Oleh: Herlianto A
Sumber: regional.kompas.com |
Sekalipun kaum feminis dan berbagai agen
sejenis lainnya berkoar-koar soal emansipasi wanita. Tetapi tetap saja masih
dihadapkan pada kenyataan dimana perempuan diposisikan sebagai objek. Feminisme—dengan
spirit pembebasan perempuan—tetap saja meletakkan kaum hawa sebagai
bahan kajian. Perempuan masih dipandang sinis dalam komunitas tertentu. Kuotanya
tak lebih dari 30 persen dalam berbirokrasi bernegara. Masih menjadi pilihan
utama dalam ekploitasi hasrat dan tindak kekerasan. Itulah sebabnya penjualan
hasil produksi masih menggunakan jasa hasrat perempuan: pahanya yang kinclong
dan dadanya yang “ginuk-ginuk”.
Tak kalah pentingnya dalam bercinta,
kaum Adam masih terlalu cerdik bagi generasi hawa dengan segenap jurus
gombanlnya. Bahkan ada yang bilang memang perempuan lebih senang digombalin,
ketimbang diberi tahu fakta yang sesungguhnya. Dari sinilah muncul istila seni
merayu (perempuan). Alhasil perempuan tertipu rayuan gombal yang
dilancarkannya. Oleh sebab itu, emansipasi wanita tidak boleh berhenti.
Kesetaraan gender, orang-orang menyebutnya, harus diperjuangkan melalui media
apapun yang memungkinkan, termasuk lewat irama.
Dalam satu kesempatan sembari menikmati
rokok dan dan kopi di warung sederhana. Saya diperdengarkan dengan sebuah lagu
yang menurut saya liriknya tidak biasa dibanding dengan kebanyakan lagu-lagu.
Berbeda dengan “Bang Jono” yang dipopulerkan oleh si goyang itik, berbeda juga
dengan “Sakitnya Tu Disini” oleh Cita Citata, juga jauh dengan “Sambalado”
milik Ayu Ting-Ting. Meskipun tidak sekritis irama-irama Iwan Wals. Tetapi lagu
ini, bagi saya menyiratkan makna perlawanan, dan ada kecenderungan tak ingin
dibodohi apalagi digombalin.
Lagu itu berjudul WEDUS (kambing). Lagu
bergenre dangdut ini menghadirkan untaian lirik yang menegaskan bahwa Hawa tak
boleh dibodohi oleh Adam. Bahkan metafor yang digunakan sangat sarkas: wedhus.
“Mending tuku satene, timbang tuku
wedhuse. Mending genda’an timbang dadi bojone” (lebih baik beli satenya
ketimbang kambingnya. Lebih baik pacaran saja ketimbang jadi istrinya). Itu
salah satu petikan liriknya.
Penggalan pembuka lagu itu mengatakan
bahwa sebagai istri dianggap posisi yang tidak membebaskan. Seorang istri
adalah dia yang patuh terhadap suami apapun kondisinya, penunggu rumah, merawat
anak dan setumpuk pekerjaan rumah lainnya. Status istri lekat dengan
penderitaan, dan berarti masuk dalam kelas sosial yang lebih rendah kerimbang
suami. Maka pilihannya adalah “pacaran” yang dianggap masih memberi kebebasan
memilih dan menentukan yang disukainya.
Lirik itu dilanjutkan dengan “Makan sate ora mikir mburine. Ngingu wedhus
dadak mikir sukete” (makan sate tidak mikir belakangnya. Merawat wedus
masih mikir rumputnya). Bahwa pacaran tidak repot merawat lawan jenis, tidak
harus melayani lelaki yang banyak minta dan keinginannya. Merawat suami adalah
sesuatu yang melelahkan, mulai dari mencucikan baju, menyiapkan makan, melayani
hasrat dan seterusnya. Bahkan sering mendapat perlakuan kasar.
Apalagi sang suami hanya bermodal
dengkul. Hanya ingin dilayani tetapi tidak melayani. Ingin dipuaskan tetapi
tidak ada nafkah lahir yang diberikan pada istri, maunya memberi nafkah batin
terus. Ini menjadi neraka (sesuatu yang sangat tidak mengenakkan) bagi kaum
perempuan. Ini tergambar pada reff pertama lagu itu: “Timbang dibojo, ora onok duite. Mending tak gae genda’an wae. Ora usah
mikir sak bendinane. Seminggu cukup sepisan wae” (Daripada dinikahi tidak
ada uangnya. Lebih baik dijadikan pacaran saja. Tidak usah mikir setiap
harinya. Seminggu sekali saja). Penekanan ada akhir lirik bahwa kegiatan atau
rutinitas sehari-hari sebagai istri sungguh sangat membosankan dan menjenuhkan.
Dan tidak bisa dihindari, berbeda jika pilihannya sebatas pacaran. Paling hanya
bertemu sekali seminggu dan itu sesuatu yang mengasikkan.
“Mergone
aku ora kuat. Yen duwe bojo wong melarat. Ra mblanjani, gawene sambat. Seneng
kumpul modal dengkul bondo nekat”. (Karena aku tidak kuat punya suami orang
melarat. Tidak membelanjai, kerjaannya mengeluh. Senang berkumpul modal dengkul
dan nekat). Memang barangkali
kebahagiaan suami-istri itu tidak dapat diukur dengan materi yang
didapat. Tetapi saat ini tidak hidup di surga yang tidak butuh makan dan
kebutuhan lainnya. Hidup di dunia ini nyata yang membutuhkan minum, makan,
bersosial, dan menunjukkan jati diri (self esteem).
Jika diamati secara keseluruahan, lagu ini
cenderung materialistik meng-capture sepenuhnya kenyataan di masyarakat.
Bahwa hampir tidak ada istri yang menginginkan suami orang miskin, yang
kerjaannya dari warung-ke warung dan menghabiskan berpak-pak rokok. Semua
perempuan ingin pasangannya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini
sekaligus menyingkap tabir wanita yang
sering mengungkapkan “memilih pasangan setia”. Tidak demikian faktanya. Pilihan
pasangan setia hanya ada dibibir dan tak pernah mengakar dalam kalbu.
Itulah sebabnya banyak cowok berwajah
gantheng dan siap menjadi cowok setia, jarang menjadi pilihan kaum hawa. Tetapi
pria kaya, atau bahasa kerennya tajir,
sudah pasti dan tentu pilihan setiap wanita. Jadi cinta memang buta tetapi
tidak tuli. Cinta masih bisa mendengar bunyi motor Ninja atau Vixion, masih
mendengar bunyi Jazz atau Fortuner. Pada titik ini kaum wanita tidak lagi bisa
dibodohi dengan rayuan gombal pria. Kesejatian cinta hanya ada dalam teori dan
kisah-kisah masa lalu yang kita pertanyakan validasinya.
Dengan demikian, WEDUS merupakan satu
lagu yang menjadi pembeda dengan lagu-lagu cengeng perempuan lainnya yang
sayangnya membanjiri industri musik tanah air saat ini. Jika Roma Irama
berdakwah atas agamanya lewat nada. Maka juga saatnya kaum hawa (feminis)
menyelubungkan spirit emansipasinya lewat nada dan irama. Tipe-tipe WEDUS perlu
dikloning sedemikian rupa sehingga menjadi perlawanan seni kaum Hawa atas Adam.
filsafatmazhabkepanjen.blogspot.com
2 Komentar
perempuan itu memang suka dikasik uang terus...
BalasHapushehehe.. nah itu dia... tapi itu perempuan yang cerdas..
BalasHapus