Oleh: Herlianto A
Mazhabkepanjen.com - Membincang realitas Islam, kerap kali kita
dihadapkan pada dualisme timpang yang terus menjangkit dalam diri umat yaitu Yang Melangit (the sky) dan Yang Membumi (the earth). Melangit mengabaikan bumi. Dalam hal ini, Islam direduksi pada soal ilahiyat yang tak punya kepentingan dengan emansipasi
material (sosial).
Langit (red: spiritual) diputus dengan bumi (red: material)
dan berbeda jenis antar keduanya sehingga tak ada kesatuan. Agma (Islam)
kemudian mendapati spirit yang disjungtif dengan kenyataan material yang
sebetulnya ingin disambungkan oleh kemunculannya. Itulah sebabnya, satu orang
berkali-kali umroh dan haji, namun tetangganya perutnya keroncongan. Anak-anak
muslim tak bisa sekolah, dst.
Yang ditokohkan secara agama tak sedikit
melokalisir diri pada barisan dan panggung spritual belaka dengan
teriakan-teriakan pertobatan dan ketundukan, lalu menjauhi masyarakatnya yang tertindas. Rantai bumi ke langit
diamputasi sehingga membiarkan bumi bergejolak sendirian.
Dualitas ini
secara epistemik tidak menyelesaikan persoalan antara lempeng spritualitas dan
materialitas, antara sumur idea yang jeluk dan memesis yang
nisbi. Umat kesulitan menemukan argumentasi mengapa mereka bersimbah di garis
kemiskinian, sebagai petani, buruh, dan kaum teralienasi lainnya. Sementara
agen yang diharapkan untuk mengakhiri kesedihan ini justru ke atas panggung
“hura-hura spritual” dan “pesta rohani lainnya” yang terus menjauh dari
realitas.
Kenyataan inilah yang ingin diantisipasi oleh
buku Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme ditulis
Hassan Hanafi, pemikir Islam kontemporer yang masyhur. Sebagai pemikir yang
disebut-sebut bercorak kiri Islam, Hanafi memang menawarkan pandangan
yang fresh dalam melihat kehadiran Islam di tengah-tengah
kecamuk sosial. Dia berupaya menurunkan Islam yang sedang terbang di atas awan agar mendarat ke lapangan udara realitas. Alih-alih menjadikan Islam alat pemuas
rohani, dia meletakkan Islam sebagai senjata perlawanan bagi kaum buruh dan
petani, akidah adalah senjata revolusi.
Hakikatnya, Islamologi 2 hadir
melengkapi Islamologi I: Dari Teologi Statis ke Anarkis yang
menguak cara “melarikan diri” dari kungkungan teologis ke kebebasan insaniyah.
Buku ini membuka worldview pada umumnya yang penuh kabut
dengan menunjukkan satu epistemik bahwa langit dan bumi bukanlah perbedaan
jenis, melainkan perbedaan level. Antara Tuhan dan materi (manusia) bukanlah
perbedaan spesies ataupun genus.
“Relasi antara Allah dan dunia bukanlah relasi
independen, melainkan integral, yang merepresentasikan perbedaan dalam derajat
bukan dalam jenis.”[1]
Jadi materi adalah segaris lurus dengan Tuhan dengan derajat yang bebeda. Dengan
begitu perlawanan atas nama kemiskinan bagian dari perjuangan ilahiah.
Konstruksi ini menyebabkan pergeseran epistemik dari
rasiolis ke empiris dan dari pendekatan spiritual ke material dimungkinkan.
Materialitas dengan segala partikularitasnya menjadi titik berangkat menuju
universal absolut.
Ruang kontekstualisasi atas Alquran terbuka lebar,
sebagaimana ia turun sesuai dengan konteksnya (asbabun nuzul) saat itu.
Alih-alih Alquran sebagai kitab doktrin, justru sebagai kitab perlawanan.
Kisah-kisah Alquran adalah kisah-kisah pembebasan dan perlawanan. Manusia
semestinya melakukan perjalanan dari bumi ke langit dan ke bumi lagi untuk
mempraktiskan yang didapat di langit.
Filsafat dan rasio kemudian menemukan momentum
pentingnya untuk memperluas kajian-kajian epistemik dalam Islam. “Rasio adalah
asas keimanan, filsafat adalah alat ukur agama, dan hikmah adalah kriteria atau
standar syari’at. Harmonitas bukan hanya pada akhirnya, yaitu hakikat tetapi
juga dalam medium artifisialnya, yaitu rasio,” “Filsafat adalah saudara
sepersusuan bagi syari’at (yurisprudensi) yang pembawaannya saling menyintai.” demikian kutipan penting Hassan HAnafi dalam buku ini.[2]
Menganotasi Filsafat Yunani
Dengan penuh romantisme, sebagaimana Abed Al
Jabiri, Hanafi kembali pada abad kejayaan pemikiran Islam antara
abad 7 M hingga 11 M, di situ berdiri Al Farabi, Ibn Sina hingga Ibnu Rusyd. Tokoh-tokoh ini
merupakan komentator terkemuka filsfata Yunani khususnya Aristoteles. Bagi
Hanafi mereka tidak hanya sekedar transliterator tetapi anotator yang
tidak hanya mengubah kata atau ungkapan yang satu ke kata yang lain, tak hanya
mengubah bahasa Yunani ke bahasa Arab malainkan lebih dari itu, yaitu menjelaskan dan mengembangkannya.
Anotasi adalah
uapaya kajian atas sesuatu itu sendiri, tidak cukup hanya berada pada tataran
ungkapan namun beranjak pada tataran lain yang lebih dalam. Dan, berlindung pada
tataran ketiga yang lebih dalam. Sehingga memungkinkan rekonstruksi secara
teoritis murni.[3] Cara-cara
demikian membuat pemikiran Yunani kawin dengan pemikiran Islam.
Para tokoh ini sekaligus menjadi dua bab khusus
dalam buku fenomenal ini. Di sini Hanafi tidak sedang menjelaskan jajaran
pengikut peripatetik dalam Islam, tetapi ada hal penting yang menjadi titik
penting pemikirannya yaitu rasionalisasi pertemuan antara yang transenden dan
imanen yang itu ditemukan pada Aristoteles. Itulah sebabnya dia tidak
mengangkat pemikir Yunani hebat lainnya, Plato yang bahkan guru Aristoteles
sendiri. Plato menyisakan dualitas alam idea (forma) dan materia atau
dunia (hyle) yang terpisah yang ingin dipertemukan oleh Hanafi.
Aristoteles berhasil mempertemukan forma dan hyle,
bahwa bentuk merupakan satu kesatuan dengan materi sebagaimana kita melihat
bentuk meja dengan material meja yang tidak dapat dipisahkan. Teori ini
disebut hylemorfisme. Ini dikembangkan oleh Al Farabi dan Ibnu
Rusyd sehingga nilai-nilai ketuhanan melakat pada nilai-nilai kemanusiaan.
Maka membebaskan manusia dari penindasan dan penyiksaan merupakan tugas
keagamaan paling hakiki karena di situ ada pancaran keilahian.
Dengan pendekatan tersebut, pemikir kiri Islam
ini mempertemukan Tuhan dengan para buruh dan petani yang tereksploitasi
secara struktural oleh rezim kapitalis. Sebagaimana Marx berbicara
bagaimana membebaskan buruh dan petani, Hanafi menambah satu kekuatan lagi yang
bahkan lebih radikal yaitu spritual. Alih-alih menjadikan agama sebagai candu,
malah sebagai satu kekuatan dahsyat yang berdampingan dengan kekuatan material. Ini pulahlah yang membuat dia sering disebut juga teoritisi Teologi Pembebasan.
Iluminasi dan Fenomenologi
Di akhir bab buku ini, secara khusus Hanafi
mengkomparasi kesamaan Iluminasi ala Surahwardi dengan Fenomenologi Husserl. Menurutnya
dua tokoh ini muncul pada waktu berkembangnya filsafat di wilayah dan zamannya
masing-masing. Suhrawardi hadir pada saat peradaban Islam mengalami keretakan
paradigmatis antara persepsi teoritis kalangan teolog dan filsuf dengan
paradigma perasaan kaum sufi, atau antara kekuatan rasional dengan
kekuatan hati. Iluminasi hadir untuk mendamaikan dua pendekatan tersebut dengan
konsepnya: teosofi.[4]
Sementara Husserl juga dihadapakan pada dua
gelombang yang berhadapan secara diametral. Yang satu menuju ke atas yaitu
rasionalisme ala Descartes, Spinoza, dan Leibnis, dan yang lainnya menuju ke
bawah yaitu empirisme ala J. Locke, T. Hobbes, D. Hume, dan J.S. Mill. Husserl
datang untuk mendamaikan dua gelombang tersebut, formal dan material,
menuju kesadaran fenomenologi transendental. Pada aspek ini Husserl
memiliki kepentingan yang sama sebagaimana Suhrawardi dalam peradaban Islam,
mengunifikasi rasionalisme dengan empirisme ke dalam pengalaman empirik yang
dinamis dalam kesadaran.[5]
Dari narasi dua tokoh ini, pemikir kiri Islam
ini kembali memberi penekanan pada linearitas antara hati dan pikirian, serta
antara indera dan rasio. Hati dan pikiran merupakan pertempuran di ring
teologi, sementara indera dan rasio di ring ilmiah. Dengan dipertemukannya dua
pradigma diametral tersebut maka perjalanan hati dapat dijelaskan secara
rasional, dan data empiris adalah bahan bagi rasio untuk bernalar lebih jauh.
Di sini, lagi-lagi Hanafi menurunkan
transendalitas dan segenap teori yang berpotensi mengabaikan materilitas demi
spritualitas. Keduanya adalah satu unifikasi yang linear. Sehingga tak ada
alasan lagi untuk mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi nilai keilahian.
Nilai kemanusian adalah nilai keilahian itu sendiri. Perjuangan dan ibadah
tertinggi bukan hanya salat dan duduk berzikir, melainkan tak kalah tinggi
perjuangan membebaskan kemiskinan, menggalang kekuatan buruh dan petani untuk
kehidupannya yang lebih baik dan terlepas dari eksploitasi.
Buku Islamologi 2 ini memiliki
pendasaran teoritis yang kuat untuk membangun gerakan dari bawah ke atas. Jika
Marx menurunkan materialisme alam sebagai melulu interpretasi kosmos ke
materialisme sosial yang dekat dengan realita melalui materilisme dialektika
dan materislisme historis. Maka Hanafi menurunkan transendensi Islam ke
spritualitas bumi sebagai senjata epistemik untuk membangun keadilan dan
kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, tak pelak lagi buku ini
merupakan buku penting di abad 21 ini. Penting dibaca dan dipahami tidak hanya
oleh mereka yang peduli pada buruh tetapi juga agamawan-agaman yang masih
alergi untuk berdiri dibarisan depan gerakan petani dan
buruh.
0 Komentar