Aristotelianisme Dan Rasionalisme Islam

Oleh: Herlianto A
Sumber: islamalternatif.com
Salah satu peristiwa penting dalam konteks pemikiran Islam adalah masuknya pemikiran Aristoteles. Peristiwa ini turut membentuk rasionalisme Islam. Bahkan melahirkan komentator-komentator handal tentang Aristoteles, macam Al Khindi, Al Farabi, dan Ibn Rusdy. Yang juga cukup krusial dari itu adalah peripatetisme (sebutan bagi pengkut ajaran Arsitoteles) yang ternyata juga menjadi senjata ideologis dalam suksesi kekuasaan tertentu. Sehingga pertarungan pemikiran dalam konstruksi rasionalisme Islam tidak lepas dari upaya pertahanan kultural atas “kursi” tertentu.

Apa yang saya tulis dalam artikel ini merupakan review terhadap Formasi Nalar Arab karya Muhammad Abed Al Jabiri, khususnya di bagian III: Proses Formasi Sistem Pengetahuan Burhani. Pilihan pada bagian ini, semata-mata ingin kembali memberi penekanan pada sejarah pembentukan rasionalisme Islam.

Mimpi Al Ma'mun

Al Jabiri memaparkan masuknya Aristotelianisme secara besar-besaran diawali oleh mimpi Al Ma’mun, salah satu kholifah kenamaan dinasti Abbasiyah, bertemu seseorang yang duduk di tempat tidurnya dan terjadi dialog filosofis antar keduanya. Setelah ditanya namanya, orang berperawakan bijak dan kening lebar itu mengaku dirinya Aristoteles. Al Ma’mun lalu bertanya 3 hal: apakah yang disebut kebaikan? Aristoteles menjawab: “kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal”. “Kemudian apa lagi?” lanjutnya. “Apa yang dikategorikan baik oleh syara” tukasnya. “Kemudian apa lagi?” kejar Al Ma’mun. “Apa yang dipandang baik oleh jumhur (ijtihad),” timpal Aristoteles. Selain itu sudah tidak ada lagi.[1]

Mimpi inilah yang membuat al Ma’mun mohon izin pada Raja Romawi untuk disuplai buku-buku pra Islam, khususnya Aristoteles, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Buku pertama yang diterjemahkan adalah tentang Filsafat Alam oleh Yuhina al Bitriq (wafat 200 H) lalu disempurnakan oleh Hunain Ibn Ishaq (wafat 260 H). Kemudian Kategori-Kategori oleh Ibn Muqaffa’. Sementara Organon ditejemahkan oleh Muhammad putra dari Muqaffa antara tahun 158-170 H.


Penerjemahan buku-buku lainnya juga terus dilanjutkan, dan diperkirakan tuntas pada masa Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Zir’ah abad 4 H.[2] Dengan demikian, pemikiran Aristoteles yang sebelumnya hadir berupa serpihan-serpihannya dalam pemikiran Islam, maka dengan penerjemahan ini menjadi lengkap. Al Ma’mun mengembangkan Baitul Hikmah yang sebelumnya sudah dibangun oleh ayahnya, Harun Ar Rasyid, untuk menyimpan hasil terjemahan itu. Perpustakaan yang dikepalai oleh seorang farmakolog, Hunain Ibn Ishaq, ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Islam setelah Aleksandria.   

Al hasil pada era itu juga melahirkan komentator-komentator Aristoteles hebat. Di awali oleh Al Khindi (185-252 H). Dia secara rasional—berlawanan dengan golongan Almanawiyah, Syi’ah Batiniyah, dan Hermetisme secara umum—memahami jiwa manusia. Al Khindi mengadopsi ajaran Aristoteles tentang konstruksi pengetahuan manusia, yaitu akal potensial (al ‘aql bil al quwwah) dan akal aktual (al ‘aql bi al fi’l). Akal potensial adalah kesiapan jiwa menerima kategori-kategori atau spesia-spesia, sementara akal aktual adalah jiwa yang telah menerima kategori yaitu menyatunya antara genus dan spesia, yang oleh Al Khindi disebut al ‘aql al bayani. Pergeseran dari potensi ke aktual adalah suatu aksi yang disebabkan oleh kemampuan yang lain. Kemampuan yang lain itulah yang disebut al ‘aql al mustafad, yaitu kemampuan begerak (aksi) menjadikan potensi sebagai aktul.[3]

Kajian-kajian ini, pada eranya disebut “akal universal”, yang kemudian di lanjutkan oleh Al Farabi (260-339 H). Namun Al Farabi menempatkan tiga rangka akal Al Khindi pada persoalan akal ke sepuluh, yang sebelumnya melalui sembilan tahap akal lainnya. Namun begitu, ia termasuk salah satu yang menggaungkan “akal universal” termasuk sebagai pengusung Tuhan sebagai akal (pikiran), aqil (memikirkan) dan ma’qul (dipikirkan) sekaligus. Pola inilah yang melahirkan emanasi akal dari akal pertama hingga akal ke sepuluh.

Al Farabi juga terkenal dalam bidang logika. Di bidang ini jika Aristoteles disebut al mu’allim al awwal (guru pertama), maka dia adalah al mu’allim al tsani (guru kedua). Pendeknya, Al Farabi adalah Aristotelesnya orang Arab. Kesuksesan Al Farabi dalam bidang logika adalah tidak lepas  dengan kemampuannya menjelaskan logika yang tidak saja sebagai hukum berpikir tetapi juga memiliki fugsi sosial. Bahwa komunikasi antar masyarakat adalah terjadi dalam jalur logis.

“Jika perumusan logika secara keseluruhan menghasilkan aturan-aturan yang akan meluruskan akal, mengarahkan manusia pada jalan yang benar dalam setiap kategori yang memiliki kemungkinan terjadinya kekeliruan, maka wilayah aksi dari aturan-aturan ini memberikan batas-batas yang kita gunakan untuk mengoreksi apa yang ada pada kita, mengoreksi apa yang ada pada orang lain, dan digunakan orang lain untuk mengoreksi apa yang ada pada kita,”[4]

Selain itu, Al Farabi sukses mengenalkan istilah-istilah kunci logika, di antaranya: kategori (al ma’qulat), ungkapan (al ‘ibarah), silogisme (qiyas), dialektika (al jadal), sophisme (sufsuthah), retorika (al khitabah), dan syair (al syi’r). Istilah ini penting untuk membedakan satu pola argumentasi dengan argumentasi yang lain, apakah argumentasi silogisme atau sekedar retorika, dst. Hingga kini, istilah-istilah tersebut masih sangat common dalam pelajaran filsafat Islam. Dia juga berhasil menulis 70 buku penjelasan logika yang diajarkan oleh Abu Basyar Mata, seorang ahli logika Bagdad dimana Al Farabi pernah belajar padanya pada 300 H.

Secara ontologis, Al Farabi bertolak dari wujud yang mutlak (wajib al wujud), wujud yang baru dan wujud yang mungkin. Dengan pola ini, dia menjelaskan rumusan emanasinya (al faidh). Bahwa titik awal rasionalistas adalah wajib al wujud yang secara rasional tidak memerlukan argumentasi. Yang mutlak ini bersifat murni tidak kurang satu apapun, sehingga Dia memberikan pancaran bagi “keberadaan” sesuatu yang baru yang sebelumnya masih mungkin. Dengan demikian, sesuatu selain Dia adalah pancaran dari kesempurnaannya. Gagasan inilah yang ditolak Al Ghazali lantaran meniadakan proses penciptaan dan mengabadikan.

Ibn Sina (370-428 H) termasuk salah satu tokoh yang turut membangun rasionalitas Islam dengan spirit peripatetisisme. Dia membagi pemikir Islam kedalam dua kubu: blok timur (masyriqiyin) yaitu Persia yang merupakan tanah kelahirannya sendiri, masuk di dalamnya Ikhwan Al-Shafa dan filosof Isma’iliyah, di antaranya: Al-Balki, Al-Naisaburi, dan Al-‘Amiri. Sedangkan blok barat (magribiyin) yaitu para ulama Bagdad yang diayomi oleh Abbasiyah, di antaranya: Al Khindi, Al Farabi dan Al-Sajastani.

Untuk mengkritik golongan Bagdad, Ibn Sina menulis Mantiq al Masyriqiyin sebagai alternatif atas cara-cara orang magribiyin yang dianggap monoton dalam meniru logika Aristoteles. Selanjutnya, menulis buku filsafat Al Syifa yang berisi tentang pandangannya terhadap pemikir terdahulu pra Islam dan filsafat lebih luas. Secara khusus, menulis tentang filsafat ketimuran (al falsafah al masyriqiyah). Al Isyarat wat Tanbihat tentang prinsip ketuhanan dan agama. Ibn Sina juga dikenal sebagai The Father of Doctors (bapak dari para dokter) dengan bukunya Al Qanun di al Tibb.

Tentang jiwa dan pengetahuan, Ibn Sina berbeda dengan pandangan Bagdad. Jika blok Bagdad masih melihat keterkaitan antara jiwa dengan badan. Maka Ibn Sina memisahkannya sama sekali, keduanya adalah esensi yang berbeda. Jiwa adalah esensi spritual independen yang kekal, ia turun ke tubuh manusia dari tempat yang tinggi.[5] Jiwa akan kembali kepada yang ilahi setelah melalui proses penyucian diri. Dalam hal ini, kecurigaan Al Jabiri, Ibn Sina masih berbau Hermetisme atau irfan tetapi diberi penguatan rasional, yang dikenal dengan “tasawuf rasional”.    

Krisis Asas

Penggunaan nalar Aristotelian oleh Al Ma’mun, menurut Al Jabiri, tidak serta merta sebagai wujud kecintaan dirinya (apalagi Islam) terhadap pengetahuan. Tetapi lebih krusial dari itu adalah sebagai upaya ideologis dan kultural untuk menguatkan posisi kekuasaannya. Karena pada masanya, kekuasaan al Ma’mun mendapat rongrongan golongan Batiniyah, Almanawiyah, dan penganut Hermetisme lainnya yang cenderung agnostik dengan monomer-duakan akal dalam konstruksi pengetahuan—dalam bahasa Jabiri golongan “irasionalitas rasional”. Maka pemikiran rasional Aristoteles—yang menghadirkan “rasionalitas rasional”—beserta perangkat logikanya, dapat meredam mereka secara ideologis dan bahkan menggebuknya melalui legitimasi ideologis tersebut. Dengan menyebut mereka sebagai zindiq atau kafir. Tentu saja orang kafir halal darahnya untuk ditumpahkan.

Benar saja setelah Al Mutawakkil berkuasa terjadi revolusi Sunni, ideologi negara berubah lagi. Kini menganut pendekatan ahli sunnah, yang sayangnya menurut Jabiri justru terjadi krisis asas dimana rasionalitas kembali “dikerdilkan”. Pada era kejayaan Sunni, Al Ghazali (450-505 H) merupakan tokoh penting dalam melakukan counter ideology terhadap rasionalitas yang dibawa oleh Al Farabi dan Ibn Sina. Tahafut Al Falasifah yang ditulis 488 H merupakan magnum opus yang menggemparkan. Dia menulis 20 kerancuan filosof pendahulunya. Lewat buku itu, Ghazali tidak hanya berbicara kritik filsafat tetapi juga bicara fiqih, karena itu dia menghukumi haram dan kafir bagi kaum filosof yang menerima tiga hal: kekekalan alam, Tuhan tidak tahu yang partikular, dan tidak adanya kebangkitan jasad.

Ghazali merupakan seorang pengabdi pada kekuasaan (negara), dia pernah menulis al Mustazhiriy fi al-Rad ‘ala Batiniyah atas permintaan Al Mustazhir, sultan Saljuk (429-458 H) untuk menentang kalangan Batiniyah pimpinan Hasan Al-Sabah.[6] Tak hanya itu, filsafat secara umum yang berkembang saat itu juga minta dilibas, dicurigai lahirnya Tahafut Al Falasifah juga atas perintah sang Sultan.

Ideologisasi Sunni lewat tulisan-tulisan Al Ghazali berhasil dengan baik. Alhasil cara pandang Ghazali membuat kalangan Batiniyah dan Syi’ah Ismailiyah babak belur dikejar-kejar. Mereka adalah golongan yang selalu berupaya menggoyang kursi kekuasaan. Pendidikan ideologi ini dimulai dari Madrasah Nizamiyah yang mulanya dipimpin oleh Imam Haramain. Pendidikan yang diberikan adalah mazhab Syafi’i dalam fiqih dan Asy’ariyah dalam akidah. Al Ghazali sendiri merupakan salah satu guru besar di madarasah tersebut.

Dalam konstruksi pengetahuan, Al Ghazali termasuk yang meyakini bahwa rasionalitas ada pada batas-batas tertentu dalam menggapai pengetahuan. Bahkan dalam konteks mu’jizat sama sekali tidak dapat dijangkau oleh rasionalitas, ini sebagaimana ditulis dalam Tahafut poin ke 17. Dengan demikian alternatif yang ditawarkan adalah jalan tasawuf, yang melampuai indera dan akal. Hilangnya pendekatan rasionalitas yang sebelumnya dibangun oleh Al Khindi, Al Farabi dan Ibnu Sini inilah yang diebut oleh Jabiri sebagai krisis asas. 

Hingga akhirnya muncul Ibn Hazm, Ibn Bajjah, dan Ibn Rusdy. Ibn Hazm kembali berupaya merasionalkan agama. Bahwa tak ada ajaran-ajaran Islam yang bertentangan dengan akal. Bahkan Alquran sendiri semuanya rasional. Dia menyebut Alquran sebagai “Kitabun Mubin”, yaitu semua yang qura’ani adalah masuk akal dan semua yang masuk akal adalah qur’ani.

Ibn Rusdy (520-595 H) melakukan pembacaan yang lebih komprehensif atas Aristoteles. Dia berupaya membuat suatu jalinan yang kuat antara agama dengan filsafat. Itu sebagaimana dituang dalam Fashl al Maqal fi ma Bain al Hikmah wa al Syariah min al Ittishal. Juga menulis Tahafut at Tahafut untuk meredam ajaran Al Ghazali. Dia berupaya menunjukkan dengan lebih jernih ajaran filsuf-filsuf yang dikritik Ghazali. Kemudian menjelaskan Aristoteles dan meringkas buku-bukunya.

Salah satu kritik pentingnya atas al Ghazali adalah bahwa Ghazali tidak mengkaji filsafat pada tataran ushul, melainkan hanya melalui pernyataan Ibn Sina dan Al Farabi, sehingga memiliki banyak keterbatasan. Sementara pemikiran mereka bukanlah representasi filsafat secara keseluruhan. Sehingga kritik Ghazali bukan pada filsafat, tetapi semata-mata hanya pada cara pandang Ibn Sina dan Al Farabi. Karena itu Tahafut Al Falasifah tidak cocok dijadikan senjata  untuk menolak filsafat. Dengan demikian, Ibn Rusdy mengembalikan rasionalisme Islam yang sempat redup di era Ghazali.

Yang menarik lainnya adalah posisi Ibn Rusdy yang berada di Eropa justru menjadi pintu masuk Aristotelianisme ke Eropa. Sehingga kala itu pemikiran Ibn Rusdy sempat mempengaruhi kaum Nasrani dalam berkeyakinan terhadap agamanya. Alhasil, Paus perlu mengutus Thomas Aquinas untuk melawan ajaran Ibn Rusdy. Tetapi, pendekatan ilmu pengetahuan yang dikembangkan Ibn Rusdy dari Aristoteles terus dipegang teguh oleh Eropa. Dan bisa jadi ini menjadi salah satu sebab mengapa Barat hingga kini maju secara ilmu pengetahuan.

Jadi, proses formasi rasionalisme Islam adalah proses yang panjang dan syarat kepentingan politik. Kita berani bilang bahwa mimpi Al Ma’mun adalah mimpi yang politis. Namun demikian, itu memberi dampak yang positif dalam kemajuan berpikir dan ilmu pengetahuan. Aristotelianisme yang cukup banyak memberi warna terhadap konstruksi epistemologi Islam, bukanlah pilihan yang kebetulan tetapi pilihan yang cocok dengan kekuasaan kala itu.

 




[1] Hal 327
[2] Hal 348
[3] Hal 353
[4] Hal 361
[5] Hal 394

Posting Komentar

0 Komentar