Melawan Penindasan secara Ilahiah

Oleh: Herlianto A
Ilustrasi kemiskinan. (Foto: Pixabay)


Mazhabkepanjen.com - Membincang realitas Islam, kerap kali kita dihadapkan pada dualisme timpang yang terus menjangkit dalam diri umat yaitu Yang Melangit (the sky) dan Yang Membumi (the earth). Melangit mengabaikan bumi. Dalam hal ini, Islam direduksi pada soal ilahiyat yang tak punya kepentingan dengan emansipasi material (sosial). 

Langit (red: spiritual) diputus dengan bumi (red: material) dan berbeda jenis antar keduanya sehingga tak ada kesatuan. Agma (Islam) kemudian mendapati spirit yang disjungtif dengan kenyataan material yang sebetulnya ingin disambungkan oleh kemunculannya. Itulah sebabnya, satu orang berkali-kali umroh dan haji, namun tetangganya perutnya keroncongan. Anak-anak muslim tak bisa sekolah, dst.

Yang ditokohkan secara agama tak sedikit melokalisir diri pada barisan dan panggung spritual belaka dengan teriakan-teriakan pertobatan dan ketundukan, lalu menjauhi masyarakatnya yang tertindas. Rantai bumi ke langit  diamputasi sehingga membiarkan bumi bergejolak sendirian. 

Dualitas ini secara epistemik tidak menyelesaikan persoalan antara lempeng spritualitas dan materialitas, antara sumur idea yang jeluk dan memesis yang nisbi. Umat kesulitan menemukan argumentasi mengapa mereka bersimbah di garis kemiskinian, sebagai petani, buruh, dan kaum teralienasi lainnya. Sementara agen yang diharapkan untuk mengakhiri kesedihan ini justru ke atas panggung “hura-hura spritual” dan “pesta rohani lainnya” yang terus menjauh dari realitas.

Kenyataan inilah yang ingin diantisipasi oleh buku Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme ditulis Hassan Hanafi, pemikir Islam kontemporer yang masyhur. Sebagai pemikir yang disebut-sebut bercorak kiri Islam, Hanafi memang menawarkan pandangan yang fresh dalam melihat kehadiran Islam di tengah-tengah kecamuk sosial. Dia berupaya menurunkan Islam yang sedang terbang di atas awan agar mendarat ke lapangan udara realitas. Alih-alih menjadikan Islam alat pemuas rohani, dia meletakkan Islam sebagai senjata perlawanan bagi kaum buruh dan petani, akidah adalah senjata revolusi.    

Hakikatnya, Islamologi 2 hadir melengkapi Islamologi I: Dari Teologi Statis ke Anarkis yang menguak cara “melarikan diri” dari kungkungan teologis ke kebebasan insaniyah. Buku ini membuka worldview pada umumnya yang penuh kabut dengan menunjukkan satu epistemik bahwa langit dan bumi bukanlah perbedaan jenis, melainkan perbedaan level. Antara Tuhan dan materi (manusia) bukanlah perbedaan spesies ataupun genus. 

“Relasi antara Allah dan dunia bukanlah relasi independen, melainkan integral, yang merepresentasikan perbedaan dalam derajat bukan dalam jenis.”[1] Jadi materi adalah segaris lurus dengan Tuhan dengan derajat yang bebeda. Dengan begitu perlawanan atas nama kemiskinan bagian dari perjuangan ilahiah.

Konstruksi ini menyebabkan pergeseran epistemik dari rasiolis ke empiris dan dari pendekatan spiritual ke material dimungkinkan. Materialitas dengan segala partikularitasnya menjadi titik berangkat menuju universal absolut. 

Ruang kontekstualisasi atas Alquran terbuka lebar, sebagaimana ia turun sesuai dengan konteksnya (asbabun nuzul) saat itu. Alih-alih Alquran sebagai kitab doktrin, justru sebagai kitab perlawanan. Kisah-kisah Alquran adalah kisah-kisah pembebasan dan perlawanan. Manusia semestinya melakukan perjalanan dari bumi ke langit dan ke bumi lagi untuk mempraktiskan yang didapat di langit.

Filsafat dan rasio kemudian menemukan momentum pentingnya untuk memperluas kajian-kajian epistemik dalam Islam. “Rasio adalah asas keimanan, filsafat adalah alat ukur agama, dan hikmah adalah kriteria atau standar syari’at. Harmonitas bukan hanya pada akhirnya, yaitu hakikat tetapi juga dalam medium artifisialnya, yaitu rasio,” “Filsafat adalah saudara sepersusuan bagi syari’at (yurisprudensi) yang pembawaannya saling menyintai.” demikian kutipan penting Hassan HAnafi dalam buku ini.[2]  

Menganotasi Filsafat Yunani

Dengan penuh romantisme, sebagaimana Abed Al Jabiri, Hanafi kembali pada abad kejayaan pemikiran Islam antara abad 7 M hingga 11 M, di situ berdiri Al Farabi, Ibn Sina hingga Ibnu Rusyd. Tokoh-tokoh ini merupakan komentator terkemuka filsfata Yunani khususnya Aristoteles. Bagi Hanafi mereka tidak hanya sekedar transliterator tetapi anotator yang tidak hanya mengubah kata atau ungkapan yang satu ke kata yang lain, tak hanya mengubah bahasa Yunani ke bahasa Arab malainkan lebih dari itu, yaitu menjelaskan dan mengembangkannya. 

Anotasi adalah uapaya kajian atas sesuatu itu sendiri, tidak cukup hanya berada pada tataran ungkapan namun beranjak pada tataran lain yang lebih dalam. Dan, berlindung pada tataran ketiga yang lebih dalam. Sehingga memungkinkan rekonstruksi secara teoritis murni.[3] Cara-cara demikian membuat pemikiran Yunani kawin dengan pemikiran Islam.

Para tokoh ini sekaligus menjadi dua bab khusus dalam buku fenomenal ini. Di sini Hanafi tidak sedang menjelaskan jajaran pengikut peripatetik dalam Islam, tetapi ada hal penting yang menjadi titik penting pemikirannya yaitu rasionalisasi pertemuan antara yang transenden dan imanen yang itu ditemukan pada Aristoteles. Itulah sebabnya dia tidak mengangkat pemikir Yunani hebat lainnya, Plato yang bahkan guru Aristoteles sendiri. Plato menyisakan dualitas alam idea (forma) dan materia atau dunia (hyle) yang terpisah yang ingin dipertemukan oleh Hanafi.

Aristoteles berhasil mempertemukan forma dan hyle, bahwa bentuk merupakan satu kesatuan dengan materi sebagaimana kita melihat bentuk meja dengan material meja yang tidak dapat dipisahkan. Teori ini disebut hylemorfisme. Ini dikembangkan oleh Al Farabi dan Ibnu Rusyd sehingga nilai-nilai ketuhanan melakat pada nilai-nilai kemanusiaan. Maka membebaskan manusia dari penindasan dan penyiksaan merupakan tugas keagamaan paling hakiki karena di situ ada pancaran keilahian.

Dengan pendekatan tersebut, pemikir kiri Islam ini  mempertemukan Tuhan dengan para buruh dan petani yang tereksploitasi secara struktural oleh rezim kapitalis. Sebagaimana Marx berbicara bagaimana membebaskan buruh dan petani, Hanafi menambah satu kekuatan lagi yang bahkan lebih radikal yaitu spritual. Alih-alih menjadikan agama sebagai candu, malah sebagai satu kekuatan dahsyat yang berdampingan dengan kekuatan material. Ini pulahlah yang membuat dia sering disebut juga teoritisi Teologi Pembebasan.

Iluminasi dan Fenomenologi
           
Di akhir bab buku ini, secara khusus Hanafi mengkomparasi kesamaan Iluminasi ala Surahwardi dengan Fenomenologi Husserl. Menurutnya dua tokoh ini muncul pada waktu berkembangnya filsafat di wilayah dan zamannya masing-masing. Suhrawardi hadir pada saat peradaban Islam mengalami keretakan paradigmatis antara persepsi teoritis kalangan teolog dan filsuf dengan paradigma perasaan kaum sufi, atau antara kekuatan  rasional dengan kekuatan hati. Iluminasi hadir untuk mendamaikan dua pendekatan tersebut dengan konsepnya: teosofi.[4]

Sementara Husserl juga dihadapakan pada dua gelombang yang berhadapan secara diametral. Yang satu menuju ke atas yaitu rasionalisme ala Descartes, Spinoza, dan Leibnis, dan yang lainnya menuju ke bawah yaitu empirisme ala J. Locke, T. Hobbes, D. Hume, dan J.S. Mill. Husserl datang untuk  mendamaikan dua gelombang tersebut, formal dan material, menuju kesadaran fenomenologi transendental. Pada aspek ini Husserl memiliki kepentingan yang sama sebagaimana Suhrawardi dalam peradaban Islam, mengunifikasi rasionalisme dengan empirisme ke dalam pengalaman empirik yang dinamis dalam kesadaran.[5]  

Dari narasi dua tokoh ini, pemikir kiri Islam ini kembali memberi penekanan pada linearitas antara hati dan pikirian, serta antara indera dan rasio. Hati dan pikiran merupakan pertempuran di ring teologi, sementara indera dan rasio di ring ilmiah. Dengan dipertemukannya dua pradigma diametral tersebut maka perjalanan hati dapat dijelaskan secara rasional, dan data empiris adalah bahan bagi rasio untuk bernalar lebih jauh.

Di sini, lagi-lagi Hanafi menurunkan transendalitas dan segenap teori yang berpotensi mengabaikan materilitas demi spritualitas. Keduanya adalah satu unifikasi yang linear. Sehingga tak ada alasan lagi untuk mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi nilai keilahian. Nilai kemanusian adalah nilai keilahian itu sendiri. Perjuangan dan ibadah tertinggi bukan hanya salat dan duduk berzikir, melainkan tak kalah tinggi perjuangan membebaskan kemiskinan, menggalang kekuatan buruh dan petani untuk kehidupannya yang lebih baik dan terlepas dari eksploitasi.

Buku Islamologi 2 ini memiliki pendasaran teoritis yang kuat untuk membangun gerakan dari bawah ke atas. Jika Marx menurunkan materialisme alam sebagai melulu interpretasi kosmos ke materialisme sosial yang dekat dengan realita melalui materilisme dialektika dan materislisme historis. Maka Hanafi menurunkan transendensi Islam ke spritualitas bumi sebagai senjata epistemik untuk membangun keadilan dan kesejahteraan sosial.

Dengan demikian, tak pelak lagi buku ini merupakan buku penting di abad 21 ini. Penting dibaca dan dipahami tidak hanya oleh mereka yang peduli pada buruh tetapi juga agamawan-agaman yang masih alergi untuk berdiri dibarisan depan gerakan petani dan buruh.      



[1] Hal 42
[2] Hal 26
[3] Hal 154
[4] Hal 248
[5] Hal 249

Posting Komentar

0 Komentar