Oleh: Herlianto A
Sumber: iybsblog.blogspot.com |
Pada dasarnya berfilsafat tidak jauh beda dengan beraktivitas dalam keseharian manusia, seperti makan, mandi, berdagang, liburan, pacaran dan menikmati seks. Filsafat bermula dari benda-benda dan fakta-fakta sekitar dengan mempertanyakan apa yang diamati dan dilakukan manusia. Misalnya mengapa manusia perlu makan, tidur, pacaran, nonton televisi dan seks? Apa itu tidur, makan, televisi, seks? Bagaimana hubungan antara aktivitas itu dengan kebutuhan manusia itu sendiri? Semua kegiatan itu merupakan fakta keseharian yang dilakukan secara rutin.
Namun, suatu gerak otomatis fakta itu jarang dipertanyakan karena dianggap
sudah menubuh dengan diri itu sendiri. Padahal tidak demikian faktanya. Manusia
biasanya baru mulai mempertanyakan hal-hal itu setelah ada sesuatu terjadi
tidak sebagaimana rutinitasnya. Misalnya, setelah tidak bisa mengunyah, tidak
bisa, liburan, dan tidak bisa “in the hoy” manusia mulai menyadari bahwa mulut dan
“anu” itu seakan terpisah dari dirinya dan mulai dipikirkan faktor-faktornya. Manusia
tergerak menjadikan semua itu sebagai objek untuk dipikirkan. Tanpa sadar
langkah filosofis sudah dimulai.
Dengan kata lain, berfilsafat tidak jauh beda dengan orang naik sepeda
dari satu tempat ke tempat lain. Dalam perjalanannya, pengendara tidak
memikirkan apakah sepeda itu bagian dari tubuhnya atau terpisah dari tubuhnya.
Tetapi yang dia rasakan adalah sedang melaju di jalan untuk menuju suatu tempat tertentu. Kesadaran pengendara
akan berbeda jika ban sepeda itu tiba-tiba kempes. Di situ dia mulai merasa
bahwa sepeda adalah benda lain bagi tubuhnya, sepeda tidak menubuh melainkan
benda asing yang digunakan oleh tubuh untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kesadarannya muncul sebagai subjek pengendara atas sepeda yang sebagai
objek kendara. Saat pengendara mengambil
jarak dari sepeda itulah kesadaran, dengan bahasa lain itulah berfilsafat.
Kesadaran atas sepeda itu dapat dilanjutkan pada hal-hal yang lebih
filosofis dengan mencari tahu apa hakikat sepeda. Bagaimana ia hadir dan dapat
dibedakan dengan benda-benda lainnya, seperti kursi, meja, motor, dst? Artinya
bagaimana pengendara dapat tahu bahwa sepeda berbeda dengan benda yang lainnya,
sehingga saat pengendara ingin mencapai tujuan tertentu mengambil sepeda
sebagai alat membantunya dan bukan alat yang lain, pisau misalnya. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa manusia membedakan secara esensial antara benda yang satu
dengan lain. Ini yang memungkinkan apa yang dimaksud oleh manusia atas satu
benda tidak tertukar dengan benda lain. Setelah secara esensial manusia dapat
membedakan sepeda dengan pisau, maka untuk memotong sayur tidak mungkin
menggunakan sepeda. Sebaliknya tidak mungkin untuk mengarungi satu tempat ke
tempat lain manusia mengendarai pisau.
Lalu apakah “sepeda” dapat diatributkan pada benda-benda lain yang
sejenis mengingat model sepeda ada begitu beragam. Ada yang kecil, besar,
menengah, ada sepeda gunung, sependa anak kecil, sepeda berban tiga, dst.
Tetapi semua perbedaan jenis ini tidak mengubah jati dirinya dan tetap disebut
sepeda. Kalau begitu yang disebut sepeda jenis yang mana? Atau “sepeda” adalah
konsep universal yang dapat diatributkan pada semua jenis benda beroda dan
dipedal, dengan tidak peduli ukuran dan peruntukannya?
Jika iya, berarti kita tidak akan menemukan “sepeda” di realitas
faktual yang kita temukan adalah sepeda kecil, besar, menengah, sepeda gunung,
sepeda berban tiga, dst. Artinya “sepeda” adalah konsep yang ada di pikiran,
sementara jenis-jenis itu adalah realitas (partikular). Lantas, bagaimana
hubungan konsep dengan realitas? Dalam lokus epistemologi konsep tentang sepeda
diawali oleh pengetahuan manusia tentang sepeda (partikular) lewat pencerapan
inderawi. Konsep sepeda lahir setelah manusia melihat atau meraba sepeda. Namun
konsep sepeda bukanlah sepeda itu sendiri, artinya sepeda tidak masuk dalam
pikiran manusia, yang ditangkap hanyalah gambaran sepeda yang kemudian disebut
abstraksi.
Lebih jauh, bagaimana sepeda bisa ada dan dapat dikendarai, siapa yang
membuat? Yang membuat adalah pabrik sepeda. Yang membuat pabriknya siapa? Adalah
para tukang dan kontraktor. Lalu kontraktor siapa yang membuat? Adalah orang
tuanya. Lalu orang tuanya siapa yang membuat? Orang tuanya lagi, dst. hingga
sampai pada pembuat yang tidak dibuat, yang disebut Tuhan. Cara nalar demikian
yang disebut oleh Aristoteles menuju pada causa prima, atau sebab terakhir yang
tidak disebabkan lagi. Mengapa tidak disebabkan lagi? Karena jika tidak ada
sebab terakhir maka nalarnya akan daur (circle), dan sepeda tak akan
menjadi sepeda.
Begitulah fakta keseharian membentuk filsafat. Filsafat tidak langsung
masuk pada hal-hal spekulatif metafisis, melainkan bermula dari fakta-fakta
riil yang dialami oleh manusia. Karena itu permulaan filsafat adalah permulaan
yang sederhana, kata lainnya filsafat tidak sejelimet yang dibayangkan. Bahkan
menjadi aneh jika menolak filsafat. Menolak berfilsafat sama dengan menolak
fakta-fakta keseharian yang justru menjadi penanda dari manusia yang hidup itu
sendiri.
#filsafatmazhabkepanjen
2 Komentar
tapi pas dipelajari filsafat menjadi rumit...
BalasHapusSulit bagi yg baru memulai. Apa saja kalau baru mulai pasti sulit, termasuk saat baru belajar naik sepeda juga sulit.
Hapus