Oleh:
Herlianto A
Sumber: Solopos.com |
Salah satu kritik
penting terhadap tulisan Afi “Warisan” adalah atas neraca relativis yang
digunakan, bahwa tak ada kebenaran yang mutlak. Pernyataan ini ibarat senjata
makan tuan, membuat semua argumen Afi juga tidak mutlak benar. Karena jika
argumen Afi dimutlakkan maka kontradiktif dengan putusannya sendiri bahwa “tak
ada kebenaran yang mutlak”. Relativisme mengembalikan neraca kebenaran pada
subjek itu sendiri, sehingga semua argumen Afi hanya benar bagi Afi sendiri dan
tentu saja juga para pengikutnya.
Lalu bagaimana dengan
kebenaran mutlak? Membicarakan kebenaran mutlak tidak semudah ngoceh di pagi
hari. Saya meyakini, orang-orang yang mengkritik Afi dengan tuduhan relativis
juga kesulitan mendefinikan dan membuktikan kebenaran mutlak. Sejauh ini, para
pemikir filsafat ilmu menyediakan beberapa kriteria kebenaran, di antaranya:
korespondensi, koherensi, pragmatis, dan konsensus. Masing-masing teori ini
memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Akhirnya, mana yang paling
benar terkesan menjadi sebatas pilihan sesuai dengan kebutuhan dan ideologi
masing-masing.
Kita seperti berdiri
dipersimpangan dan memilih jalan yang sesuai dengan tujuan kita. Deretan
idealis lebih cocok dengan koherensi, realis pada korespondensi dengan pola
representasi, yang suka menilai sesuatu dari utilitas yang didapat cocok dengan
pragmatis, sementara konsensus tentu saj dengan para demokrat. Hingga di persimpangan
ini belum bertemu dengan kebenaran mutlak. Semuanya masih menjadi sebatas preskripsi-preskripsi,
dimana kemampuan berpikir dibutuhkan.
Kemudian, secara
epistemic–dimana alat dan sumber pengetahuan diperdebatkan–pencarian kebenaran
ini juga tidak kalah alotnya. Antara empirisme dan rasionalisme belum selesai berdebat,
hingga sebagian memilih lari pada intusi dan perjalan sufisme lainnya–yang
malah cenderung menghindari perdebatan.
Dengan demikian, kebenaran
mutlak bukanlah berlian yang didapat dengan cara menggali dari pengunungan dan
lalu kita tunjukkan bendanya di hadapan mata kita. Kebenaran–saat ini
setidaknya yang saya alami–menjadi semacam kriteria ideal yang diimpikan oleh
manusia. Di antara kita sedang berlomba memahami kriteria itu dan menemukannya.
Ibarat untuk menemukan dan memastikan keberadaan seekor burung Beo, saat ini
kita masih mendengarkan bunyi dan cerita-cerita tentang keindahan burung itu.
Dalam fase ini bisa
jadi meskipun keberadaan Beo itu mutlak, tetapi telinga kita sedang bermasalah
sehingga dalam menangkap bunyi Beo mirip dengan love bird, atau cerita-cerita
tentang keindahan Beo yang ditangkap juga kurang tepat. Karena itu, pencarian
kriteria ini tidak bisa dilakukan secara eksklusif melainkan harus inklusif dan
keterbukaan pikiran sehingga jalan diskusi dimungkinkan. Dan karena itu,
penyusunan akan kriteria kebenaran yang lebih tepat dapat dilakukan. Bagi saya,
yang dilakukan Afi adalah jalan keterbukaan pikiran yang memungkinkan dialog.
Lantas bagaimana dengan
teroris? Bukankah pilihan tindakannya memastikan kebenaran mutlak? Teroris dan
jidad hitam lainnya sebetulnya orang-orang yang percaya akan adanya kebenaran
mutlak, hanya saja mereka menutup keterbukaan pikiran dan ruang dialog. Sehingga
polanya adalah tekstualis kaku tanpa memperhatikan konteks suatu teks. Padahal
salah satu konsekuensi dari teks adalah tafsir (hermeneutika) dan setiap berhak
menafsir (tentu saja dengan ilmu). Jika teks dianggap tanda (sign), maka setiap tanda selalu bertaut
antara penanda (signifier) dan
petanda (signified), yang kadang
malah tidak selalu beranteseden.
Artinya yang dilakukan
oleh teroris dan jidad hitam juga tafsir atas teks. Namun sayangnya mereka
memaksakan tafsirnya dan menutup diri. Tafsir yang berbeda dengannya langsung
dihukumi liberal dan kafir. Padahal orang lain juga punya tafsir. Nah, mestinya
di antara keberhakan setiap orang untuk menafsir ini jalan tengahnya Cuma satu:
dialog.
Dengan begitu, yang
dilakukan oleh teroris lebih kepada keangkuhan ketimbang tindakan atas
kebenaran mutlak.
0 Komentar