Oleh: Herlianto A
Sumber: binarnews.blogspot.com |
Dalam buku Condition,
Alain Badiou menulis begini: we can, and we should, write new Republics
and Symposium for our contemporaries. Just as Plato wrote the Gorgias
and Protagoras for the great sophist, we should write the Nietzsche
and the Wittgenstein. And for minor sophist, the Vattimo and the Rorty.[1]
Terjemahan
bebasnya: kita bisa dan harus menulis Republik dan Simposium yang
baru untuk situasi kontemporer kita. Sebagaimana Plato menulis Gorgias
dan Protagoras sebagai kaum sofis yang mashur, kita harus menulis Nietzsche
dan Wittgenstein. Dan untuk kaum sofis yang lebih kecil Vattimo
dan Rorty.
Ujaran filsuf
Prancis ini, kurang dan lebihnya menyeret situasi kontemporer kita tak ubahnya
zaman Yunani, di mana Plato menghantam kaum sofis sekitar abad ke 3 SM. Kaum sofis
adalah orang-orang ahli retorika yang nihilis dan skeptis. Tokoh utamanya
bernama Gorgias dan Protagoras. Bagi Gorgias tak ada kebenaran, sekalipun ada,
tak dapat diketahui dan sekalipun diketahui tak dapat dikomunikasikan (nihilistik).
Sementara Protagoras menyandarkan kebenaran pada subjek, bahwa ukuran segalanya
bagi kebenaran adalah individu manusia itu sendiri. Relativisme ini pada puncaknya
melahirkan skeptisisme lantaran tak ada kepastian. Begitulah dua orang ini
mengajarkan pandangannya sembari mendapat bayaran.
Skeptisime dan
nihilisme ini ditentang Sokrates lewat dialog aporetik yang berhenti tanpa kesimpulan,
sehingga hasil dari dialog adalah bahwa para pendialog sama-sama tidak tahu.
Ketidaktahuan adalah satu-satunya kepastian. “Saya tahu bahwa saya tidak tahu,”
demikian Sokrates. Dialog-dialog yang membuat retorika sofis mandul ini dicatat
dengan telaten oleh Plato menjadi buku.
Buku itu diberi judul Gorgias
dan Protagoras. Dua buku ini membahas bagaimana Sokrates sebagai tokoh
utama mengakhiri argumen skeptik dan nihilistik kaum sofis. Selain dua buku ini
masih ada dialog lainnya dimana Sokrates “menghajar” para pengikut sofis, di antaranya:
Meno (tentang kebajikan dan pengetahuan), Xarmides (tentang
kemawasdirian), Lakhes (tentang keberanian), dan Lysis (tentang
persaudaraan).
Walaupun demikimian
cara-cara sofistik ini berhasil menyingkirkan Sokrates lewat suatu pengadilan.
Dengan ajarannya, Sokrates dituduh menistakan agama, menghina Dewa, dan merusak
“otak” kaum muda, akhirnya dia dihukum mati. Memang Sokrates sempat memberikan
pembelaan sebagaimana dicatat Plato dalam Apology, sempat juga ditawari
akan dicabut hukumannya asal bayar sejumlah uang, serta tawaran untuk melarikan
diri. Tetapi bagi Sokrates semua itu hanya justru mencemari kebenaran.
Kebenaran Sokrates pada akhirnya merenggut nyawanya sendiri, ia mati menenggak
racun.
Kaum sofis
dengan sistem demokrasi berbasis suara terbanyak telah berhasil menyingkirkan Sokrates.
Era itu, sofisme kian laku dijual khususnya bagi mereka yang ingin menjadi politisi,
dan siapapun yang berencana duduk di kursi kekuasaan. Artinya kemampuan
beretorika adalah modal utama masyarakat Athena untuk menuju “senayan”.
Sayangnya
pola bernegera demikian inilah yang juga menghancurkan Athena dalam perang
Pelophonesus menghadapi Sparta yang berlangsung selama 30 tahun. Perikles, raja
kebanggan Athena pun tumbang. Perang ini sebagaimana dicatat oleh Herodotus
dalam The Historis.
Itulah yang
membuat Plato tak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada demokrasi beserta
cukong-cukong sofis. Di tengah kecamuk itu, Plato menulis Republik dan Simposium
dimana dia menuangkan dialog-dialog Sokrates yang menunjukkan betapa nihilisme
dan skepstisime tak dapat lagi dipertahankan, termasuk demokrasi itu sendiri
dianggap bermasalah. Sebagai gantinya harus dipastikan kebenaran hakiki yang dia
sebut sebagai eidos (idea). Idea adalah realitas adiduniawi yang absolut,
dan padanya manusia mengacu.
Sementara,
sebagai lawan tanding demokrasi dia merumuskan king philosopher (filsuf
raja) yang membawanya setuju dengan aristokrasi. Negara harus dipimpin oleh
filsuf atau orang pintar. Orang pintar bukanlah mereka yang bergelar professor,
doktor, magister, habib, ustad apalagi sarjana. Setelah diberi kekuasaan
mengembat uang negara dan gemar dengan pornografi, orgasme masih menjadi lifestyle-nya.
Filsuf adalah mereka yang paling baik budinya dan bertanggung jawab pada
kebenaran dan berpedang teguh pada etika.
Rezim
Bahasa
Kenyataan Yunai
inilah, menurut Badiou, yang tengah terulang di era kontemporer ini. Salah dua
modus terbesarnya adalah modernisme dan postmodernisme di mana kebenaran
kembali dibenam dalam relativisme-skeptisisme dan nihilisme. Para pelopor sofisme
modern ini di antaranya yang terbesar adalah Friedrich Nietzsche dan Ludwig
Wittgenstein, serta dalam batas-batas tertentu Gianni Vattimo dan Richard Rorty.
Nietszche adalah
perumus nihilisme modern, bahwa
kebenaran itu telah hilang seiring matinya Tuhan. Tak ada lagi suatu makna
absolut yang dapat dijadikan pegangan, manusia dalam pencarian kepastiannya terombang
ambing seperti buih yang berada di tengah samudra, tak ada kepastian. Bahkan
manusia telah beramai-ramai menggali kuburan untuk Tuhan sebagai simbol dari
yang absolut. Hilangnya makna absolut ini ditangkap oleh kalangan posmodern
sebagai matinya narasi besar di luar subjek.
Semua yang
ditangkap oleh subjek tentang realitas tak lain hanyalah representasi dari
realitas dan bukan presentasi realitas itu sendiri. Dan, celakanya,
representasi tak selalu klop dengan presentasi, makna selalu tergelincir dari
pemaknaan. Makna senantiasa berbeda (different) dan tertunda (defer)
dari bahasa atau teks itu sendiri. Ini yang diperdalam lebih lanjut oleh
Derrida, Barthes, dan Umberco Eco.
Dedengkot
posmo itu merekrut semua realitas sebagai teks yang berarti bahwa ini kuburan
bagi makna absolut. Makna atau kebenaran itu sendiri tak lain, meminjam ekspresi Kant, das
ding an sich (sesuatu pada dirinya) yang bersifat noumena. Makna
menjadi bermakna hanya sejauh ditautkan dengan kepentingan subjek. Tanpa subjek
yang berkepentingan, maka tak ada makna. Makna selalu berelasi dengan yang
memaknai. Yang absolut hanya dapat berarti absolut bagi yang menginginkannya
tetapi tidak bagi yang lain. Inilah relativisme Protagoras yang menjelma dengan
wajah modern.
Kehampaan akan yang absolut ini
semakin menjai-jadi setelah tampilnya Wittgenstein. Filsuf lingkaran Wina ini mematok semuanya pada
bahasa. Tak ada sesuatupun yang dapat dipahami manusia terlepas dari bahasa. Apapun
yang tidak terbahasakan sama dengan ketiadaan sesuatu itu sendiri, lantaran tak
memiliki arti apa-apa bagi manusia. Sehingga dalam kontestasinya manusia hanya
mengotak-atik bahasa, tak lebih.
Termasuk dalam perkembangan
filsafat itu sendiri tak lain hanya sebagai language game (permainan
bahasa)—diktum mashur Wittgenstein—atau pemikir hanya “beronani” dengan
bahasnya sendiri. Toh, realitas itu sendiri tetap saja sebagaimana
adanya seberapun manusia menteorikan lewat bahasa. Dengan begitu, alih-alih
bahasa menjadi media, malah berkecenderungan menjustifikasi diri bahasa sebagai
realitas itu sendiri (ontologi). Menganggap bahasa sebagai yang ontologis, tentu
ini kesesatan. Bagitu juga yang dilakukan oleh Vattimo dan Rorty terhadap makna
absolut.
Sayangnya, dalam era permainan
bahasa ini Indonesia berkembang sembari membawa jargon-jargon demokrasi.
Alhasil, politisi-politisi yang lahir adalah politisi sofisian bukan Sokratian
yang lebih cinta pada retorika kosong ketimbang pada kesungguhan akan
kebenaran. Politisi yang keberpihakannya bukan pada rakyat tetapi
mendramatisasi argumen sehingga seolah-seolah pembela rakyat.
Begitulah yang
terjadi kalau kita lihat apa yang berkembang belakangan ini senayan. Hukum tak
lain hanyalah pentas adu retorika, otoritas penegak hukum bergeser pada se
mampu apa kita “cacicu”, benar jadi salah dan sebaliknya. Karena itu bayaran lawyer
menjadi mahal karena lumayan disuruh “cacicu”.
Kabar sedihnya, jika benar yang
dikomparasi oleh Badiou akan situasi ini, maka sebetulnya bangsa yang besar ini
tinggal menunggu waktu sebagaimana Athena jatuh dengan demokrasinya. Tetapi
semoga tidak, semoga segala sesuatunya segera disadari.
Dalam situasi yang demikian “galau”
ini, maka, tekan Badiou, generasi kontemporer perlu menulis buku berjudul Nietszche,
Wittgenstein, Vattimo, Rorty, Derrida, Barthes yang
isinya sebagaimana Plato menulis Protagoras dan Gorgias, yaitu
mengkritik habis ajaran-ajaran nihilistik dan skeptik. Pendeknya, mengubur
sofisme modern sehingga yang absolut dapat senantiasa dinikmati oleh umat. Jika
tidak, filsafat dan pemikiran kontemporer menjadi seburuk kaum sofis yang
justru anti-kebenaran.
Sejauh ini, lanjut Badiou dalam Conditions,
filsafat kontemporer yang berkembang justru dilumpuhkan (paralysed) oleh
“ajaran-ajaran sesat” posmodern. Filsafat kini tengah dibenamkan dalam suasana
historisisme akut, yang membuat kreativitas berpikir terpeti-eskan. Filsafat
justru bukan berpikir, melainkan menjadi penelusuran sejarah yang panjang tak
berkesudahan.
Dengan demikian Posmo telah jauh membawa filsafat tersesat dalam
rimba subjektvisme historis. Segenap pengetahuan manusia terkonstitusikan oleh
korelasinya dengan subjek. Realitas tidak bisa mandiri dari subjek, sehingga
yang absolutpun selalu terikat dengan subjek—dalam bahasa Quentin Meillassoux:
rezim korelasionis.
Dengan demikian, Badiou mengajak
para pemikir untuk menemukan kembali yang absolut yang independen dari subjek
itu, yaitu kebenaran yang absolut dan bukan kebenaran sejauh bertaut dengan
kepentingan subjek. Untuk memulainya, Badiou memberikan definisi tentang
filsafat yang kontras dengan apa yang pernah didefinisikan oleh Guattari dan Deleuze
dalam What Is Philosohy.
Jika pada Deleuze filsafat adalah seputasr
konsep-konsep, tetapi bagi Badiou filsafat adalah menemukan kebenaran (Truth).
Menempatkan filsafat pada olah konsep berarti masih menggantungkan filsafat pada
subjek dan berarti menolak yang independen-absolut. Tetapi akan berbeda jika
filsafat dimaknai sebagai kebenaran yang absolut. Begitulah, Badiou yang sedang
merindukan zaman Plato.
#filsafatmazhabkepanjen
[1]
Alain Badiou. Conditions. Translated by Steven Corcoran. New York:
Continuum. 2008., hal 21
0 Komentar