Agama: Modus dan Motif

Oleh: Herlianto A
Sumber: kompasiana.com
Kehendak beragama sebetulnya sesuatu yang purba dalam diri manusia, karena itu sejarah kehidupan manusia, paling tidak yang tertuliskan dalam naskah-naskah sejarah sejauh ini, belum ada yang menarasikan kehidupan tanpa agama. Maka, menggugat keberagamaan manusia berarti menggugat historisitas manusia itu sendiri. Tentu saja, agama yang dimaksud adalah keyakinan akan keberadaan realitas ultim yang menguasai keberadaan manusia itu sendiri. 

Beberapa proposisi itu problematis dari sudut pandang Feuerbachian. Baginya agama adalah pelarian dari suatu ketakmampuan untuk melawan terhadap apa yang menimpa diri manusia. Kritik ini absah dan berdasar pada suatu realitas yang nyata, bahwa memang ketakmampuan manusia menyikapi situasi kehidupan membuatnya menyerahkan pada yang dianggap maha mampu.


Namun begitu, kritik Feuerbach ini tidak menghilangkan kepurbaan agama dalam diri manusia. Fakta-fakta historis juga menunjukkan bahwa memang ada di setiap zamannya–bahkan hingga detik ini–manusia yang beragama. Jika Feuerbach melengkapi hipotesanya lewat realitas fakta, maka bahwa agama adalah purba dalam diri manusia juga dilengkapi oleh fakta.

Karena itulah, yang dinyatakan Feuerbach bukan untuk menghilangkan agama melainkan menjadikan agama lebih revolusioner, membuat agama lebih berwajah emansipatif pada manusia ketimbang “mistik palsu” yang sengaja dibangun oleh kuasa tertentu. Ia terang-terangan menunjukkan bahwa agama telah disalahgunakan oleh manusia: oleh penguasa digunakan untuk melemahkan yang dikuasai, oleh yang dikuasai digunakan untuk mengobati duka laranya. Karl Marx dan Max Weber adalah dua tokoh yang dengan lebih tajam lagi menelanjangi agama yang dijadikan alat.

Kontras dengan temuan fakta para kritikus agama di atas, yaitu sejarah para nabi-nabi yang ternyata menjadikan agama sebagai senjata perlawanan. Ibrahim lahir dengan agamanya untuk melawan keangkuhan Namrud, Musa melawan Fir’aun, begitu juga dengan Isa dan Muhammad. Memang, andai Feuerbach, Marx, dan juga Weber hidup di zaman nabi-nabi mungkin akan merevisi semua hipotesanya, dan menyatakan sebaliknya.

Tetapi adalah fakta, bahwa mereka tidak hidup di zaman nabi-nabi. Mereka hidup di zaman di mana tafsir atas agama sudah tidak bisa lagi diklarifikasi, era dimana tidak ada tafsir tunggal maha sahih atas agama sebagaimana umat membawa semua persoalan keagamaannya pada nabi-nabi dulu. Dengan begitu, berkahirnya risalah kenabian pada Muhammad SAW, membuat kritik agama mereka memiliki urgensi, karena perjalanan agama pasca kenabian tidak bisa lagi disamakan dengan dimasa hidupnya nabi.

Dengan narasi ini, maka dapat kita bedakan antara agama sebagai modus dan agama sebagai motif. Sebagai modus agama persis seperti yang dikiritk oleh Feuerbach, Marx, dan Weber, sementara sebagai motif agama persis seperti pada era-era kenabian, agama tidak hanya meneduhkan tetapi juga membebaskan.  

Meskipun modus dan motif ini dapat dibedakan, tetapi dalam praktik keseharian terutama pasca berakhirnya risalah kenabian kadang keduanya sulit dibedakan sebelum ada dampak-dampak nyata. Itulah sebabnya, ada banyak umat beragama yang tertipu–dikiranya motif ternyata modus–dengan yang berbungkus agama, mulai kasus Dimas Kanjeng, First Travel, korupsi Alquran, hingga penggunaan label-label agama. Tentu saja, realitas yang menjadikan agama sebagai modus tidak hanya dialami oleh umat Islam, tak kalah mengerikannya juga dialami oleh umat lain, yang saat ini lagi ramai adalah tragedi etnis Rohingya di Myanmar.


Posting Komentar

3 Komentar

  1. Lantas bagaimana memisahkan antara agama sebagai modus dan sebagai motif? mohon jelaskan

    BalasHapus
  2. Bukankah agama itu sudah revolusioner?

    BalasHapus
  3. Agama yang dibawa oleh nabi dan yang diajarkan oleh nabi sangat revolusioner. Tetapi setelah agama ditafsir oleh pengikutnya menjadi jumud..

    BalasHapus