Oleh:
Herlianto A, santri STF Al Farabi Malang
Harus
diakui dengan jujur bahwa studi filsafat dalam arti formal kurang diminati oleh
generasi muda kekinian. Terbukti jarang sekali universitas di Indonesia membuka
jurusan filsafat, tidak seperti jurusan yang lain macam ekonomi syariah,
akutansi, manajemen, teknik, ilmu pemerintahan dan seterusnya. Kalaupun ada
universitas yang membuka, mahasiswa yang masuk sangat sedikit jumlahnya
dibanding beberapa jurusan yang lain.
Itupun
pemuda-pemudi yang bisa dibilang mengambil langkah berani terhadap pilihannya
untuk studi filsafat dalam rangka meningkatkan kapasitas intelektualnya. Memang
di kalangan masyarakat kita, filsafat dengan segala pendekatan rasionalnya
masih dihujani stigma negatif, mulai dari yang berangkat dengan perlawanan
teologis semacam rasio harus dibatasi karena berbahaya terhadap keyakinan
keagamaan hingga yang nuansanya praktis semacam jurusan filsafat tidak
laku bagi perusahaan, sarjana filsafat kesulitan mencari kerja.
Menurut
Tan Malaka situasi sosial kemasyarakatan yang anti terhadap filsafat itu memang
diciptakan oleh penjajah pada awalnya. Hujan misktik, tahayul, dan mitos memang
sengaja disiramkan pada generasi oleh para imperialis Belanda agar generasi ini
tak dapat menggunakan rasionya dengan baik. Sehingga mereka tetap saja membeo
dan mau dibodohi. Jadi ada pembunuhan atas rasio (murder of rasionality)
secara besar-besaran di era imperialisme.
Karena
rasio generasi sudah dimatikan maka keinginan untuk melawan juga lenyap.
Disitulah Tan Malaka merasa perlu menulis Madilog—karya orisinil
pemikir Nusantara yang mengajak kita agar tidak mempeti-eskan rasio ini—sebagai
upaya membangkitkan kembali visi berfilsafat masyarakat Indonesia. Madilog
mengajak kita semua agar rasio tidak diparkir, tetapi digunakan untuk berpikir.
Sains Sebagai Onak Berduri
Di
samping itu perkembangan sains juga menjadi lawan terberat filsafat,—walaupun
sains sendiri adalah anak kandung filsafat—tidak hanya di Indonesia tetapi
hampir di seluruh dunia. Bahwa lahirnya sains melalui dunia modern membuat
manusia tidak perlu lagi berspekulasi macam filsafat, karena segala sesuatunya
dapat dibuktikan secara ilmiah dan empiris.
Atom yang
awalnya dijelaskan secara spekulatif oleh Demokritus sebagai benda terkecil
yang tak terbagi, rupanya saat ini sudah dapat diamati dengan indera
menggunakan kaca pembesar. Bagian-bagian pada diri atompun dapat dijelaskan
lebih detail yaitu: nucleus (inti atom) yang dikelilingi oleh proton (positif),
elektron (negatif), dan neutron (netral). Unsur-unsur alam yang dulu hanya
ditemukan empat: air, api, udara, dan tanah, saat ini sudah ditemukan sebanyak
117 unsur di dunia.
Proses
penciptaan dunia yang dulunya dianggap buah tangan Dewa Ra dalam tradisi Mesir
Kuno dan kehidupan diatur oleh para Dewa di masyarakat Yunani, macam Zeus
(penguasa langit), Hades (penguasa neraka), Poseidon (penguasa laut), Hera
(penguasa kecantikan), dan beberapa keturunannya.[1] Kini semua itu dapat
dijelaskan secara ilmiah oleh sains. Adalah dua fisikawan besar, Steven Hawking
dan Edwin Hubble, yang mencoba menjelaskan bahwa dunia tidak diciptakan
melaikan melalui proses yang lain.
Bagi
Hawking dalam theory of everything semesta ini lahir dari black
hole (lubang hitam) yang sangat kecil dan bergerak selama puluhan juta
tahun. Gerak berputar lubang hitam ini bagaikan bola salju yang menarik
benda-benda di sekitarnya sehingga membesar dan pada akhirnya menjadi bumi ini.
Penjelasan Hubble tak kalah menariknya, bahwa pernah suatu ketika terjadi
dentuman besar maha dahsyat yang disebut big bang dari
dentuman itu ending-nya adalah dunia yang kita singgahi saat ini.
Dalam
proses penciptaan manusia juga ditemukan jawabannya oleh sains. Adalah Charles
Darwin (1908-1882) yang menggemparkan dunia melalui buku The Origin of
Spcies, bahwa manusia memiliki kedekatan sel dengan primata. Primata
mengalami evolusi yang panjang dan seleksi alam yang ketat dan pada akhirnya
wujudnya berupa manusia.
Temuan
ini terbongkar setelah pria berkebangsaan Inggris ini melakukan penelitian
dan studi komparasi yang panjang tentang struktur tubuh dan tulang rangka
primata dan manusia. Temuan Darwin dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya macam
Ernest Mayr dengan pendekatan ornitologi yang meneliti burung-burung di Papua.
Bahkan Mayr mendaku bahwa dala setiap tahun terbit sedikitnya sepuluh buku yang
melanjutkan teori Darwin.
Maka,
temuan evolusi ini menggeser peran Tuhan sebagai pencipta manusia ke pojok
tersempit. Orang macam Richard Dawkin menggunakan semua argumentasi sains ini
untuk mendelusikan Tuhan. Dalam buku fenomenalnya The God Delusion,
dia menganggap keyakinan manusia pada Tuhan tak lebih sekedar delusi yaitu
semacam penyakit psikologis. Dia kemudian menyatakan diri atheis.
Di
wilayah psikologi hadir aliran behaviorisme yang menilai kejiwaan manusia dapat
diamati melalui prilakunya yang tampak. Bahwa ada hubungan yang saling
mensimbolkan antara tingkah laku manusia dengan keadaan mentalnya. Orang sedang
ketakutan dengan pura-pura takut dapat dibedakan melalui mengamati prilakunya.
Bahkan psikis manusia dapat diubah melalui pendekatan-pendekatan material dari
luar. Misalnya pemberani, karakter ini bagi behavioris bukanlah bawaan
melainkan bentukan dari situasi sosial dimana manusia itu hidup. Karena itu
mental manusia dapat diamati dan bahkan direkayasa.
Secara
sosial kenyataan ini menginspirasi salah satu pendiri sosiologi yaitu August
Comte (1798-1857). Dia menganggap bahwa masyarakat yang hakiki adalah
masyarakat yang positivistik. Artinya masyarakat yang melihat penyakit flu
bukan karena malaikat, jin atau setan yang membuatnya flu melainkan secara
positif dapat dibuktikan penyebabnya yaitu virus. Sehingga untuk
menyembuhkannya bukan dengan jalan berdoa apalagi pasrah, melainkan minum obat
yang dapat membunuh virus tersebut.
Namun
demikian, lanjut Comte, masyarakat tidak langsung positivistik melainkan
melalui dua tahapan sebelumnya yaitu masyarakat teologis dan metafisis.
Kehidupan teologis, demikian Comte, apabila masyarakat menjelaskan fenomena
dengan merujuk pada kekuatan adi kodrati yang disebut Tuhan atau dewa-dewa.
Mereka menyadari adanya sebab dari suatu fenomena tetapi sebab itu ada di alam.
Sementara
masyarakat metafisis sudah memiliki konsep-konsep tentang sebab melalui
mengabstraksi dari beberapa fenomena namun tak dapat memastikan karakter dari
sebab itu sendiri (apakah Tuhan atau selain Tuhan). Apa yang dibicarakan
sebatas celotehan dari kosakata mental, namun tak dapat diverifikasi, karenanya
tetap saja meaningless. Dan barulah setelah itu pada kehidupan
postivistik dimana segala sesuatu dapat diukur dengan menggunakan indera.
Saintisme membawa filsafat ranah terdasar di bumi ini dan meninggalkan langit.
Beberapa Pertanyaan, Sains Give Up
Mula-mula
perlu ditegaskan bahwa sebetulnya filsafat tidak harus melalui ruang fakultas
di universitas-universitas. Berfilsafat tidak bisa dibatasi oleh ruang kuliah
atau lama studi di kampus, selama kehidupan itu berlangsung maka saat itu juga
filsafat menarik nafas. Meminjam bahasa Hassan Hanafi bahwa filsafat merupakan
sesuatu yang natural yang akan tetap ada selama dunia masih tegak berdiri, dan
selama masih ada satu manusiapun yang bernafas dan berpikir.
Bagi
Hanafi, ada dua elemen menentukan terhadap hidup dan matinya filsafat yaitu
keharusan sejarah (necesitas historis) dan kebebasan manusia. Yang pertama
menyangkut soal hakikat manusia dalam sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa
manusia itu berpikir sekalipun mereka mungkin tidak menyadari kenyataan itu
sebagai berfilsafat, tetapi adalah fakta sejarah bahwa mereka berpikir. Yang
kedua menyangkut adanya ruang dan kesempatan yang diberikan untuk berpikir,
sehingga manusia dapat dengan bebas memaksimalkan nalarnya.[2] Walaupun
sebetulnya tak ada yang membatasi pikiran manusia jika memang ingin digunakan,
kecuali manusia itu sendiri tak mau menggunakan pikirannya atau dibunuh.
Menyangkut
ruang kuliah, bisa dikatakan bahwa berfilsafat sesungguhnya justru di realitas
kehidupan masyarakat. Di sana kehidupan itu—dengan segala macam ornamennya,
seperti persinggungannya dengan agama, tradisi, ideologi, penindas, dan
tertindas, dst—betul-betul dialami secara langsung dan disitulah kebijaksanaan
dipertanyakan. Dalam sejarahnya, Sokrates justru berjalan kaki mendatangi pemuda-pemuda
yang berlatih di sekitar gunung Olimpus serta penjual bakso, dan pedagang
asongan untuk berdialog soal keugaharian, keberanian, kesalehan, keadilan,
hingga kebajikan. Jadi sejak mula dialog filosofis terjadi di pekarangan tak
bergedung.
Kemudian
bagaimana dengan temuan-temuan saintis yang saat ini merebak. Perkembangan
teknologi menjawab secara empiris yang awalnya digelisahkan oleh manusia. Bulan
yang dulu dipuja sebagai Dewa, kini diinjak-injak oleh para astronot. Mereka
bolak-balik singgah di bulan, dan ternyata bulan tak seindah cerita para
sesepuh yang berspekulasi tersebut. Jika segala sesuatunya dapat dijelaskan
secara saintis, pertanyaannya masih perlukah filsafat, untuk apa?
Menjawab
pertanyaan ini kita bisa mulai dari pertanyaan ini: setelah segala macam
teknologi itu ditemukan dan diciptakan lalu untuk apa? Bagaimana kita
menggunakannya? Nuklir dibuat untuk membunuh manusia atau memudahkan manusia?
Benarkah kehidupan ini selesai setelah perkara saintis ditemukan? Maka, terus terang
sains dan teknologi tidak akan mampu menjawab untuk apa dirinya ditemukan dan
diciptakan?
Teknologi
tak mampu memberikan narasi bagaimana dirinya haraus digunakan, apakah untuk
memudahkan kehidupan atau menindas yang lain. Terpaksa kita katakan, bahwa
kearifan dan kebijaksanaan manusialah yang menentukan untuk apa sains dan
teknologi akan digunakan. Dari mana kearifan ini muncul? Tentu saja dari
pengetahuan manusia itu sendiri yang kemudian mempengaruhi terhadap
pertimbangan moral mereka untuk menggunakan teknologi itu secara baik dan
benar.
Tak kalah
menariknya Russell juga memberikan beberapa pertanyaan yang tak bisa dijawab
secara saintis dan teknologis. Dia menulis begini:
Apakah dunia ini terbagi menjadi dua: jiwa dan
materi? Apakah jiwa tunduk pada materi, atau apakah jiwa dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan independen? Apakah alam semesta ini mempunyai kesatuan atau
maksud tertentu? Apakah alam semesta ini bergerak ke suatu tujuan? Apakah hukum
alam benar-benar ada, ataua apakah kita mempercayainya hanya karena cinta
kondrati kita pada keteraturan? [ …….. ] Apakah ada jalan hidup yang mulia,
apakah isinya dan bagaiamana kita mencapainya? Haruskah kebaikan itu abadi agar
layak untuk dihargai, apakah penting untuk mencarinya sekalipun alam semesta ini
nyata-nyata sedang bergerak menuju kematian?[3]
Meskipun
Russell menyebut bahwa sederet pertanyaan ini merupakan domain teologi, tetapi
juga sentuhan filsafat juga niscaya di sini. Pada akhirnya teknologi memicu
keraguan-keraguan dalam diri manusia, yaitu kesangsian akan arah dan tujuan
kehidupan itu sendiri. Tak hanya itu, di beberapa tempat sains dan teknologi
disalahgunakan untuk kepentingan penindasan dan pemerasan.
Saya kira
di awal abad 21 ini sudah tidak terhitung berapa juta jiwa manusia yang
melayang begitu saja dalam perang yang tak berkesudahan di Timur Tengah
khususnya. Namun demikian, bukan berarti sains dan teknologi tidak dibutuhkan,
dibutuhkan tetapi bagaimana seharusnya sains dan teknologi itu diposisikan, dan
disinilah filsafat kembali harus hadir.
Jadi
sebetulnya antara filsafat dan sains bukanlah relasi yang saling meniadakan,
melainkan relasi yang saling mengandaikan. Kehidupan manusia tanpa sains juga
tidak mungkin. Manusia perlu bekerja dan mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kehadiran sains dan teknologi tentu mempemudah manusia memenuhi
kebutuhannya. Tetapi menjadi celaka manakala teknologi digunakan menghabisi
manusia itu sendiri. Karena itu kebijakasanaan dibutuhkan.
#filsafatmazhabkepanjen
[1] Soal
dewa-dewa dan mitos-mitos dalam masyarakat Yunani dapat dibaca lebih lajut
dalam Mitologi Yunani ditulis oleh Edith Hamilton.
[2] Hassan
Hanafi. Studi Filsafat 2: Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern.
Diterjemahkan oleh: Miftah Faqih. Yogyakarta: LKiS. 2015., 1-3.
[3] Bertrand
Russell. Sejarah Filsafat Barat., hal xiv
0 Komentar