Oleh: Herlianto A
Sumber: vigonews.com |
Pengakuan Algojo 65, sebenarnya
buku lama yg terbit 2012 lalu oleh Tempo. Tapi saya baru punya kesempatan
membacanya. Menarik, karena Tempo mampu menghadirka para jagal 65 yang masih
hidup. Buku ini juga menyadur hasil wawancara Joshua Oppenheimer, lewat
dua karyanya The Look of Silent
dan The Act of Killing.
Penanyangan dua film dokumenter tersebut beberapa waktu lalu sempat
menuai pro kontra. Di Kota Malang ada sebagian penayangan yang dibubarkan. Di
Universitas Brawijaya (UB) Malang dilarang oleh pihak kampus. Sementara di
salah satu warung kopi di bubarkan oleh pasukan bersurban.
Saya sendiri nonton di Universitas Ma Chung hingga tuntas. Meskipun
begitu dijaga ketat intel kota Malang dan jajaran Polsek Dau Kabupaten Malang. Dan
tampaknya peserta tidak begitu mengekplore fakta-fakta di video lewat pertanyaan
karena khawatir dijiduk pasaca acara. Dialog menjadi begitu sederhana. Namun
begitu, setidaknya saya menjadi mengerti bagaimana Anwar Kongo sang jagal
menghabisi orang PKI dengan begitu kejam menggunakan kawat diseret lehernya
sehingga tidak berdarah.
Nah, terkai jagal-menjagal ini, saya juga punya kisah pembunuhan
PKI di tanah kelahiran, Masalembu pulau kecil berjarak sekitar 85 mil utara
pulau Madura. Pulau ini dikenal dengan segitiga bermudanya Indonesia. Banyak
kapal tenggelam dan kecelakaan di perairan kepulauan ini, salah satunya yang
menyita sejarah adalah Thampomas II. Kengerian perairan ini sempat difiksikan (film)
oleh NetTV, namun sayang tidak terlalu sukses dan begitu berbeda dengan
realitas sesungguhnya, mungkin karena fiksi.
Sumber cerita ini tak lain adalah ayah saya sendiri. Dia kini
berusia 62 tahun. Di suatu sore yang cerah, ayah yang hanya lulusan sekolah
rakyat itu, menghampiriku dan bercerita soal penangkapan PKI oleh tokoh-tokoh Ansor
di Masalembu. Saat bercerita itu saya masih duduk di kelas 6 SD. Tetapi kisah
ini saya ingat-ingat betul hingga kini.
Menurut ayah, kisahnya begini: mulanya soal stigma kekejaman PKI
sampai di telinga para tokoh Ansor Masalembu. Masyarakat yang sebagian besar
se-keyakinan dengan NU merasa resah dengan isu itu. "PKI itu kejam,
beberapa kiai dibunuh dan Alquran di bakar," demikian kenang ayah saat
itu.
Hingga suatu hari terdengar kabar ada segerombolan PKI yang
melarikan diri dari Jawa dan tiba di pulau Keramian. Pulau kecil lainnya yang
masih termasuk bagian dari kecamatan Masalembu. Pulau ini berada sekitar 27 mil
kearah utara pulau Masalembu. Para penghuninya sebagian besar suku Bugis,
berbeda dengan Masalembu yang sebagian besar penduduknya suku Madura.
Alhasil, para pemberani Ansor Masalembu bermaksud menangkap para
PKI yang dicurigai akan meresahkan dan membahayakan itu. Hingga akhirnya
rombongan Ansor berangkat ke pulau dekat Kalimantan itu. Menurut ayah,
rombongan itu dipimpin oleh tiga orang pemberani.
Mereka adalah H. Adra'i (aba Da'i), pendiri pesantren Al-Baitul
Atieq, Abd Kholiq, pendiri pesantren Baitul Ittihat, dan Abdur Qadir (orang Masalembu
menyebutnya num Qodar). Saya sempat bertemu dengan Num Qadar sewaktu ngaji di
masjid Al Baitul Atiq. Orangnya memang terlihat aneh, tetapi biasanya suka
memberikan terapi saraf pada temen-teman. Kini ketiga orang ini sudah tiada.
Setelah semuanya sudah siap, tiga orang ini berangkat menuju ke
Keramian. Sayangnya ayah saya lupa kapan tepatnya keberangkatan itu. Yang pasti
kejadian ini tidak jauh berbeda saat orang-orang PKI diburu. Setelah tiba di Keramian,
ketiganya langsung berencana menangkap orang-orang yang dianggap pembangkang
negara itu.
Namun rupa-rupanya massa PKI lebih kuat, malah mereka sendiri yang
ditangkap. Kemudian, beredar kabar di Masalembu bahwa ketiganya akan segera
dieksekusi. "Tapi mungkin masih bukan takdirnya, mereka masih bisa
kabur," lanjut ayahku.
Kaburnya ketiga tokoh Ansor itu terjadi setelah datang kapal
patroli dari Masalembu ke Keramian yang memang khusus menjemput. Orang tertuduh
PKI itu melakukan pengejaran, namun tidak berhasil. Beberapa dari mereka yang
terpisah dari kawanannya justru berhasil ditangkap oleh pasukan Ansor dan
dibawa ke kantor polsek Masalembu.
Setelah sampai di Masalembu, menurut ayah, orang-orang PKI itu
disiksa secara terbuka ditonton oleh khalayak. Banyak orang-orang yang
berteriak agar orang-orang PKI itu segera di bunuh. Menariknya, para pelaku PKI
yang ayah sendiri lupa dengan jumlahnya berapa orang, kebal pukulan, senjata
tajam juga tidak mempan. Dipukul pakai bambu kuning dan pohon kelor juga tidak
bergeming.
Akhirnya, kekebalannya diketahui ada pada cincin yang diletakkan di
bawah lidahnya. Akhirnya diambillah cincin kekebalan itu. Walhasil hanya
dipukul dengan tangan kosong sekali langsung berteriak kesakitan. Namun untuk
cerita yang ini saya tidak terlalu percaya, mistik memang. Tak lama setelah itu,
orang-orang PKI itu dikirim ke Madura melalui kapal. Ayah menduga kuat
orang-orang itu dibuang di tengah laut. Kisah ini menjadi kisah turut
bersembunyi seiring kejamnya Suharto atas PKI. Kini bersama terbitnya Pengakuan
Algojo 65 dan beberapa film dokumenter tersebut, kejadian ini sungguh
menarik jika dilanjutkan penelusurannya. Apakah itu juga bagian dari dosa
sejarah?
0 Komentar