Oleh:
Herlianto A
Sumber: nasional.inilah.com |
Suatu hari dikirimi fail pdf buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok: Menuntut Keadilan Untuk Rakyat oleh seorang teman. Buku ini ditulis Marwan Batubara dan yang memberikan pengantar M. Amien Rais. Terus terang saya belum tuntas baca buku itu, tetapi yang menarik perhatian adalah oretan Amien Rais, dalam tulisannya itu Amien yakin sekali Ahok terlibat korupsi dan menjadi aktor utama konspirasi konglomerat.
Kasus yang
diajukan adalah penggusuran Kalijodo yang kemudian diserahkan pada konglomerat
dan kasus reklamasi. Tak ketinggalan Sumber Waras turut diajukan. “Saya sepakat
100 persen dengan gagasan buku ini, bahwa benar terdapat dugaan tindakan
korupsi yang dilakukan Ahok, dan untuk itu yang bersangkutan harus segara
diadili,” begitu endors pria yang disebut-sebut tokoh reformasi itu.
Saya menyusun
niat lagi untuk menuntaskan buku itu. Kok dilalah orang-orang BPK yang
dijadikan rujukan dibuku itu kena OTT. Tambah dilalah lagi Amien Rais
disebut-sebut kena percikan 600 juta korupsi Alkes, sedikit sih tapi
kalau dibelikan bakso se kampung dapat ngunyah semua. Boro-boro saya menuntaskan
bacaan buku, malah Amien menjadi semakin “seksi” dan menarik perhatian.
Betapa dia
merasa gelisah, dia gelar konpres, ngirim utusan ke KPK, datang ke DPR untuk
dukung hak angket, dst. Memang banyak nama-nama yang disebut KPK seperti Amien,
tapi mereka memilih menjadi introvert, pak Amien rupanya memiliki tipe
berbeda, dia malah ekstovert-nya menjadi-jadi. Nyebut KPK busuk, balas
dendam, dst. Emang Amien pernah nyakitin siapa, kalau emang pernah nyakitin,
dan dibalas disakitin, ya draw dong.
Melihat
realita ini, ingatan saya me-recall beberapa waktu silam. Suatu hari
ngumpul-ngumpul dengan para wartawan di Mas Hari—tempat ngetem, ngopi, dan makan wartawan Malang—depan kantor Kompas
Malang. Disitu ada wartawan senior kompas, inisialnya DWP. Saat itu suasana
politik nasional jelang pilres, kandidat populernya Jokowidodo. DWP berkelakar
dengan mengidenfikasi tokoh-tokoh nasional ke dalam kisah Mahabarata. Dia
nyebut Dahlan Iskan sebagai Bisma dan Amien Rais sebagai Sangkuni.
Saya dan
mungkin juga pembaca, punya kegelisahan yang sama tentang identifikasi ini,
yaitu: lantas siapa guru Drona, siapa Pandawa dan siapa Kurawa, siapa Kresna,
siapa Dewi Subadra, dan siapa Drupadi yang bersuami lima orang itu. Yang
terakhir ini kalau sampai ketemu identifikasinya akan gawat. Soalnya tradisi Islam
yang besar di Nusantara tak ada poliandri, yang ada poligami. Kalau poligami
sudah sesuai dengan suatu ayat Alquran dan berarti Islami. Dalam tradisi Arab
memang nasab mengikuti ayah, makanya bin atau binti selalu diikuti nama ayah
bukan nama ibu.
Andaikan nasab
ikut ibu maka yang legal adalah poliandri. Sehingga istilahnya bukan “istri
muda” dan “istri tua” tetapi “suami brondong” dan “suami ABG tua”. Konon, tradisi
poliandri dengan nasab pada ibu masih ada di pedalaman Tibet, sehingga di situ
biasa seorang perempuan memiliki “lima pedang” atau lima suami. Mereka santai
dan menikmati. Kalau ini sampai ketemu di Indonesia, tidak tahu berapa jilid
aksi yang akan terjadi.
By the way,
mereka kok bisa begitu poliandri? Tentu saja karena ini sudah terjadi ratusan tahun
dan lembaga pendidikan yang melestarikannya sehingga menjadi suatu cara pandang
dan cara hidup. Justru di sana yang haram dan terlaknat adalah poligami. Walah kok
sampai ke soal rumah tangga ini, I am sorry!
Baik kita
kembali ke “laptop”. Setelah DWP mengidentikkan Amien dengan Sangkuni. Batinku
masih bertanya, benarkah demikian? Mana indikatornya. Tak lama kemudian, saya
nonton video Gus Dur diwawancarai Andy F. Noya dalam serial Kick andy.
Gus Dur bilang pelaku utama dibalik keterjungkalan dirinya dari presiden adalah
Amien dan Mega.
Walau tak ada bukti lebih lanjut yang saya tangkap, tapi
sepertinya Gus Dur jujur. Artinya Amien berhasil ngompori orang-orang sejenis
Kurawa untuk rame-rame mengutuk Gus Dur telibat kasus korupsi Brunai Gate dan
Bullogate. Walaupun pada akhirnya tak ada bukti bahwa uang mengalir ke rekening
Gus Dur.
Yang cukup
positif, Amien disebut melengserkan Suharto lewat gerakan reformasinya di era
1998an. Amien disebut tokoh utama lahirnya reformasi, karenanya disebut bapak
reformasi oleh sebagian kalangan danpengkutnya, tentunya. Tapi dari beberapa
buku yang pernah saya baca belum menemukan Amien sendirian melawan Suharto.
Di buku
Hermawan Sulistyo, Lawan: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Suharto,
malah hampir tidak nyebut nama Amien Rais. Yang banyak sebagai aktor reformasi
adalah mahasisiswa, pemuda, rakyat, dan akademi. Termasuk para mahasiswa yang
syahid melawan gigantisme Suharto di Trisakti dan Semanggi. Saya tidak tahu
apakah Amien sebagai dalang saja. Tetapi mungkin saya juga belum sampai kepada
buku yang membahas peran utama Amien dalam lahirnya reformasi.
Kemudian,
menjelang pilpres 2014 lalu, Amien sempat sesumbar bahwa jika Jokowi menang dia
akan jalan kaki bolak-balik Jogja-Jakarta. Saya tidak tahu, apakah ini bagian
dari taktik Sangkunisme untuk mempengaruhi para kurawa jadi-jadian itu.
Karena,
setelah Jokowi menang Amien memilih naik pesawat kalau mau ke Jakarta. Tapi
untungnya, masyarakat Jogja yang mengerti langsung melakukan ritual untuk
meruwat Amien. Ruwat ini untuk menghilangkan hal-hal yang “setani” pada diri
seseorang.
Lebih lanjut,
saat PAN, partai yang pernah diampu Amien, ingin merapat ke pemerintah dengan
rencana dapat dua kursi menteri. Amien muncul di televisi dan bilang bahwa dua
kursi itu ecek-ecek, kurang banyak dan kurang wah untuk PAN. Ini mungkin taktik
yang lain lagi. Tapi kayaknya, kali ini kurawa nakal dan bandel tidak ikut
sarannya, karena mereka tetap saja terima itu kursi menteri meski sedikit.
Dan terakhir
ini, saat dia disebut teraliri uang panas korupsi alkes ke rekeningnya. Dia pun
geram, dia mendatangi para kurawa mangap tertidur di gedung kura-kura yang
sedang merencanakan siasat melibas KPK. Di situ dia menyatakan dukungannya 100
persen. Tentu, ini mungkin taktik yang lain lagi.
Dengan
demikian, dengan segala track record ini, Amien Rais bukan Sangkuni,
tetapi “Suangkuoni”. Kata terakhir dibaca seperti orang Jawa menyebut sesuatu
yang “sangat” dalam ekspresi tertentu. Kalai begitu Amien Rais… Ngerti kan maksudnya!
Hehehe.. kalau belum ngerti coba diucapkan lagi kata itu dengan suara agak
keras, dan resapi maknanya. Iya kan?
Namun
demikian, sebagai salah satu tokoh nasional, kita semua layak respek pada Amien.
Dia punya wibawa dan kepandaian dalam memainkan isu-isu politik. Di era
reformasi memang dia tidak sendirian aksi, masih ada aktor-aktor lain yang juga
layak disebur reformator, tetapi dia merupakn satu saja dari sekian reformator
yang turut berjuang kala itu.
Dia—saat
itu, tentu saja—telah
berhasil menuntaskan kewajibannya sebagai satu generasi untuk mengamputasi
rezim diktator yang menyengsarakan keluarga kita semua. Kita mah belum
melakukan apa-apa untuk bangsa ini. Hal-hal baik seperti ini, tidak boleh kita
lupakan melainkan harus kita teladani sebagai suatu lifestyle dalam bernegara.
Namun, Amien
adalah manusia biasa yang tidak maksum, seperti kita semua. Selalu ada hal baik
dan buruk yang mengatributi tindakan manusia. Karena itu, di hari menjelang
Idul Fitri ini, mari kita saling memafkan satu sama lain. Sehingga skor dosa
kita kembali netral: 0-0. Selamat hari raya Idul Fitri 1438 H.
0 Komentar