Memanusiakan Sains Melalui Sosio-Epistemologi

Oleh: Herlianto A


Sejak renaisan dikumandangkan, perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi terus menanjak ke puncak yang tak pernah terduga sebelumnya. Kehidupan manusia di bumi menjadi serba teknologi, bahkan beranjak menjadi teknologisme yang dikonstruk sebagai ideologi. Sains kemudian membuat ukuran tunggal: postivisme dan objektivisme. Tentu saja nilai mistis dan spritualitis manusia tidak dinegasikan. Alhasil aspek subjektif manusia yang sifatnya dinamis dan penuh misteri “dihilangkan paksa”. Manusia menjadi gersang dan mengalami keterasingan di rumahnya sendiri: bumi.  

Kemajuan ilmu pengetahuan tidak otomatis membuat kehidupan manusia beradab, bermoral dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sebaliknya, kehidupan didera oleh krisis kemanusian dan moralitas. Ilmu pengetahuan mengambil jarak dari kehidupan sosial manusia, seakan ia memiliki tempatnya sendiri yang tidak berhubungan dengan nilai-nilai kesosialan. Dengan demikian, menyisakan dua lokus yang terpisah antara kehidupan sosial satu sisi dan sains disisi lain.


Uniknya, sains dikembangkan oleh manusia tetapi dalam prakteknya dipisahkan dari kekhasan kemanusiaan. Sehingga yang terjadi adalah penindasan, gigantisme kekuasaan, eksploitasi, dan kejahatan lainnya yang sebenarnya ditolak oleh spirit berpengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menjadi begitu transendental dan tak menyentuh kehidupan manusia yang imanen. Epistemologi tidak linear dengan aksiologi.

Dualitas inilah yang ingin didamaikan oleh Aholiab Watloly dalam buku Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial. Ia bertekat—melalui kerangka teori komunikasi intersubjektif Jurgen Habermas—menurunkan sains dari “langit” ke “bumi”, mengimanensiskan transendensi sains dan menaburnya pada kehidupan bermasyarakat sembari memberi kritik “pedas” pada beberapa kerangka teoritis—abad pencerahan yang positivistis—yang dinilai tak bermuatan kemanusiaan.

Secara sederhana Sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial) melanjutkan epistemologi dengan cara “mempertautkan antara kategori-kategori filsafat yang bersifat normatif transendental (rasional, normatif, dan objektif) dengan kategori-kategori sosial (setting sosial) yang bersifat imanen (realistik, hipotetis, dan berkemajemukan) dalam rangka praxis kemanusiaan”[hal 69]. Di sinilah arti penting buku ini bagi sidang pembaca.

Benih Sosio-epistemologi

Secara historis, menurut Aholiab Watloly, Sosio-epistemologi melalui tahapan-tahapan tertentu. Benihnya sudah terbuahi sejak pemikiran Karl Marx booming. Fatwa terkenalnya dalam Theses on Feurbach bahwa filsuf tidak hanya memikirkan dunia tetapi bagaimana mengubahnya adalah jauh lebih penting. Namun Aholiab Watloly menilai Marx masih kental dengan muatan positivisme, misalnya kerangka materialisme historisnya masih menempatkan ekonomi sebagai basis yang determinan terhadap suprastruktur: politik, pendidikan, kebudayaan, dan seni. Jadi semacam masih ada hukum “besi dunia”: ekonomi menentukan segalanya.

Tahap balitanya, ditemukan dalam filsafat kritis (mazhab Frankfurt: red), pengampunya adalah Max Horkheimer (1895-1973) dan Theodor W. Adorno (1903-1963). Dua orang ini mula-mula memisahkan “Teori Tradisional” dan “Teori Kritis”. Disitu dogmatisme atas positivisme sains yang dihasilkan abad renaisan digugat habis. Teori tradisional yang menempatkan pengetahuan manusia bersifat ahistoris, dan menganggap teori-teorinya bebas dari kepentingan manusia adalah jelas memisahkan antara teori dan praxis. Karena itu teori tradisional berpotensi menjadi ideologisme lantaran menganggap diri absolut, universal, netral serta dapat berlaku kapan saja dan dimana saja. Dalam “Dialectic of Enlightenment” kedua tokoh mengutuk metodologisme sains sebagai mitos baru dimuka bumi ini.

Teori tradisional yang anti praxis tak akan mengubah keadaan apapun, untuk itu harus dilawan dengan teori kritis yang sekaligus menjadi inti Sosio-epistemologi kedua tokoh tadi. Teori kritis setidaknya dicirikan oleh empat hal: pertama, kritik imanen pada realitas masyarakat. Kedua, kritis terhadap diri sendiri agar tidak terjerembab ke dalam ideologi. Ketiga mencurigai masyarakat aktual dan ideologi-ideologi. Keempat menekankan maksud praktisnya [hal 167-168]. Jadi teori kritis hendak mentautkan antara teori atau Hegelianisme yang bernuansa historis di satu sisi dan praxis ala Marxis di sisi lain.

Kerangka “balita” ini kemudian dikuatkan oleh Herbert Marcuse (1898-1973), tokoh mazhab Frankfurt lainnya. Dia menyatakan bahwa “dalam masyarakat industrial modern kebebasan manusia menjadi terbelenggu di dalam rasionalisasi yang semakin sempurna dalam teknologi” [hal 185]. Artinya masyarakat industri dipahami sebagai rasionalitas teknologis.

Alhasil, sebagaimana dinyatakan dalam magnum opus-nya One-Dimensional Man, manusia hanya dilihat sebagai satu dimensi yaitu dimensi fisik-teknologis. Kehidupan diukur dari seperapa canggih teknologi yang digunakan bukan seberapa jauh memanusiakan manusia. Inilah ruang kapitalisme mengembangkan diri seluas mungkin. Manusia kemudian menjadi budak teknologi dan lagi-lagi tak ada emansipasi pada manusia sebagai manusia dengan segala enigmanya.

Hebermas: Sang Pendekar

Jürgen Habermas, generasi kedua mazhab Frankfurt adalah tokoh penting dalam Sosio-Epistemologi. Dialah yang memberi makan, mendidik dan membesarkan Sosio-epistemologi. Filsuf Jerman ini tidak hanya melakukan kritik terhadap para pendahulunya yang bercorak positivistis tetapi juga merumuskan secara metodelogis bagaimana Sosio-epistemologi mestinya diterapkan.

Dia menata perkembangan Sosio-epistemologi secara kronologis. Pertama, ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis, dimana ilmu—yang dikenal sebagai temuan-temuan ilmiah—hanya menyajikan hasil penyelidikannya untuk kepentingan-kepentingan manusia. Menurutnya pemikir semacam Hegel dan Marx berada pada posisi ini.

Kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis yaitu “ilmu tidak hanya sekedar menyelidiki dan menghasilkan tetapi memahami manusia sebagai manusia yang memiliki sesama dan hubungan-hubungan sosial aktual yang dinamis”[hal 215]. Pendekan yang digunakan bukan eksperimen melainkan interpretasi terhadap pengalaman-pengalaman pra-ilmiah, semacam pengalaman harian misalnya. Sehingga hasilnya adalah kemampuan berkomunikasi, saling pengertian, dan saling memahami. 

Ketiga, ilmu-ilmu kritis yang memiliki kepentingan emansipatoris. “Ilmu kritis berusaha membongkar penindasan dan mendewasakan manusia melalui otonomi dirinya sendiri” [hal 216]. Otonomi diri dalam arti self reflexion (refleksi diri). Pada tahap ini, ilmu pengetahuan terbebas dari kepentingan ideologis yang mengalienasi manusia. Manusia berada pada kesadaran kritis yang tidak hanya memahami sebab-sebab ketertindasannya tetapi juga berupaya terbebas dari kungkungan tersebut. Dan inilah tahapan dewas Sosio-epistemologis menurut Aholiab Watloly.

Ilmu kritis menempatkan manusia sebagai subjek-subjek yang menentukan dirinya dengan segala keunikan dan kemistikan dirinya. Disinilah komunikasi rasional hadir yang melibatkan manusia secara intersubjektif. Pendekatan ini membuat Habermas “berusaha membangun dan menghidupkan struktur-struktur sosial atau struktur komunikasi dari rasio itu sendiri. Caranya adalah dengan menunjuk pada aspek intersubjektivitasnya yang ditampilkan dalam kehidupan sosio-kultural yang selama ini telah dibelenggu dibawah realitas tekanan rasio teknologis.” Masyarakat rasional adalah masyarakat yang mampu membebaskan diri dari kenikmatan rasio teknologis.

Jadi komunikasi intersubjektif menjadi sebentuk appresiasi pada kemanusiaan subjek dalam pergulatannya dengan teknologi dimana mereka diberi ruang untuk saling bertukar gagasan dan kepentingan yang muaranya adalah lahirnya konsensus. Situasi macam ini oleh Habermas disebut ruang publik (public space).

Proses Konsensus

Bagaimana proses komunikasi intersubjektif itu membuahkan konsensus? Untuk menjawab ini Habermas merumuskan beberapa tahapan komunikasi yang dilalui oleh setiap subjek. Pertama, komunikasi praktis yaitu perbincangan yang bernuansa pra-ilmiah atau sekedar tukar menukar gagasan dalam bahasa keseharian. Kedua, perbincangan penuh yang mengarah pada pembentukan diskursus.

Tahap ini merupakan tahap mempersoalkan kebenaran sehingga isinya adalah argumentasi-argumentasi penguat terhadap gagasannya. Jika tahap pertama merupakan “konsensus sosiologis” maka tahap ini bernuansa “konsensus epistemologis”. Ketiga, perbincangan formal menuju wacana teoritis. Pada wilayah ini menggunakan prosedur dan metodis untuk menemukan substansi kebenaran. Dan inilah puncak konsensus yang sebenarnya.

Dengan demikian pengetahuan tidak semata lahir dari yang berkuasa atau yang memiliki kepentingan tertentu saja, melainkan dari keseluruhan subjek yang telah bersepakat. Kepentingan-kepentingan sepihak dapat dinetralisir melalui proses konsensus yang telah dibentuk melalui forum intersubjektif yang rasional. Tak ada nilai-nilai kemanusiaan yang diabaikan demi perangkat teknologis. Dengan begitu Hebermas ingin memanusiakan sains melalui Sosio-epistemologi, yaitu bahwa manusia bukan hanya mahluk fisik tetapi juga metafisik karenanya pengetahuan harus diturunkan dari langit positivistik ke bumi sosial, pengetahuan harus berwatak sosial.

Catatan Kritis: Rekayasa Komunikasi

Pendekatan Sosio-epistemologi yang ditulis oleh Aholiab Watloly ini pada dasarnya adalah anti-fondasionalisme terhadap pendekatan-pendekatan gersang sains di abad pencerahan yang terlalu positivistik. Sebagai suatu upaya baru terwujudnya kemanusiaan, tentu saja Sosio-epistemologi patut diapresiasi. Namun demikian pendekatannya juga patut kita dalami, khususnya pendekatan intersubjektif yang bermuara pada konsensus sebagaimana dinyatakan Habermas.

Dalam perkembangan kapitalisme modern, pendekatan konsensus atau public space berpotensi disalahgunakan. Abuse ini muncul karena tidak mungkin menemukan subjek-subjek yang setara dalam arena komunikasi intersubjektif. Subjek-subjek yang hadir selalu subjek berkelas, misalnya tataran buruh dengan majikan. Maka pertanyaannya, dari posisi subjek yang tidak setara ini mungkinkah lahir konsensus yang adil yang cover both side?

Tentu saja subjek kelas atas akan mendominasi atau yang banyak mengambil inisiatif dari komunikasi. Sehingga kelas bawah tidak menyadari bahwa dirinya mengalami rekayasa komunikasi yaitu bahwa kelas atas dapat membenarkan penindasannya dengan alasan telah melalukan konsensus dengan kelas bawah. Dan sejauh ini, itulah yang terjadi. Berkali-kali buruh melakukan konsensus dengan borjuis tetapi tetap saja buruh berada pihak yang tertindas.

Biodata Buku

Judul               : Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial
Penulis             : Aholiab Watloly
Penerbit           : Kanisus
Tahun              : 2016
Tebal               : 439 halaman
ISBN               : 978-979-21-3458-2


 #filsafatmazhabkepanjen

Posting Komentar

0 Komentar