., hal 168.
[4] A.
Setyo Wibowo. (2015). Platon: Xarmides (Kugaharian). Yogyakarta:
Kanisius., hal 8
[5] A.
Setyo Wibowo. (2010). Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta:
Kanisius., hal 45
[6]
Aristoteles. (2004). Nicomachean Etchis. Diterjemahkan oleh Embun
Kenyowati. Jakarta: Teraju (PT Mizan Publika)., hal 5.
[7] Op.Cit.
Kusumo Hamidjojo., hal 284.
[8]
Dikutip dari Budi Hardiman (Editor). (2010). Ruang Publik: Melacak
“Partisipasi Demokratis” dari Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta:
Kanisius., hal 81
[9]
Imanuel Kant. (2004). Dasar-Dasar Metafisika Moral. Diterjemahkan oleh:
Robby H. Abror. Jogjakarta: Insight Reference., hal 121
[10]
Franz Magnis-Suseno. (2005). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Jogjakarta: Kanisius., hal 148
[11]
http://jalandakwahbersama.wordpress.com/2009/06/09/tawadu’-rendah-hati/
[12]
Dikutip dari braninly.co.id/tugas/82195.
[13]
Ibnu Atha’illah al-Iskandari. (2014). Al Hikam. Diulas oleh: Syekh
Abdullah asy-Syarkawi al-Khalwati. Jakarta: Turos., hal 315
[14]
Bab ini diterjemahkan dan menjadi buku dengan judul Metode Menjemput
Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan. (2014). Penerjemah: Haidar Bagir.
Bandung: Mizan., hal 10
[15]
Toshihiko Izutsu. (2015). Sufisme: Samudra Makrifat Ibn `Arabi.
Diterjemahkan oleh: Musa Kazim & Arif Mulyadi. Bandung: Mizan., hal 44
[16]
Dikutip dari pengentar kitab Al Hikam. Penerjemah: Imam Firdaus.Jakarta:
Turos., hal xiii
[17]
Kutipan ini diambil dari video wawancara Andy F. Noya dengan Gus Dur dalam
acara talk show Kick Andy MetroTV.
[18]
Mencalonkan Diri Menjadi Rais Aam Bukan Tradisi NU, dalam
NU.Online.or.id
[19]
Faisal Baasir. (2003). Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., hal 3
0 Komentar