Oleh: Herlianto. A
Mazhabkepanjen.com - Setelah sekian puluh tahun rakyat hidup “mentolo”
dalam jepitan ketiak Suharto, pada April 1998 gempuran mahasiswa terhadap rezim
tiran mulai menampakkan wujudnya. Secara kualitatif dan kuantitatif gerakan
mahasiswa meningkat tajam.
Di beberapa kota besar, mahasiswa bergerak turun ke
jalan. Mulai dari ibu kota Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya,
Malang, dan termasuk di luar pulau Jawa seperti Aceh, Medan, Makassar, Bali dan
daerah-daerah yang lain.
Menurut catatan Hermawan Sulistyo,
demonstrasi di kota-kota metropolitan itu diikuti oleh lebih dari 100.000
demonstran setiap harinya dan berlangsung hingga hampir satu bulan.
Sulistyo juga
mengestimasi bahwa jika massa melebihi 100.000 maka menjadi “lampu kuning” bagi
tumbangnya suatu rezim dan jika sudah mencapai 500.000 demonstran berarti
“lampu merah” yaitu kondisi darurat bagi keutuhan suatu kekuasaan.[1]
Untuk memuluskan konsolidasinya, gerakan
mahasiswa membentuk kelompok-kelompok diskusi dan sekaligus dijadikan wadah
pergerakan. Dari sinilah rasionalisasi perlawanan terhadap Suharto
didistribusikan, sekalipun juga menyebabkan perpecahan di kalangan mahasiswa
sendiri.
Dari sekian sejumlah organisasi gerakan
mahasiswa yang ada melahirkan tipe spektrum dan haluan gerakan yang berbeda.
Mahasiswa kemudian mengusung ideologi tertentu sebagai dasar gerakananya.
Menurut Suharsih & Ign Mahanedra, setidaknya ada tiga differensiasi haluan
atau sikap politik-ideologi gerakan mahasiswa.
Pertama, sikap Radikal-Militan (seperti Forkot dan PRD)
yang bergerak tanpa kompromi, dan memilih aksi jalanan. Isu-isu yang diusung di
antaranya: turunkan Suharto, cabut dwi fungsi ABRI, cabut UU politik, bubarkan
MPR/DPR, dan reformasi total.
Kedua, Moderat-Konservatif (seperti Senat Mahasiswa, FKMSJ) bergerak
dengan sikap lamban, penuh hati-hati, menuntut reformasi damai, jalan dialog.
Isu yang disuarakan di antaranya: turunkan harga, tolak kekerasan, reformasi
damai, hapuskan KKN dan reformasi untuk rakyat.
Ketiga, Moderat-reaktif-religius (seperti KAMMI,
HMI), tipe yang ketiga ini membawa isu yang sama dengan tipe dua termasuk cara
begeraknya, hanya lebih reaktif dan bernuansa moral religius.[2]
Beberapa kampus
yang sebelumnya pasif dan apolitis turun jalan berpatisipasi dalam gerakan
perlawanan. Aksi perlawanan mahasiswa bagaikan gelombang yang terus menyusul
dari satu kampus ke kampus lainnya.
Di beberapa daerah kelompok-kelompok
mahasiswa melakukan aksi keluar dari kampus. Pada 17 Maret 1998 di Jawa Tengah
mahasiswa Universitas Surakarta keluar kampus untuk berdemonstrasi, tetapi
dihadang oleh tentara dan akhirnya ricuh.
Di UI Depok pada
19-26 Maret aksi besar-besaran terjadi, konon massa aksi hampir setara dengan
aksi angkatan 66. Di Yogyakarta, mahasiswa UGM pada 2-3 April tepatnya di
Boulevard juga turun ke Jalan yang akhirnya terjadi bentrok antara mahasiswa
dengan aparat.
Pada 24 April di Medan di kampus USU mahasiswa melempari militer
dengan bom molotov. Pada 7 Mei 1998 di universitas Jendral Soedirman Purwokerto
Jawa Tengah, mahasiswa menggelar aksi.
Dalam aksi ini
sebanyak 65 mahasiswa terluka. Universitas Guna Darma, kelapa dua Jakarta,
ratusan mahasiswa mengadakan mimbar bebas. Sekitar 500 mahasiswa membakar
patung Suharto di IKIP Jakarta Timur. Di Malang bentrok terjadi di Universitas
Merdeka dan Institut Teknologi Nasional sekitar 35 orang mahasiswa cedera.
Dalam gelombang perlawanan ini,
mahasiswa membawa agenda penolakan terhadap kenaikan harga sembako, tarif
listrik yang melangit, BBM, menuntut Suharto Mundur, dan cabut dwifungsi
ABRI.
Aksi jalanan mahasiswa dilakukan
secara kontinyu. Wajah mereka semakin garang dengan kuantitas yang terus
bertambah. Konsolidasi gerakan antar kota dengan cepat dilakukan melalui Forum Kota (Forkot) dan beberapa utusannya
dikirim ke Jakarta untuk aksi di depan gedung Istana, DPR dan MPR.
Tetapi lagi-lagi derasnya arus aksi
demonstrasi ini harus berhadapan dengan benteng negara, tentara. Mahasiswa yang
datang dengan tangan kosong harus berhadapan dengan moncong senjata aparat.
Peluru aparat bertaburan di jalanan, baik sebagai tembakan peringatan maunpun
yang telah menembus dada dan kepala mahasiswa.
Sejak bulan Februari hingga Mei 1998
demonstran bentrok dengan aparat betul-betul menjadi tontonan mengerikan tiap
hari di jalan-jalan di beberapa kota Indonesia. Kerusakan juga terjadi di
gedung-gedung milik negara.
Sementara massa terus bergerak maju mendesak
Suharto agar segera meninggalkan kursi kepresidenan. Puncak aksi mahasiswa
paling memilukan terjadi pada 12 Mei 1998 di kampus Trisakti, di mana beberapa
mahasiswa tewas akibat kebrutalan aparat.
Di antaranya Hery Hartanto (21), Elang
Mulia Lesmana (19), Hendriawan Sie (20) dan Hafidin A. Royyan (21). [3] Di referensi
lain menyatakan 7 orang meninggal dengan menambah: Sofyan Rahman (25), Tammu
Abraham Alexander Bulo (20) dan Fero Prasetya (22) [4].
Beberapa mahasiswa ini ditembak pada saat orasi aksi di kampus Trisakti.
Peristiwa yang bersimbah darah ini
kemudian dikenal dengan “tragedi Trisakti”. Pada 13 Mei 1998 Suharto yang
tengah berkunjung ke Mesir menyatakan siap mundur di hadapan mahasiswa Indonesia
yang kuliah di Mesir.
Bahwa jika tidak dipercaya oleh rakyat Suharto tidak akan
mempertahankan kekuatan bersenjata. Dan ia tidak mau menjadi Pandhita dan penghalang bagi
kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia yang lebih baik.[5]
Pada tangga 18 Mei 1998 gedung MPR/DPR
diduduki oleh massa yang tidak hanya dari kalangan mahasiswa tetapi rakyat dan
ornop-ornop (organisasi non pemerintah). Mereka menuntut Suharto segera turun
dari tampuk keperintahan serta segera menangkap para pelaku penembakan
mahasiswa.
Tanggal 20 Mei 1998 bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,
gelombang demonstrasi mahasiswa semakin tumpah ruah ke jalan.
Pengorbanan ini pada akhirnya berbuah
manis. Setelah darah memerahkan medan laga, pada taggal 21 Mei 1998 dengan
resmi Suharto mengundurkan diri dari jabatannya. Mahasiswa berhasil
mendemisioner rezim Orba.
Suharto pun harus terjungkal dan dipaksa mengakui
kekuatan dan keuletan gerakan rakyat. Mereka bagai “puting beliung” yang
mengobrak abrik ibu kota. Dengan demikian lahirlah Orde Reformasi yang “menjanjikan”
sejuta kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan alias demokrasi
seutuhnya.
[1]
Hermawan Sulistyo. Aksi Massa 1998
dan 2012. Kompas, 19/4/ 2012
[2] Selengkapnya baca Suharsih &
Ign Mahendra K. Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan
Perubahan Sosial di Indonesia. Jogjakarta: ResisBook. 2007., hal 103
[3] M. Fajroel
Rachman. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat:
Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan.
2007., hal 225.
[4] Suharsih &
Ign Mahendra. Op. Cit., hal 109
[5] Gregorious Sahdan. Jalan
Transisi Demokrasi Pasca Suharto. Bantul: Pondok Edukasi. 2004., hal 299
0 Komentar