Oleh: Herlianto A, penikmat kopi
Tradisi ngopi sudah menubuh
dalam kebudayaan kita sejak kopi masuk Indonesia tahun 1690-an. Ngopi dimaknai
tidak hanya sekedar minum kopi lalu selesai. Lebih dari itu, sebagai aktivitas
kolektif-solidaritas antar masyarakat, bahkan ada pencerahan pemikiran di
dalamnya. Itulah sebabnya, galau sedikit anak muda sekarang langsung lari ke
warung kopi bermaksud mencari pencerahan. Memang saat ngopi sering diselingi
tukar pendapat dan informasi, baik yang sifatnya remeh-temeh, misalnya soal
patah hati, diselingkuhi pacar, telat bayar kos dan seterusnya, hingga soal
yang sangat serius, tentang perlawan dan revolusi.
Sejak mula−sebelum
hingar-bingar kota mewarnai kehidupan negeri ini−orang-orang di pelosok desa
memperaktikkan ngopi semacam itu juga. Dilakukan secara berulang, hingga
menjadi satu tradisi. Konon tokoh-tokoh revolusi Indonesia seperti Sukarno, M.
Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, M. Yamin dan H. Agus Salim juga hobi ngopi.
Dalam forum-forum perbincangan kecil mereka sering didapati sembari minum kopi.
Dalam kebudayaan Barat
tukar-menukar opini dan gagasan saat ngopi juga lumrah. Misalnya kebiasaan para
cendekiawan Perancis sejak abad ke 17, salah satu tempatnya adalah Café
d’Alexandre. Dari kebiasaan ini melahirkan gerakan spektakuler abad itu, yang
kita kenal enlightenment (pencerahan) yang kemudian membidani
revolusi Perancis
Filsuf dalam Sejarah Kopi
Dalam sejarah dunia, ngopi[1] sebagai
aktifitas pertukaran intelektual sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak kopi
di bawa dari Ethiopia sampai ke tanah Eropa pada abad ke 16. Masyarakat di Benua Afrika, terutama
bangsa Ethiopia,
memang suka mengkonsumsi kopi. Mereka biasanya mencampur biji kopi dengan lemak hewan dan anggur untuk
memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuhnya.
Pada abad ke 13-14 muslim di Arab juga sudah mengkonsumsi kopi dalam bentuknya
yang konvensional. Konon filsuf Islam ternama yang juga ahli kedokteran, Ibnu
Sina, pernah meneliti zat kimia yang terdapat dalam kopi. Hasilnya menjadi
dokumen pertama yang menyelidiki kopi untuk kesehatan.
Kedai kopi pertama dunia
di buka di Ottoman Turki (Konstantinopel) yang di beri nama Kiva Han tahun
1475. Tetapi pada tahun 1600 Paus Clement VII melarang umat Kristiani
mengkomsumsi ataupun memperdagangkan kopi, karena dianggap berasal dari
imperium Ottoman Turki yang merupakan musuh bebuyutan umat Kristen waktu itu.
Aktifitas ngopi dianggap bid’ah. Namun pasca itu ngopi kembali
disenangi masyarakat.
Dalam tradisi Eropa ngopi juga
menjadi aktifitas populer. Misalnya Coffe House di London didirikan
pada tahun 1652 yang pada abad ke 17 mengalami perluasan hingga ke Jerman dan
Prancis[2].
Setelah itu Café d’Alexandre berdiri di Paris Perancis. Cafe
ini menjadi tempat nongkrong Montesquieu (1689-1778), J.J. Rousseau
(1712-1778), Voltaire. Disitu mereka juga menghisap cerutu. Selain itu
d’Holbach juga sering hadir di warung kopi itu untuk memaparkan filsafatnya.[3] Dari
sini gagasan pencerahan (enlightenment) Perancis dikembangkan dan diperdalam
maknanya. Sejak masa itu ngopi menjadi tradisi yang berdampingan dengan
pemikiran. Ngopi dan warung kopi menjadi arena pertukaran wacana dan
pengetahuan.
Sumbu Gerakan Perlawanan
Dalam sejarah bangsa ini,
ngopi juga menempati bagian penting. Zaman Orde Baru, kebebasan
berekspresi dan berdikusi dibredel dan komunitas-komunitas kritis dibungkam
dengan tuduhan subversif. Aktivitas kampus disterilkan dengan menyebar
intelijen bagai “CCTV” yang terus memata-matai para aktivis. Bermacam jenis
mata-mata berpatroli di sudut-sudut kampus mengintip dan menguping segala
bentuk aktifitas kritis mahasiswa. Setiap jengkal perkembangan gerakan
mahasiswa direkam dan dilaporkan pada rezim, untuk ditindak lanjuti dengan
berbagai langkah, pembubaran dan penculikan. Situasi demikian membuat para agen
perubahan tidak bebas mencipta perubahan, tak ada ruang untuk menyampaikan
aspirasi rakyat. Tak ada edukasi, advokasi dan mobilisasi terhadap massa.
Mereka yang sadar akan
perubahan, mencari “jalan lain”. Dan ruanya warung kopi atau sebatas lesehan
yang menjadi pelarian mereka untuk melanjutkan pembahasan yang belum tuntas
soal strategi melawan rezim tangan besi Suharto. Para agen perubahan yang masih
bertabur idealisme itu merasa enjoy di tempat kurang higinis itu.
Tokoh-tokoh perlawanan seperti Hariman Siregar dan kawan-kawannya sering ngopi
di kawasan Tanah Abang Jakarta. Mereka merumuskan perlawanan terhadap penanaman
modal asing. Yang kemudian melahirkan peristiwa Malari 1974, penentangan
terhadap penanaman modal asing, serta menolak kedatangan perdana menteri
Jepang, Kakue Tanaka. Tokoh-tokoh mahasiswa lainnya juga melakukan hal yang
sama.
Sebelum pejuang-pejuang
Trisakti dan Semanggi I & II mengibarkan bendera perlawanan dan tewas,
mereka memulainya dari warung kopi. Ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok,
diskusi pun dibuka. Bersama kepulan asap dan lengketnya cethe kopi,
mereka memaparkan satu demi satu derita bangsa dan tangisan rakyat dalam
genggaman orba sampai detail. Masyarakat atau pemuda yang sebelumnya hanya
datang untuk sebatas killing time di warung kopi, ternyata mendapat
sesuatu yang berarti yaitu soal nasib bangsa dan nasib dirinya.
Perbincangan tidak hanya
terjadi sekali, membuat pemahaman terhadap peta permasalahan negeri kian utuh
dan komprehensif. Sirkulasi pembeli di warung yang silih berganti menjadi jalan
menyebarnya isu-isu siapa yang harus dilawan dan bagaimana melawan. Perbedaan
strata sosial berhasil dinetralisir oleh adukan segelas kopi susu kental.
Semuanya terpadu dalam satu tujuan tak ada lagi kasta. Suharto sebagai common
enemy adalah tujuan kolektif. Puncaknya adalah perlawanan mereka pada 21
Mei 1998.
Dengan demikian nalar kritis
tak mesti lahir dari tempat yang mewah. Sikap kritis diasah di tempat yang
tidak wangi dan tidak sehiginis ruang kelas perkuliahan saat ini. Ruang tanpa
AC, tanpa karpet, tanpa LCD dan tanpa gemerlap lampu. Melain ruang alam yang
dinginnya menyusup ke tulang itu justru yang membangkitkan kesadaran. Mari
Ngopi dulu!
#filsafatmazhabkepanjen
[1] Sumber
Wikepedia dan http://www.facebook.com/topic.php?uid=113383569065&topic=11708.
Kopi adalah tumbuhan beri-beri yang menjadi makanan sehari-hari kambing. Khalid
seorang pengembala domba berkebangsaan Ethiopia pada tahun 800 SM menemukan
kopi.
[2] F.
Budi Hardiman. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007., hal 99.
[3] F.
Budi Hardiman., hal 103.
0 Komentar