Oleh:
Herlianto A[1]
Sumber: Rovisulistiono |
Berkembangnya spirit
posmodernisme yang anti narasi besar nan dominatif dengan kembali pada local
wisdom, rupanya kian digandrungi oleh kalangan akademisi dan para pemuda
belakangan ini. Mereka mencoba merawat khazanah daerahnya sebagai satu
kebudayaan dan tradisi yang berbeda dengan yang berlaku umum (grand naration),
sekaligus sebagai sebentuk perlawanan naratif.
Tak sedikit karya-karya etnografi
yang sengaja dibuat untuk kembali mengunggkap keunggulan kearifan lokal dari
suatu kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks Indonesia, kita biasa mendengar diskursus-diskursus
yang berajektif “Nusantara” untuk menunjuk sesuatu yang sifatnya lokal, seperti
Islam nusantara, makanan nusantara, peradaban nusantara, dan filsafat nusantara.
Kata
“Nusantara” merujuk pada suatu kearifan yang itu berbeda dengan kearifan Eropa,
Amerika, Timur Tengah, Cina, India, dst. “Nusantara” beranteseden pada
rangkaian sejarah manusia yang telah ratusan, bahkan ribuan tahun, secara turun
temurun menjalani hidup di kawasan kepualauan Asia Tenggara, yaitu Indonesia
saat ini. Salah satu peradaban tua ini, diyakini memiliki tata hidup yang khas
yang sejauh ini dikonsepsi sebagai suatu ajaran, lalu dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-sehari. Atas dasar itulah term “Filsafat Nusantara”
coba diangkat, ditengah dua arus besar filsafat: Barat dan Timur.
Pertanyaannya,
benarkah “Filsafat Nusantara” itu ada sebagaimana kita menyebut “Filsafat
Yunani”, “Filsafat Amerika” dst? Untuk menjawab ini sepertinya kita perlu
mengarungi jalan yang agak melingkar. Pertama, mau tidak mau kita mesti
kembali memeriksa makna apa itu filsafat, sehingga ada ruang bagi pemikiran
Nusantara untuk disebut filsafat sebagaimana kita yakini selama ini. Kedua,
bagaimana kekhasan filsafat nusantara dibanding yang lain.
Term
Filsafat
Menyebut
“filsafat” pada pra-modern dan pasca-modern memiliki sense dan cakupan
yang berbeda. Di era pra-modern filsafat sebagai “ibu ilmu pengetahuan” yang mencakup
segala ilmu baik fisika pun metafisika. Hal itu kita bisa lihat dalam kajian
dan karya-karya filsuf semacam Plato, Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn
Rusdy. Mereka tidak hanya berbicara yang rasional tetapi juga yang empiri.
Tetapi, pada pasca-modern filsafat dipisahkan dari ilmu pengetahuan (sains).
Filsafat domainnya pada ranah metafisika sementara sains pada yang fisika. Para
pelopor pemisahan ini di antaranya: R. Descates, F. Bacon, dan menuncak pada J.
Lock dan D. Hume. Bahkan seiring dengan lahirnya ilmu-ilmu baru macam
Sosiologi, Psikologi, Biologi, dst. membuat filsafat juga dianggap sebagai satu
bidang (jurusan) ilmu sebagaimana ilmu-ilmu itu. Jadi, ada reduksi: filsafat
yang sebelumnya mencakup segala ilmu kini menjadi satu bidang yang setara
dengan anak-anaknya.
Dalam artikel
ini, kita akan coba lebih longgar memaknai filsafat—jika di rasa perlu kembali ke definisi sebelum
pra-modern—,bahwa
filsafat sebagai suatu sikap yang cinta (philos) akan kebijaksanaan (sophia)
yang dicirikan dengan berpikir secara rasional-radikal dan universal dalam
menemukan prinsip-prinsip utama (arkhe). Dengan demikian, kemampuan
berfilsafat bukan lagi monopoli orang-orang yang bersandang filsuf, tetapi
siapapun yang mampu memikirkan masalah hidupnya dan menemukan prinsip-prinsip
universal maka dialah filsuf.
Dalam bahasa G. Deleuze & F. Guattari bahwa
filsafat adalah seni membentuk dan merajut konsep-konsep.[2]
Sehingga filsafat adalah sebagai perang hidup-mati menemukan konsep dan
mempertahankannya. Plato menemukan konsep idea (eidos), Aristoteles
membangun hylemorphisme, Leukippus dan Demokritos dengan atomisme,
Descartes mengajukan cogito, Leibniz dengan monad, dst.
Dengan demikian filsafat
menjadi lebih terbuka. Artinya perumusan konsep tentang hidup tidak lagi
menjadi domain orang-orang Yunani, Eropa, Cina, dan India. Di berbagai
peradaban bisa jadi memiliki konsep hidup yang khas dibanding yang lain,
meskipun tidak ada filsafat yang hidup sendirian, ia selalu bertali temali
dengan denga pemikiran-pemikiran sebelumnya.
Bahkan dalam catatan Robert C. Solomon & Kathleen M Higgins dalam Sejarah
Filsafat Yunani bukan peradaban yang diturunkan dari atas awan tanpa
pengaruh dari peradaban-peradaba sebelumnya, dia berkisah bagaimana sebenarnya
peradaban Yunani ini terbentuk. Menurutnya, Yunani bukanlah peradaban tunggal
yang muncul begitu saja di bumi. Sebelum Yunani sudah muncul wilayah
Mediterania Timur, Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Di tengah peradaban besar
ini, orang Yunani (orang Hellenis) adalah sekolompok orang Indo-Eropa yang
nomadik yang datang dan bemukim di daerah lautan Aegean. Sekelompok manusia itu
membangun peradaban di pulau Kereta.[3]
Dengan begitu, maka sangat mungkin orang-orang Nusantara memiliki konsep filsafat.
Hikmah Jawa
Nusantara merupakan wilayah
yang kaya akan etnis beserta nilai-nilai dan falsafah hidupnya yang mana satu
sama lain berbeda dalam batas-batas tertentu, misalnya dalam tataran praktik
berupa tradisi-tradisi. Tetapi juga memiliki kesamaan yang membuatnya khas
Nusantara, misalnya hampir semua kebudayaan etnis meyakini akan adanya yang
maha agung (ultimate) yang mutlak dan manusia sebagai yang nisbi
keberadaannya bergantung pada yang mutlak. Karena itu, tidak mungkin kiranya di
ruang terbatas ini menghadirkan semua konsep-konsep hidup mereka. Maka, untuk
membuat sedikit spesifik akan mengulas soal hikmah Jawa yang memang selama ini
banyak diteliti oleh para akademisi. Bahkan Zoetmulder meyakini bahwa Jawa
memiliki sistem filsafatnya sendiri.
Secara umum, menurut
Bambang Kusbandrijo, Filsafat Jawa menekankan pentingnya kesempurnaan hidup. “Manusia
berpikir dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas dirinya dalam
kaitannya dengan Tuhan.”[4]
Rumusan senada diutarakan oleh Ciptoprawiro, bahwa Filsafat Jawa sebagaimana
filsafat India dan Cina yang cenderung pada way of life (cara hidup)
dalam mencapai kesempurnaan, ketimbang suatu penalaran yang spekulatif. Dengan
begitu, meletakkan atau mencirikan manusia dengan relasi mutlaknya pada sang
khalik. Perjalanan hidup adalah upaya menemukan atau mengidentiikan antara
diri dengan yang maha indah itu, dan
itulah kesempurnaan. Jika dalam kerangka Yunani disebut love of wisdom (cinta
kebijaksanaan, ngudi kawicaksanaan), maka Filsafat Jawa lebih cocok
disebut love of perfection (cinta kesempurnaan, ngudi kasampurnaan).[5]
Konsep ini tidak
berlebihan jika kita coba menelusuri pemikiran para arif Jawa, seperti Prabu
Jayabaya (1135-1157), Para Walisanga, Syekh Siti Jenar (1348-1426), RNg
Ronggowarsito (1802-1873), dan Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Para
tokoh-tokoh ini mencoba untuk membaca dimensi manusia berkaitan dengan dua
dimensi lainnya, yaitu dimensi ilahi dan alam: makrokosmos dan mikrokosmos.
Atau bahasa gamblangnya kehidupan Jawa selalu melibatkan “langit” atau hal-hal
yang metafisis.
Dari situ dapat dibaca
bahwa corak filsafat Jawa adalah penyadaran diri akan yang maha agung. Penyadaran
ini, memiliki konsekuensi ke peniadaan diri atau hilangnya ego dan melebur
dalam yang hakiki, atau tiadanya kehendak selain kehendak ilahi. Ini misalnya
kita dapat pelajari dari salah satu petikan sumpah Palapa Patih Gadjah Mada
yang sangat terkenal itu: tan ayun amukti palapa. Kata tan ayun
berarti menghilangkan kehendak dalam diri atau tidak tergiur dengan gemerlap
kenikmatan dunia. Jadi, sumpah itu penuh dengan makna pengekangan hasrat demi
kesempurnaan. Dalam upaya mencapai kesempurnaan ini, filsafat Jawa juga
memetakan antara epistemologi, ontologi, dan aksiologi.
Epistemologi
Epistemologi (ilmu
tentang pengetahuan) filsafat Jawa adalah bagaimana mencapai tahapan-tahapan
menuju “widya” (kebenaran). Tahapan-tahapan ini dapat ditemukan dalam Serat
Wedhatama. Di situ dijelaskan tahapan-tahapannya, di antaranya: Sembah raga
yaitu penguasaan ilmu syariat da kepatuhan kepada yang diperintahkan syariat. Sembah
cipta mencapai pengetahuan dengan memadukan sembah raga dengan proses
konsentrasi, menahan hawa nafsu, dan mengingat Tuhan. Sembah Jiwa yaitu
pemeliharaan kehidupan rohani, mengingat hari kemudian, dan berserah diri. Sembah
Rasa, pada tahap ini tidak ada lagi ritual, melainkan semua gerak anggota
badan dan semua kegiatan hidup serasa
mendapat rasa pasrah dan tak ada lagi keraguan.
Metafisika (Ontologi)
Ontologi (ilmu tentang
ada sebagai ada, being qua being). Dalam hal ini filsafat Jawa menjelaskan
tentang kemutlakan Tuhan, Tuhan yang transenden dan imanen, dan kesatuan manusia
dengan alam semesta. Pembahasan tentang alam metafisik ini dapat ditemukan
dalam Wirid Hidayat Jati ditulis oleh Ranggawarsito dan kita kejawen
Serat Centini. Misalnya, dalam serat Centini dalam pupuh 345 berbunyi begini:
Mereka tyang tinggal melibatkan diri dalam semedi dan zikir.
Mereka melepaskan diri dari segala ikatan dan memasuki tahap pelenyapan diri
yang total. Mereka memandang tanpa tirai. Lepas dari ikatan indera, mereka
mempersatukan diri dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi
perbedaan antara kaula dan gusti.[6]
Dari rumusan ini,
dapat ditangkap bahwa ada pengekangan yang kuat terhadap hasrat manusia demi “bertemu”
dengan Tuhan. Prabu Jayabaya sendiri mengajarkan 3 mode pengabdian manusia pada
Gustinya: nista, madya, dan utama. Pengabdian nista adalah pengabdian
yang rendah yang berbalut kemunafikan dan kebohongan. Pengabdian madya
berkaitan dengan rajin, setia, dan amanah. Semantara utama merupakan
tingkatan paling tinggi berkaitan dengan dapat dipercaya, cerdas, dan ikhlas[7].
Relasi manusia degan
sang khalik juga dibahas oleh Siti Jenar yang sering dikenal dengan istilah manunggaling
kawula gusti atau wahdatul wujud. Pembahasan wahdatul wujud
merupakan pembahasan yang sangat panjang dalam filsafat Islam, yang secara
sederhana dapat dipahami bahwa pada tataran “wujud” antara manusia dan Tuhan
tak ada bedanya. Sayangnya dia harus dibunuh pasca Al Hallaj, pemikir wahdatul
wujud kenamaan, dipancung di Baghdad.
Ronggowarsito juga
memiliki rumusan, bagi dia Tuhan itu transenden sekaligus imanen. Transenden
berarti Tuhan ada tak tersentuh, begitu tinggi dan jauh. Sementara imanen,
Tuhan bergumul dengan mahluk. Umumnya, Tuhan begitu terasa imanen setelah
manusia sampai pada suatu ekstase kemenyatuan (wahdah). Pedeknya, Tuhan
berbeda dari semesta tetapi meliputi segala semesta. Misalnya, ada ajaran
begini dalam Jawa:
Pengeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana
pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran, pangeran iku adoh tanpa
wewangenan, cedhak tanpa senggolan. Gusti tan adoh, tunggal tan pisah, tegese
gusti kuwi tan kena kinaya ngapa.
(Artinya: Tuhan ada dimana saja, di dalam dirimu juga ada. Namun
kamu jangan berani mengaku sebagai Tuhan. Tuhan itu berada jauh namun tidak ada
jarak, dekat tidak bersentuhan. Tuhan itu jauh, tunggal tidak terpisah jadi
tuhan tidak bisa dibayangkan dengan sesuatu).
Etika
Etika Jawa mengajarkan
tentang keselarasan. Menurut Magniz Suseno dalam Etika Jawa, keselarasan
dalam arti tidak ada konflik dan tidak ada kekerasan dalam hati. Cara hidup ini
dapat dicapai melalui tiga hal: menghindari konflik terbuka, menghormati semua
warga masyarakat sesuai kedudukan sosial mereka (hal ini terwujud dalam
penggunaan bahasa: ngoko, kromo, dan kromo inggil), dan menghindari emosi-emosi
berlebihan.
Ajaran keselarasan ini muncul dalam dalam beberapa sikap:
sika takut (wedi), tahu malu (isin), dan sungkan. Wedi
dalam tahapan perkembangan manusia masuk pada tahap moral anak-anak yang biasanya
sering ditakut-takuti. Isin, masuk pada tahap dewasa bahwa kelakuan yang
buruk haruslah merasa malu. Sementara sungkan berkaitan saat menghadapi
atasan. Selain itu, tradisi Jawa juga mengajarkan nilai-nilai etis lainnya,
misalnya sepi ing pamrih rame ing gawe serta diajarkan rasa nrimo
terhadap keadaan yang dialaminya.[8]
Dengan demikian menjawab pertanyaan di awal: apakah ada filsafat
Nusantara. Maka, tentu jawabannya jelas bahwa Nusantara memiliki konsep-konsep
hidup yang layak diketengahkan sebagai suatu alternatif rumusan kehidupan yang
lebi mengena pada potensi lokal dan cara hidup kita sendiri.
[1]
Tukang kebun STF Al Farabi Kepanjen Malang
[2]
Konsep dalam bahasa Deleuze & Guattari sebagiaman kita melihat
burung. Lalu lalu dalam sekejap gambaran burung itu melakat dalam pikiran kita.
Yang ada dalam pikiran itulah yang disebut konsep. Namun demikian konsep tidak
tunggal. Satu konsep juga merupakan perpaduan dari beberapa konsep. Kembali ke
contoh burung. Konsep kita tentang burung pastilah dirajut oleh konsep yang
lain misalnya konsep bunyi burung, konsep warna bulu burung, konsep kontur
tubuh burung, dst. Jadi konsep adalah totalitas dari kompenen-kompenen yang
terfragmen. Nah, demikian juga dengan filsafat yang merupakan arena merajut konsep.
Lihat: Gilles Deleuze & Felix Guattari. What Is Philosophy:
Reinterpretasi Atas Filsafat, Sains, dan Seni. Diterjemahkan oleh: Muh.
Indra Purnama. Yogyakarta: Jalasutra. 2008., hal 69
[3]
Robert C. Solomon &
Kathleen M Higgins. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Bentang Budaya. 2002.,
hal 12
[4]
Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2007., hal
13
[5]
Dikutip dari Sutrisna Wibawa. Filsafat Jawa, hal 54
[6]
Dikutip dari Menggali Filsafat dan
Budaya Jawa., hal 15
[7]
Muhaji Fikriono. Puncak Makrifat Jawa. Bandung: NouraBooks. 2012., hal
58
[8]
Franz Magniz Suseno. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.1984
0 Komentar