Nalar Pendidikan Karakter Plato

Oleh: Herlianto A
Sumber: rasa-stroberi.blogspot.com

Semua paham bahwa pendidikan di negara ini bak main puzzle secara bergantian, tidak suka dengan bentuk susunan B diganti bentuk C, dan diganti D, dst. namun belum ada yang benar-benar berhasil menyusunnya dengan tepat. “Ganti rezim ganti kurikulum” adalah kejengkelan setiap orang mulai dari orang tua hingga dewan guru. Sedihnya, yang berganti hanya bentuknya tetapi hakikatnya tetap sama: ujung-ujungnya UN (Ujian Nasional).

Belakangan dirumuskan pendidikan karakter, tetapi ini juga masih menjadi diskursus yang terus berkembang. Kemana “karakter” akan diasosiasikan merupakan perbincangan yang dinamis. Apakah “pendidikan karakter” berarti membawa kekhasan tradisi, agama, nilai-nilai kebangsaan, filsafat, atau apa? Tentu saja “karakter” adalah term yang terbuka. Masih mungkin untuk diutuhkan dengan berbagai kerangka lainnya.  

Keterbukaan “karakter” inilah yang mendorong penulisan artikel ini. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk retrospektif pada pendiri universitas pertama di dunia (Akademia) yaitu Plato. Tepatnya, mengintip bagaimana pemikir kenamaan Yunani ini merumuskan pendidikan yang seharusnya (Das Sollen) bagi manusia.


Filsuf berdada lebar itu menguraikan dalam Republik (Politeia), magnum opusnya, bahwa pendidikan haruslah disesuaikan dengan hakikat manusia itu sendiri. Secara filosofis, dia mengatakan bahwa hakikat manusia terbagi ke dalam jiwa (batiniah) dan raga (lahiriah). Setiap bagian-bagian ini mengalami perkembangan dan pertumbuhan melalui proses pendidikan dengan porsinya sendiri-sendiri. Maka, pendidikan (temasuk kurikulumnya kurikulum) yang baik adalah yang menyentuh dua kebutuhan tersebut. Sampai di sini kiranya jelas bagaimana prinsip fundamental pendidikan itu dibangun oleh Plato.

Pertanyaannya selanjutnya: secara lebih teknis, model pembelajaran seperti apa yang dapat memenuhi dua bagian manusia itu? Secara sederhana murid Sokrates itu menjawab dalam Republik, dengan musik untuk mendidik batin dan senam (gymnastik) untuk raga.[1]

Memadukan Mousike dan Gymnastik

Musik (mousike) bukan semata-mata yang kita pahami saat ini, memainkan alat untuk menghasilkan bunyi: gitar, harpa, biola dan seterusnya. Juga tidak semata berkaitan dengan berbagai gendre musik: dangdut, pop, dan rock. Tetapin musik dalam arti lebih luas, termasuk di dalamnya kesusastraan, puisi, dan seni. David Melling dalam Jejak Langkah Pemikiran Plato menjelaskan bahwa mousike yang dimaksud Plato adalah seni bebas termasuk di dalamnya seni rupa, cerita, puisi, drama, dan seni musik itu sendiri. Musik lebih dekat pada upaya mengungkapkan ide, nilai, dan emosi.[2]

Pendidikan ini untuk mendidik jiwa atau mental manusia agar menjadi lembut, perasa, dan sensitif secara sosial. “Musik merupakan alat lebih kuat dari alat lainnya. Karena irama dan keselarasannya menemukan caranya untuk masuk ke arah dalam jiwa, yang merupakan tempat keduanya untuk mengikat dengan kuat, menciptakan gaya yang lemah gemulai, membuat jiwa dari orang yang dididik dengan tepat menjadi anggun” demikian Plato.[3]

Cerita, drama, dan kesusastraan lainnya yang diajarkan pada peserta didik haruslah cerita kebenaran bukan kebohongan. Itulah sebabnya, Plato tidak menyukai puisi Homerus dan Hesiod yang menurutnya bercerita kebohongan di Yunani, terutama kisahnya soal Dewa. “Kisah-kisah dewa yang diangkat justru meremehkan Dewa yang mestinya mutlak benar. Homerus dalam kisahnya bercerita Dewa yang penipu dan pembohong. Bahkan para dewa itu diceritakan saling berkelahi di surga”.[4]
Sementara gimnastik merupakan olah tubuh dan latihan fisik. Senam adalah perlambang latihan ketangguhan dan kekuatan. Orang Yunani berkeyakinan di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat (mensana incorpore sano). Untuk memastikan kesehatan jasmani masyarakatnya digelar lomba-lomba atlet di sekitar gunung Olympus (cikal-bakal Olympiade).

Melalui senam manusia dididik secara fisik, lebih-lebih orang-orang yang ditugasi berkaitan dengan fisik: tentara misalnya. Namun demikian muosike dan gimnastik tidak bisa dipisahkan, keduanya harus sama-sama diberikan dalam proses pendidikan manusia. Jika hanya musik akan melahirkan manusia melankolis yang lembek. Sebaliknya jika hanya gimnastik akan membentuk manusia yang tidak memiliki kepekaan sosial dan tidak beradab. Tak ubahnya seekor singa yang memiliki kekuatan dan memangsa setiap mahluk lainnya. Ketidakseimbangan antara elemen pendidikan ini akan melahirkan manusia pengecut, bukan para pemberani.[5]

Matematika dan Yang Absolut  

Selain mousike dan gimnastik, matematika atau ilmu pasti juga menjadi bagian dalam konsep pendidikan Plato. Dia ingin memaksimalkan intelegensi manusia untuk pengetahuan yang lebih tinggi. Namun intelegensi ini berbeda dengan “kognitif” dalam taksonomi Bloom (afeksi, motorik, dan kognitif). Bloom menempatkan kognitif pada titik pengetahuan matematik dan saintisme saja yang cenderung ke-alaman. Sementara Plato, jauh melampaui itu dan lepas dari sekedar saintisme. Dengan matematika manusia belajar mencapai yang absolut yang disebut alam idea, yaitu alam adidunia yang maha sempurna.

Alam ini dalam terminologi Plato disebut eidos yang bersifat universal. Dengan demikian, Plato ingin menaikkan pengetahuan manusia dari yang inderawi ke yang melampaui indera. Karena semua penginderaan manusia hanya tiruan (memesis) dari yang adiduniawi itu. Pengetahuan akan idea adalah pengetahuan yang sebenarnya (aletheia), sementara di luar itu hanyalah persepsi (doxa) yang berubah-berubah, tak pasti.

Untuk mengaitkan pengetahuan yang absolut dengan ilmu pasti itu dapat dicontohkan dengan  segitiga. Segitiga memiliki berbagai macam rupa: sama kaki, sama sisi, siku-siku, atau membuat sendiri apapun modelnya. Tetapi semua model yang bervariasi itu tetap disebut segitiga selama memiliki tiga sudut. Artinya segitiga adalah gagasan universal (idea), sementara bebagai rupa segitiga itu adalah tiruan dari segitiga yang bersifat universal itu (tiruan). Disinilah signifikansi matematika. Konon cerita karena pentingnya ilmu pasti ini di depan Akademia bertuliskan “yang belum mempelajarai ilmu pasti dilarang masuk sini”.

Manusia yang memiliki kelembutan batin, kesehatan fisik, dan kemantapan pengetahuan inilah yang oleh Plato disebut filsuf (orang-orang berilmu). Dalam gagasan aristokrasinya, hanya orang berilmulah yang layak menjadi pemimpin, yang disebut king philosopher.

Untuk itu, pendidikan yang berkarakter bagi Plato adalah pendidikan yang memberikan kelembutan rohani, kekuatan jasmani, dan ketajaman inteleketual. Pendidikan harus membawa manusia pada ketersingkapan yang absolut, dimana pengetahuannya betul-betul hakiki bukan karena banyak menghafal dan mendapat gelar doktor atau profesor, namun setelah berkesempatan berkuasa korupsi juga. Pengetahuan, bagi Plato, akan membuat manusia berbudi baik, bukan semakin pandai mengelabui dan menipu.  

 #filsafatmazhabkepanjen.blogspot.com


[1] Plato. Republik (penerjemah: Sylvester G. Sukur). Jogjakarta: Bentang Budaya. 2002., hal 86).
[2] David Melling. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Yogyakarta: Narasi. 2016., hal155.
[3] Plato. Republik., hal 128.
[4] Plato. Republik., hal 86.
[5] Plato. Republik., hal143.

Posting Komentar

0 Komentar