Dekolonialisasi Subjek Pascakolonial

Oleh: Abd Salam, penggiat sosial STF Al Farabi Malang
Sumber: fathiyyarizkkf.blogspot.com

Apa yang telah dilakukan oleh subjek kolonial? Kita awali pembicaraan ini dengan sebuah pertanyaan untuk menggiring kita memasuki dunia yang kita pikirkan. Seperti yang sudah tertera dalam cerita sejarah bahwa kolonialis menulis tentang perempuan di negeri jajahannya, seperti ini: setengah telanjang, dada terbuka, mandi di sungai beramai-ramai, berkulit coklat lusuh, berbadan kurus bukan langsing, perempuan yang suka dipoligami.[1]

Dalam studi kekinian narasi tersebut disebut postkolonial, yaitu mengungkap kembali apa yang terjadi pada era pra-kolonialisme. Penghadiran kembali masa lalu itu untuk membenarkan tujuan kolonialisme, yaitu menebarkan peradaban dan nilai-nilai baru yang lebih modern di tanah jajahannya. Masa lalu ketika dinarasikan dan ditulis ulang, maka menjadi masa yang dikatakan kolot, jumud, dan tidak beradab. Begitulah kira-kira cara subjek kolonial mendefinisikan sejarah masa lalu bangsa kita: bangsa Indonesia.

Sejarah bangsa menjadi sekumpulan cerita dan narasi yang disimpulkan oleh kekuatan (power) yang berkeinginan untuk menulisnya. Masa lalu itu muncul ketika si empunya kekuatan mengenal, menamai, dan mempelajari serta menilai suatu kehidapan: apakah kelam, gelap atau terang benderang. Sehingga sejarah bangsa yang dibangun dan dipresentasikan berdasarkan kepentingan kolonial. Citra masa lalu kita sesuai dengan kebutuhan politik dan budaya mereka. Alhasil sejarah yang ada sama sekali berjarak jarak dan tidak otentik.


Sedihnya lagi, setelah itu mereka menghadirkan dikotomi antara “Orang Barat” dan “Orang Timur”, “kulit putih” dan “orang hitam”. Yang disebut pertama selalu lebih baik dari disebut kedua. Bahkan termasuk soal siapa kita dan siapa mereka. Kita menjadi tidak punya identitas kita sendiri yang asli, citra kita tak lain hanyalah bentukan dari para kolonial. Dan tentu saja hal ini ditentukan oleh proses identifikasi dalam ruang yang subjektif.

Nasionalisme Sebagai Resistensi

Apa yang diperlukan oleh subjek kolonial untuk mengubah diri dari keterasingan ke pemberontakan, dari kesadaran akan ketidakadilan ke perlawanan? Peralihan ini dapat kita mulai  dengan membicarakan  perlawanan dalam kerangka menemukan nasionalisme. Dan itulah perlawanan antikolonial yang telah dilakukan oleh kiai-kiai tarekat dan kiai kampung.

Namun, perjuangan mereka belum terintegrasi dalam suatu perlawanan yang kokoh. Kondisinya masih terpecah-pecah yang terjadi di setiap wilayah dengan dinamika perlawanan yang berbeda-beda pula. Ide nasionalisme tidak serta merta menyatukan mereka yang berbeda dalam ras dan agama. Tetapi setidaknya, semangat antikolonial yang dibangun para kiai itu menjadi identitas baru yang kuat bagi masyarakat terjajah. Dari situlah kemudian nasionalisme tercipta secara perlahan.

Terciptanya nasionalisme ini, dalam ekspresi Anderson, sebagai suatu “komunitas terbayangkan” (imagined community) yang bersamaan dengan hilangnya feodalisme dan bangkitnya kapitalisme. Dimana hierarki feodal memungkinkan terjadinya relasi yang melintasi batas nasional dan bahasa. Kepentingan borjuis melintasi garis kelas dengan menciptakan komunitas di antara masyarakat yang belum bertatap muka dalam perjumpaan.

Kapitalisme menguasai percetakan, koran, dan bentuk dokumentasi lainnya di komunitas. Itu semua merupakan saluran untuk menciptakan budaya, kepentingan, dan kosa-kata bersama. Dengan menguasai bahasa cetak, mereka  mengubah bahasa daerah dengan menciptakan bahsa yang dibakukan untuk dipakai oleh komunitas masyarakat yang beragam.

Dekolonialisasi

Jika nasionalisme dibangun atas dasar kesadaran bersama, kini bangunan kesadaran itu digunakan melihat-balik untuk menggeser pandangan. Pada awalnya superior menjadi objek yang diketahui dan inferior. Manurut Fanon, subjek penjajah membangun dirinya di hadapan subjek terjajah sebagai yang ideal. Dalam padangan subjek terjajah, ia menjadi objek hasrat. Di saat bersamaan subjek penjajah mengalami perubahan posisi: mengalami ketakutan.

Pergeseran ini, senada dengan yang didiktumkan J. Lacan bahwa “sayalah yang dengan pasti memandang dalam gambar di cermin.” Kemudian, berubah dalam cara pandang poskolonial bahwa “sayalah subjek Barat yang memandang ke Timur, tapi pada ahkirnya sayalah yang menjadi objek dalam gambar itu”. Subjek lalu menjadi narsis dalam melihat pantulan dirinya dalam subjek Barat dan mengikutinya. Hal ini merupakan fungsi strategis dominasi kekuasaan kolonial yang mengintensifkan pengawasan dan mencerminkan kuasa yang mendisiplinkan  lewat percontohan diri yang ideal di hadapan subjek penjajah Barat.

Sementara dalam praktek mimikri yang berkaca pada cermin itu ada hasrat untuk mengidentifikasi diri dengan subjek yang lain. Maka, mimikri dalam konteks ini mengandung kekhawatiran. Dalam proses keterasingan subjek di hadapan otoritas penjajah, subjek itu sadar bahwa dirinya cantik dan menarik setelah melihat bentuk tubuhnya dalam cermin itu ternyata mengalami berbedaan dengan tampilan yang “asli”, gambar dalam cermin.

Ia melihat keindahan dan nuansa aura gambar yang ditampilkan dalam cermin dengan mengidentifikasi dirinya yang sebenarnya dengan gambaran yang ada dalam cermin. Artinya, apa yang ada dalam cermin itulah yang dianggap benar dibandingkan dengan gambar dirinya sendiri.
Dengan demikian, mimikri selain mengapropriasi, menjinakkan, dan  menundukan, juga menjadi sebuah kegagalan-apropriasi. Ia meresistensi dengan memperbaiki, meregulasi dan mendisiplinkan Yang lain (The Other). Namun, waktu yang bersamaan, mimikri adalah juga tanda dari “yang tidak terapropriasi”, yang tak terjinakkan, sebuah pembedaan yang liar. Pendeknya, kegagalan kuasa untuk berkuasa adalah bermakna ganda.
Jadi, dalam proses menatap-balik bagaikan aksi memecahkan kaca dalam kasus mirror-image sehingga proses meniru Othering itu akhirnya berantakan. Dalam hal ini, subjek tak lagi bercermin dan melihat pantulan dirinya. Tetapi justru sudah memecahkan kaca itu dan menatap langsung pada pemberi cermin. Itulah dekolonisasi.


Referensi:
Anderson , Benedict. Imagined Communities. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1991
Baso, Ahmad. Islam pascakolonial. Tengerang Selatan: Pustaka Afid. 2016
Fanon , Frantz. Toward the africa revolution.
Loomba, Ania. Kolonialisme/pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang. 2003
Lacan. Seminar XI.







[1]  Lebih lengkap baca, Raffles. Jawa.

Posting Komentar

0 Komentar