Oleh:
Herlianto A, santri STF Al Farabi Malang
Salah satu khazanah filsafat Yunani adalah peninggalan akan kerangka-kerangka filsafat dan logika yang terus dikembangkan hingga abad modern ini. Salah satunya adalah soal apa itu kebajikan. Perbincangan tentang kebajikan (virtue) diulas dalam bentuknya yang masih virgin dalam dialog Meno oleh Platon. Tulisan ini menghadirkan bagaimana perdebatan sengit berlangsung antara Meno dan Sokrates, sang tokoh utama di ring dialog. Dan bagaimana akhirnya Platon menunjukkan apa sebenarnya kebajikan itu.
Sebuah Preview
Sebagai
pukulan jap-jap awal, dialog ini dibuka dengan tokoh Meno yang mempertanyakan
apakah kebajikan diperoleh dengan pembelajaran (teaching) atau praktik (practice),
didapat secara alamiah atau melalui upaya belajar? Menjawab pertanyaan ini,
sebagaimana gaya dialog Sokrates, ia menghindar dan menyatakan tidak tahu
apa-apa. Lalu mengajak Meno untuk mendiskusikan secara lebi sengit lagi apa itu
kebajikan, dengan mempertimbangkan kembali ujaran-ujaran Gorgias, salah seorang
tokoh sophis yang terkenal sebagai pengujar kebajikan di Athena.
Meno
melontarkan beberapa definisi kebajikan yang cukup telak, namun dengan caranya
yang khas, Sokrates memproblematisasi setiap definisi sehingga tampak kelemahan
dari setiap definisi yang diajukan. Lalu Meno mengajukan jawaban definisi
berbeda sebagai pukulan dari sisi yang lain, tetapi dihalau lagi dengan “double
cover” yang rapat oleh Sokrates, dan begitulah seterusnya jual-beli argumen
berlangsung hingga seakan tak ada definisi tentang kebajikan yang dicapai dalam
diskusi itu. Diskusi seakan mengalami jalan buntu tanpa kesimpulan (aporetik).
Walaupun pada akhirnya Sokrateslah pemenangnya, karena ia berhasil menunjukkan
bahwa tak ada satu orangpun yang paling tahu dan benar dalam mendefinisikan
kebajikan.
Jual-Beli Argumen
Selama
proses dialog, Meno melepaskan tiga definisi penting tentang kebajikan. Dalam
definisi pertama, dia menautkan antara manusia dengan kemampuan mengatur
negara, serta dalam menata negara bagaimana mengayomi kawan-kawannya dan
menumpas lawan-lawannya. Dia berkata:
Mula-mula, mari kita mulai dari kebajikan
seorang manusia (laki-laki)−dia harus mengetahui bagaimana mengatur negara.
Dalam pemerintahannya (administration) menguntungkan teman-temannya dan
mengancam lawan-lawannya; dia juga harus berhati-hati untuk tidak menjerumuskan
dirinya dalam mara bahaya. Sementara kebajikan seorang wanita, jika kamu ingin
mengetahui tentangnya, juga dapat dideskripsikan dengan mudah: tugasnya adalah
untuk mengatur rumah, dan menjaga apa yang ada di dalamnya, serta mematuhi
suaminya.[1]
Jawaban
pertama ini disayangkan oleh Sokrates sebagai jawaban yang tidak tepat sasaran,
karena membelah-belah kebajikan pada laki-laki dan perempuan. Padahal
sebetulnya yang dipersoalkan adalah apa itu kebajikan, bukan bagian-bagian
kebajikan. Yang ditanyakan adalah tawon tetapi Meno menjawab dengan ada
sekerumunan tawon, demikian Sokrates. Meno kemudian beranjak pada definisi
kedua: bahwa kebajikan adalah kekuatan untuk mengatur umat manusia (virtue
is the power of governing mankind).
Namun
“upper cut” ini juga berhasil ditangkis oleh Sokrates dengan mempertanyakan
apakah kekuatan mengatur ini ada pada semua orang. Jika iya, berarti anak boleh
mengatur orang tuanya, hamba boleh mengatur junjungannya, dan budak dapat
mengatur tuannya. Tetapi jika tidak, maka berarti definisi ini tidak berlaku
umum.[2] Definisi kedua
mengalami sebuah dilema.
Katakanlah
jawaban pertama dan kedua sebagai satu upaya awal, namun, menurut Sokrates,
tetap saja problematis karena dalam mengatur negara dan manusia memerlukan
karakter lainnya yaitu kesederhanaan, keadilan, keberanian, dst. Pertanyaannya
apakah kesederhanaan, keadilan, dst adalah “sebuah kebajikan” atau “kebajikan”?
Jika “sebuah kebajikan”, maka “mengetahui bagaimana mengatur negara” bukan
kebajikan (dalam arti universal) melainkan sebuah kebajikan saja (partikular).
“Mengetahui
bagaimana mengatur negara” tidak mesti berarti kebajikan. Karena itu perlu
definisi yang lebih umum yang dapat mencakup semua
partikularitas-partikularitas kebajikan. Sehingga kebajikan sebagai genus dari
spesies berbagai “sebuah kebajikan” seperti “mengetahui mengatur negara”,
keadilan, kesederhanaan, keugaharian, keberanian, rasa persahabatan, kesalehan,
dst.
Sokrates
melontarkan “hook” kanannya dengan analogi lingkaran sebagai “sebuah gambar” dan
bukan “gambar”, karena masih banyak lagi gambar-gambar lainnya: segitiga, segi
empat, trapesium, dst. Atau putih sebagai “sebuah warna” bukan “warna”, karena
masih banyak warna-warna yang lain. Jadi lingkaran adalah bukan gambar
melainkan sebuah gambar, dan putih adalah bukan warna melainkan sebuah warna.
Dengan proses logika yang sama, maka keadilan adalah bukan kebajikan melainkan
sebuah kebajikan, begitu juga keberanian adalah bukan kebajikan melainkan
sebuah kebajikan, dst. Lalu apa itu kebajikan itu sendiri?
Sokrates
ingin mendapatkan jawaban yang mencakup dalam arti kesatuan dalam keragaman (simile
in multis) yang menyeluruh, yaitu kebajikan yang mencakup semua
varian-variannya: keadilan, keberanian, keugaharian, kesederhanaan, dst? Bagi
Sokrates mestinya kebajikan mencakup berbagai “sebuah kebajikan” dan bukan
sebaliknya.
Jadi
universalitas yang mencakup semua partikularitas, bukan sebaliknya
partikularitas membungkus universalitas. Karena mendefinisikan kebajikan dengan
“sebuauh kebajikan” (keadilan, keberanian, keugaharian, dst) adalah tidak tepat
dan kesalahan logis. Meno mencoba memberikan definisi kebajikan ketiga yang
menurutnya sudah universal yaitu:
Kebajikan sebagaimana aku
pahami adalah ketika dia berhasrat pada pujian, dan dapat mencapainya untuk
dirinya sendirinya; begitulah pujangga mengatakan dan aku setuju−“kebajikan
adalah hasrat akan sesuatu yang terpuji dan kekuatan untuk memperolehnya.”[3]
Sokrates
menggiring lagi definisi ini pada satu problematika. Dia memetakan jawaban itu
menjadi dua premis yaitu: “hasrat akan sesuatu yang terpuji” dan “kekuatan
untuk memperolehnya” untuk memudahkan dalam menganalisa. Dia kemudian menyoal
pada premis pertama dengan pertanyaan apakah dia yang berhasrat pada pujian
menginginkan kebaikan atau keburukan? Bagaimana memastikan yang diinginkan
sebagai yang terpuji?
Dari dua
pertanyaan ini Sokrates kemudian menunjukkan bahwa keburukan itu kadang adalah
kebaikan bagi yang menginginkannya karena menguntungkan. Malah banyak yang
melakukan keburukan tetapi menganggap diri telah melakukan kebaikan. Sampai
disini “sesuatu yang terpuji” menjadi tidak jelas standarnya.
Kemudian
Sokrates melanjutkan analisnya pada premis kedua: “kekuatan untuk
memperolehnya”. Pertanyaannya, apakah kekuatan yang digunakan untuk memperoleh
kebaikan? Apakah keadilan, keugaharian, keberanian dan seterusnya senantiasa
menyertai dalam memperoleh kebaikan itu? Maka tentu saja jawab Meno,
karena mana mungkin ada kebajikan tanpa digapai melalui cara yang baik.
Disinilah Sokrates kembali menemukan kelemahan premis Meno yang kedua ini. Jika
apa-apa yang digapai dengan keadilan adalah kebajikan, berarti sama saja dengan
menempatkan keadilan sebagai kebajikan.
Padahal
diawal sudah ditentang bahwa keadilan dan sejenisnya bukan “kebajikan”
melainkan “sebuah kebajikan”, tidak bisa setiap tindakan yang dilakukan dengan
satu bagian kebajikan lantas menjadi kebajikan itu sendiri. Artinya Meno belum
beranjak dari definisi awalnya tentang kebajikan yang masih partikular, dengan
demikian dia tidak menemukan definisi kebajikan yang universal.
Sampai
disini diskusi soal kebajikan sebetulnya berakhir secara aporetik. Meno
kemudian menyarankan Sokrates untuk tidak keliling Athena karena banyak orang
yang tidak suka dengan cara diskusi “abai Sokratek” ala Sokrates. Dan jika
dipaksakan akan membahayakan nyawa Sokrates sendiri.
Hasil Akhir
Kita
masih pada pertanyaan awal: apa kebajikan itu? Kita sebagai pembaca tidak akan
menemukan definisi Sokrates yang eksplisit soal kebajikan dalam dialog-dialog
Platon. Apakah Platon tidak punya definisi kebajikan dari Sokrates? Tidak
demikian jelasnya. Karena lewat dialog Meno, Platon secara implisit
menempatkan cara-cara Sokrates sebagai kebajikan itu sendiri. Sokrates
menyatakan demikian:
Temanku, jangan berharap bahwa kita dapat
menjelaskan pada orang lain tentang hakikat kebajikan sebagai keseluruhan
melalui bagian kebajikan yang tak terjelaskan, atau juga tidak bisa menjelaskan
apapapun dengan sesuatu yang tak terjelaskan; kita hanya dapat bertanya lagi
dari keseluruhan pertanyaan tadi, apa itu kebajikan? Apakah aku salah?[4]
Jadi,
kebajikan—sebagaimana dicitrakan lewat sosok Sokrates—adalah menunjukkan diri
bahwa dirinya tidak tahu. Kebajikan bukanlah sok tahu tetapi sebetulnya tidak tahu.
Itulah posisi Sokrates terhadap setiap orang yang merasa paling tahu dan paling
bijak, dan akhirnya tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa tentang
kebijakan, seperti Meno. Itulah kebajikan yang sesungguhnya yang telah
ditunjukkan oleh Platon dalam dialog Meno ini.
#filsafatmazhabkepanjen
[1] Let us take first the virtue of a man—he should know how to
administer the state, and in the administration of it to benefit his friends
and harm his enemies; and he must also be careful not to suffer harm himself. A
woman’s virtue, if you wish to know about that, may also be easily described:
her duty is to order her house, and keep what is indoors, and obey her husband.
(Meno, diterjemahkan Benjamin Jowett)
[2] Tatanan masyarakat dimana Plato hidup adalah masyarakat perbudakan
dimana budak harus patuh pada majikan yang memilikinya. Dengan mengembalikan
pada realitas seperti ini maka Sokrates menyerang definisi Meno tentang
kebajikan
[3]
Virtue, as I take it, is
when he, who desires the honourable, is able to provide it for himself; so the
poet says, and I say too—‘Virtue is the desire of things honourable and the
power of attaining them.’(Meno)
[4] My friend, do not suppose that we can explain to any one the
nature of virtue as a whole through some unexplained portion of virtue, or
anything at all in that fashion; we should only have to ask over again the old
question, What is virtue? Am I not right? (Meno)
0 Komentar