Oleh: Herlianto A
Sumber: radiofm.com |
Sulit rasanya meyakini bahwa merebaknya film seri tokoh akhir-akhir ini merupakan bagian dari upaya menghadirkan kembali teladan perlawanan, patriotisme bernegara, bermasyarakat, dan berkeadilan. Malah hanya momentum krisis moral di bangsa ini yang dimanfaatkan dengan tepat untuk improvisasi peningkatan laba kapitalis lewat sastra visual, perfilman. Untuk menjawab dua dugaan ini tentulah tidak sederhana.
Karenanya
nyatanya bangsa ini memang sedang digoncang oleh persoalan keteladanan, tak
sedikit tetua-tetua terjerat tindakan amoral yang membuat bangsa ini malu, malu
pada diri sendiri sebagai bangsa yang berkepribadian dalam berbudaya. Tetapi
juga tidak bisa diabaikan bahwa melalui membangkitkan kisah-kisah tokoh
perjuangan lewat film tersebut membuat produksi perfilman meraup untung
miliaran rupiah.
Jika
demikian, bahwa krisis teladan dimanfaatkan dengan tepat oleh agen kapitalis
melalui sentuhan kepahlawanan dan keteladanan memiliki kemungkinan benar. Maka,
pertanyaanya selanjutnya akan menjadi praktis yaitu sikap moral apa yang mesti
kita ambil? Mendukung atau tidak mendukung? Nonton atau tidak nonton? Karena
menyangkut semangat patriotisme dan bahkan tokoh-tokoh idola yang dibacanya
selama ini.
Misalnya,
bagaimana mungkin orang-orang NU tidak nobar Sang Kiayai dimana
KH Hasyim Asy’Ari divisualisasikan. Batapa tertutup hatinya orang Muhammadiyah
jika tidak nonton Sang Pencerah dimana sang pendiri organisasi
berlambang matahari, M. Dahlan, seakan dihidupkan kembali. Dan beberapa film
tokoh lainnya yang menyentuh spirit nasionalisme seperti Sukarno dan HOS.
Tjokroaminot.
Tampaknya
masing-masing film ini mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Peminatnya
membeludak dari berbagai kalangan: tua-muda, aktivis-non aktivis, para
akademisi, hingga sebagian politisi. Kenyataan ini menambah kuat bahwa ada
semacam kehausan dalam diri masyarakat bangsa ini akan sosok panutan yang bisa
diikuti jejaknya. Ada rasa kehilangan sang imago monde dalam
mengarungi samudera kehidupan, baik sebagai diri pribadi maupun sebagai bagian
dari keutuhan bernegara. Hadirnya film tokoh ini ada harapan besar
sebagai oase bagi kehidupan moral yang sudah tak kepalang
gersangnya.
Reduksi Kebesaran Tokoh
Para
produksi film cukup pandai membaca kehausan tersebut. Alhasil ada resonansi
yang kuat antara dua momentum: kehausan keteladanan dan antusiasme penonton.
Wajar jika kemudian film tokoh ini mengalami sukses besar dibidang finansial.
Namun
demikian, tak sedikit penonton film ini dikecewakan oleh nuansa filmnya yang
sama sekali tak sesuai harapan. Terjadi pereduksian berlebihan terhadap tokoh
yang difilmkan. Sukarno dalam film Sukarno direduksi menjadi
lelaki yang terus-terusan galau dengan wanita dan Sjahrir tak lebih dari
seorang pemarah yang punya kontrol emosi. Sang Kiayi juga
demikian, perjuangan panjang KH. Hasyim Asy’Ari hanya menjadi beberpa jam,
padahal memahami kitabnya saja membutuhkan waktu berhari-hari. Hal yang sama
terjadi juga pada hampir semua film tokoh.
Dari sini
ada semacam keterburu-buruan sutradara dalam mengkaji dan memahami sang tokoh,
sehingga visualisasi yang dihadirkan tidak begitu matang dan parsial. Memang
tidak mudah menghadirkan tokoh tertentu secara utuh dalam bentuk visualisasi.
Reduksi akan menjadi satu keniscayaan. Tetapi jika betul-betul dikerjakan
dengan penuh ketelatenan dengan jumlah waktu yang panjang, hasilnya mungkin
bisa lebih sempurna.
Kita bisa
mafhum dari ketergesaan ini, tentu untuk mengejar momentum yaitu situasi sosial
dan situasi psikologis masyarakat yang sudah psimis dengan kepemimpinan dan
kekuasaan yang ada. Keadaan masyarakat yang demikian adalah situasi yang
dinantikan bagi hadirnya film keteladanan semacam itu. Sehingga kapitalisasi
tepat menembak di jantung kegelisahan masyarakat. Memang harus kita pahami,
inilah satu kecerdasan kapitalis yang mana pergeserannya ibarat air yang terus
meresap dan mengalir ke dalam seluk-beluk budaya dan kekayaan keteladanan yang
ada.
Sehingga
sangat sulit diidentifikasi, bahkan menjebak ke dalam argumentasi-argumentasi
yang sangat intelektualistik dan spritulistik. Kenyaatan ini tampak jelas bahwa
film tokoh yang hadir pada kita bukan semata-mata keteladanan tetapi ada yang
lebih besar dari itu yaitu laba. Atau bisa kita sebut kapitalisasi moral tokoh.
Saya
tidak dalam posisi menilai film itu dari sudut perfilmannya. Tentu saya tidak
punya kapasitas untuk itu. Melainkan mencoba memahami bagaimana sutradara dalam
membaca tokohnya. Apa yang hadir dalam film itu merupakan pemahaman sang
sutradara terhadap tokoh setelah membaca sekian buku.
Itupun kalau membaca, bisa jadi membaca naskah dialog yang begitu pendek. Pada
titik ini, sangat terlihat pereduksian yang luar biasa.
Sikap Moral Kita
Sikap
moral ini berkaitan dengan penilaian kita terhadap film tersebut serta apa yang
akan kita lakukan. Artinya ini berkaitan terhadap nilai film. Nilai berarti
seberapa bermanfaat bagi kita, para penikmat film. Apakah betul manfaatnya
sebagaimana diharapkan: menjadi oase keteladanan di padang
kiris keteladanan? Menurut saya sama sekali tidak memberikan manfaat itu pada
penikmatnya. Para penonton yang hadir dengan membayar sejumlah uang itu
dasarnya hanya “penasaran.” Ingin tahu bagaimana sang tokoh divisualkan.
Selebihnya hanya mengisi waktu dan mencari hiburan. Setelah nonton pun tak ada
gereget lagi untuk mengulangi nonton itu lagi. Seakan tak ada lagi sesuatu yang
bisa dipelajari lebih lanjut dari film itu.
Lantas
bagaimana pilihan sikap kita? Pertama, sebagai karya sastra film
harus diapresiasi sebagaimana layaknya suatu karya yang berhasil dituntaskan.Kedua,
soal mau nonton atau tidak itu kembali pada masing-masing individu. Individu
yang berhak karena invidu juga yang membayar. Ketiga, kita harus
tetap kritis terhadap setiap upaya membentukan world view kita
termasuk yang dibentuk lewat film.
0 Komentar