Oleh:
Herlianto. A
Bisakah manusia hidup tanpa
tendensi—pertimbangan kemanfaatan atau
ketakbermanfaatan—apapun dalam mengarungi hari-harinya di bumi bersama
terik matahari? Pendeknya, mungkinkah tindakan manusia tanpa kepentingan sama
sekali?
Beberapa waktu lalu, jagad negeri dibuat
terbahak—sebagian lainnya gerah dan misuh—oleh Ustad Syamsuddin. Dia bilang orang yang
menjalani syariat Allah akan pesta seks di syurga. Pernyataan, mohon maaf, “bok*p”
ini merupakan abstraksi dari sekian pahaman yang dia tangkap soal surga.
Dalam
majelis memang sering dikisahkan betapa nikmatnya berada di syurga, sungai
menjadi susu dan madu. Tinggal pilih jenis bidadari untuk diajak “olahraga
pinggul” di rajang.
Sementara itu neraka begitu mengerikan dan
menakutkan, saya tak bisa menarasikan lantaran belum pernah PP (Pergi-Pulang)
Bumi-Surga. Mungkin, bisa dicari di hadist atau ayat-ayat yang menjelaskan soal itu.
Walaupun saya juga ragu, jangan-jangan penjelasan di Alquran soal neraka dan
syurga adalah metaforis bukan yang sesungguhnya. Sehingga kurang tepat
memaknainya sebagaimana ustad Syamsuddin, khususnya soal “goyang pinggul”.
Metaforis atau tidaknya bukanlah soal di
tulisan ini, soalnya adalah rupanya dalam beragama—dimana manusia diminta untuk ikhlas
menjalankannya—tak sedikit
yang pragmatis, mengharap dampak-dampak tertentu yang dapat dirasakan sekalipun
bukan hari ini.
Mungkin itu sebabnya, kaum sufi menempuh jalan lain: jalan
cinta, dimana tak lagi peduli soal-soal surga-neraka, obsesinya adalah cinta
kasih Tuhan. Namun, tepat pada “mengharap cinta kasih Tuhan” merupaka dampak
yang diinginkan. Dengan begitu pragmatis. Jika dalam keberagamaan saja manusia
masih terbelit oleh pragmatisme, lalu bagaimana dengan kehidupan kesehariannya?
Kitakah daulah pragmatis itu?
Nalar Pragmatis
Saya sudah
menebak, pembaca sekalian tak sabar untuk menohok saya “apa pragmatisme itu?”
Etimologi pragmatisme sendiri adalah pragma (Yunani) yang berarti
tindakan atau perbuatan. Tulisan akan mencoba memulai dari yang disebut-sebut
pendiri pragmatisme Chasles S. Peirce
(1839-1914). Dia merupakan peletak dasar dari cara pandang ini lewat tulisan
fenomenalnya How To Make Our Ideas Clear. Dalam tulisan yang terbit pada 1897
itu Peirce memaparkan kriteria benar dalam frame kritiknya terhadap Descartes.
Bagi
Descartes, kriteria benar mencakup dua hal: clear (jelas) dan distinct
(terpilah). Misalnya, pengetahuan kita tentang “buku filsafat”. Untuk
disebut benar, pengetahuan ini harus jelas dan dapat dibedakan dengan
pengetahuan (benda) yang lain. Clear berarti buku itu betul-betul ada
dapat diverifikasi paling tidak lewat indera dan distinct berarti dapat
dibedakan dengan buku sosiologi, buku psikologi, dst.
Namun sayangnya, papar Peirce, cara-cara
demikian hanya digunakan oleh para logikawan yang hanya bergerilya diwilayah ekspresi,
termasuk Descartes. Padahal kebenaran sesuatu bergantung pada dampak-dampak
yang diberikan oleh objek dan dirasakan oleh subjek. Artinya, distinct
yang secara ekspresif ala Cartesian tidak betul-betul membuat dua hal (buku
filsafat dan psikologi) berbeda.
Kepastian perbedaan dua hal tersebut sejauh
memiliki dampak praktis yang berbeda pada subjek. Persis seperti kita saat
menekan dua tombol berbeda pada alat musik keyboard. Dua tombol itu betul-betul
berbeda tidak saja pada penampakannya tetapi apabila menghasilkan bunyi yang
berbeda pula. Jika bunyinya sama apa yang berbeda dari dua tombol itu. Jadi
kepastian distinct ada pada dampaknya. Peirce menulis:
Perbedaan keyakinan (kebenaran)
dibedakan oleh perbedaan mode tindakan yang memberikan dampak. Jika
keyakinan-keyakinan itu tidak membedakan hal ini, jika menimbulkan keraguan
yang sama dengan melakukan pola tindakan yang sama, maka berarti tidak ada perbedaan dalam menyadari
keyakinan-keyakinan itu yang bisa membuatnya berbeda, ini seperti memainkan
lagu dalam kunci yang berbeda berarti memainkan lagu yang berbeda. Distingsi
imajinari sering digambarkan antara kepercayaan yang berbeda hanya dengan mode
ekspresinya.[1]
Dengan demikian, maka lanjut Peirce kebenaran
bukan hanya: 1) sesuatu yang disadari sebagai jelas, atau, 2) sesuatu yang
mengatasi keraguan, tetapi juga, 3) termasuk pembentukan mode tindakan-tindakan,
atau pendeknya, kebiasaan (habit). Keseluruhan fungsi dari pikiran
adalah membentuk kebiasaan-kebiasaan tindakan yang sifatnya praktis dan berdaya
guna, di situlah benar dan salah dapat dievaluasi.
Dalam bacaan John E. Smith di Semangat
Filsafat Amerika, dampak yang dimaksud Peirce ini sangat empiris, tetapi
bukan tradisionalis yang berkutat pada hasil indera semata, melainkan
“efek-efek” apa yang diberikan dari tangkapan indera itu.
Tidak cukup pada
bagaimana indera menyerap objek-objeknya, tetapi setelah objek-objek itu
diserap dampak apa yang terjadi.[2] Sampai di sini
Peirce membatasi hal-hal yang berdampak itu pada yang nyata (tidak mistis), di luar
itu sudah pasti dianggap tak akan memberikan dampak apapun bagi kehidupan ini.
Ajaran kepraktisan ini kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh William James (1842-1910). Dia menulis
Pragmatism (A New
Name for Some Old Ways of Thinking). Di
bagian kuliah II, James menjelaskan makna pragmatisme secara meyakinkan. Dia memulai
pembahasannya dalam Pragmatism dengan perbincangan soal keraguan metafisis
yang akut.
Dia bercerita seekor tupai yang ada di batang sebuah pohon besar.
Sementara dihadapan batang pohon itu berdiri seorang manusia—anggap saja namanya Lek
Warsito—yang
mencoba melihat langsung tupai dengan bergerak mengitari pohon untuk mendekati
si tupai.
Tetapi saat Warsito itu memulai mengitarinya, si
tupai turut berputar menghindari dari orang itu. Semakin cepat Warsito itu
berputar untuk menjangkau tupai, si tupai tak kalah cepatnya menghindar,
sehingga dia tak melihat sedikitpun sang tupai.
Pengejaran ini dilakukan
berhari-hari, berbulan-bulan, hingga berabad-abad. Hingga James datang dan
menyatakan bahwa kerjaan Warsito itu sia-sia. James melontarkan pertanyaan skeptis:
“Hei Warsito, apakah kau akan terus berputar mencari tupai, sampai kapan
rambutmu dah uban?”
Menurut James pencaria makna metafisis sama seperti
terus-menerus mengitari pohon untuk mencari tupai yang juga terus menerus
menghindar, sia-sia. Sayangnya, jelas
James, banyak orang yang “berkepala batu” untuk memaksa mengitari pohon,
sehingga caranya menjadi begitu usang.
Bagi James orang-orang Skolastik
melakukan pengejaran tupai ini, jika hari ini seperti Warsito, mada Anda
skolasti, gumam James. Maka, kemudian jawaban apa yang benar terhadap
pertanyaan di atas?
Bagi James jawaban yang benar adalah makna apa yang
secara praktis kita berikan terhadap berputar untuk menemukan tupai itu. Jika
secara praktis kita memaknai hanya ingin berputar saja mengelilingi dan merasa
senang disitu tentu dibenarkan mengelilingi pohon.
Tetapi apabila tujuan kita
adalah berhadap-hadapan melihat si tupai, tentu kegiatan ini muspra, yang
melakukan tentulah rugi. Jadi, di sini benar dan salahnya mengitari pohon
bergantung pada bagaimana kita mempersepsi “mengitari” pohon itu sendiri. Tentu
yang dimaksud James bukanlah relativisme justifikasi, melainkan praktikal
justifikasi. Dan inilah yang disebut metode pargamtis. Dia menegaskan:
Metode
pragmatis dalam kasus ini adalah berupaya menginterpretasi setiap gagasan
dengan menyusuri konsekuensi-konsekuensi pragtisnya masing-masing. Secara
praktis perbedaan apa yang akan terjadi pada setiap orang jika satu gagasan
benar ketimbang gagasan yang lain? Jika tidak ada perbedaan praktis apapun yang
bisa ditelusuri, lalu makna praktis alternatifnya juga sama, maka semua
perdebatan (perbedaan) terhenti. Seberapapun serius perdebatan itu, kita harus
bisa menunjukkan perbedaan-perbedaan praktis yang harus mengikuti satu sisi
atau sisi yang laing yang disebut benar.[3]
Dengan begitu, seperti Peirce, James membenarka
bahwa tindakanlah yang mengatur keyakinan kita, bukan surga dan neraka. Jadi
untuk memastikan suatu gagasan dikatakan memiliki kriteria benar adalah sejauh
apa gagasan itu menghasilkan produk untuk kita. Sehingga prinsip dasar dari
pragmatisme, sebagaimana James rumuskan sebagai berikut:
Untuk memperoleh kejelasan yang
sempurna (benar) dalam pikiran kita tentang suatu objek, berarti, kita perlu
menemukan efek apa yang dapat dikonsepsi secara praktis dari objek tersebut.
Sensasi apa yang kita harapkan darinya, dan reaksi apa yang harus kita
siapkan. Konsepsi kita tentang efek ini, baik yang terdekat atau jauh, adalah
untuk keseluruhan konsepsi kita tentang objek itu, sejauh konsepsi tersebut
memiliki signifikansi posistif bagi kita.[4]
Tugas
pembukatian kebenaran tindakan adalah tugas untuk menunjukkan konsekuensi
praktis dari suatu tindakan. Pragmatisme melakukan suatu pembalikan radikal
terhadap apa yang dilakukan oleh filsuf sejauh ini—yang mengawang-ngawang di langit
metafisi—tentang kebenaran.
Pragmatisme
menggeser hal-hal yang abstrak, sebatas solusi verbal, sebatas apriori,
prinsip-prinsip pasti, dan sistem tertutup yang berpotensi absolutis menjadi
hal konkret, bersandar pada fakta-fakta, diikuti tindakan, dan kekuatan. Dengan
kata lain untuk memastikan konsekuensi praktis positif perlu diamati secara
empiris.[5]
Lalu, bagaimana hubungannya
orang-orang sejenis Syamsuddin di atas. Tentu saja nalar mereka pragmatis dalam
beragama. Syariat dimaknai sebatas memperoleh goyangan-goyangan untuk orgasme
dan menempatkan Tuhan seperti mucikari, Nauzubillah.
Golongan ini tidak
bisa merdeka dari pragmatisme. Lalu masih mungkinkah masih ada merdeka dari
pragmatisme? Mungkin saja, sejauh membiarkan pragmatisme seperti yang dipahami
para filsuf Amerika itu, dan tidak menggeser ke ke hal yang metafisis.
Sufi saya kira juga cukup
sukses tidak terjebak dalam pragmatisme dalam arti di atas. Mereka—dalam hal kesufiannya—sama sekali tak peduli
dampak-dampak empiris dari tindakannya. Namun begitu, tidak bisa manusia terbebas
dari pragmatisme sama sekali, karena masih butuh makan, minum, dan hal biologis
lainnya justru untuk melanjutkan kesufiannya. Tetapi, masih ada tindakan
tertentu yang itu sama sekali tidak mengandaikan efek-efek empiri-material.
Dengan kata lain, masih ada tindakan yang merdeka dari pragmatisme.
[1] The essence of belief is the
establishment of a habit; and different beliefs are distinguished by the
different modes of action to which they give rise. If beliefs do not differ in
this respect, if they appease the same doubt by producing the same rule of
action, then no mere differences in the manner of consciousness of them can
make them different beliefs, any more than playing a tune in different keys is
playing different tunes. Imaginary distinctions are often drawn between beliefs
which differ only in their mode of expression. Peirce. How To Mak Our Ideas
Clear. Lembar ke 6.
[3] The
pragmatic method in such cases is to try to interpret each notion by tracing
its respective practical consequences. What difference would it practically
make to anyone if this notion rather than that notion were true? If no
practical difference whatever can be traced, then the alternatives mean
practically the same thing, and all dispute is idle. Whenever a dispute is
serious, we ought to be able to show some practical difference that must follow
from one side or the other's being right. Dalam Pragmatism.
[4] To
attain perfect clearness in our thoughts of an object, then, we need only
consider what conceivable effects of a practical kind the object may
involve--what sensations we are to expect from it, and what reactions we must
prepare. Our conception of these effects, whether immediate or remote, is then
for us the whole of our conception of the object, so far as that conception has
positive significance at all. Dalam Pragmatism
0 Komentar