Oleh: Herlianto A
Sumber: ppijkt.wordpress.com |
Rasanya sungguh terlalu jenuh mengkritisi dan mengurai
geneologis kapitalisme satu persatu termasuk
dampaknya dalam kehidupan sosial kita. Bukan saja soal secara teoritik hipotesa Francis Fukuyama dalam The
End of History: and The Last Man bahwa kapitalisme dan demokrasi
liberal tan bisa dikalahkan lalu mengundang psimisme akut atas sosialisme. Tetapi
juga memang sampai
saat ini belum ada suatu sistem yang dapat mengganti kapitalisme, meskipun
sejatinya sudah muncul resistensi dari berbagai arah melalui kajian dan temuan
kritis atasnya.
Kita hanya bisa
mengatakan bahwa di negara-negara dunia, kekayaan
hanya dinikmati oleh 1 persen
kapitalis dengan model hidup mewah dan berlebih-lebihan, sementara 99 persen lainnya berada dalam kondisi terhegemoni, tereksploitasi, hidup miskin penuh derita. Amerika Serikat
dan negara-negara Eropa yang diyakini sebagai tonggak mengakarnya
kapitalisme sering didiagnosa telah menunjukkan
tanda-tanda keruntuhannya dengan sistem
yang kejam ini, namun masih gagah, entah berapa lama lagi proletar
bersabar sembari mengelus dada.
Melihat fakta
ini, patut dipersoalkan mengapa kajian dan temuan kritis atas kapitalisme yang
sebetulnya sangat canggih, kok seakan-seakan tak memberi pengaruh
apa-apa? Menjawab pertanyaan ini, beberapa pemikir sosial mengatakan bahwa masyarakat
dunia masih terbodohi dan terkungkung oleh isu-isu parsial. Wacana yang
dibangun masih melihat antara satu persoalan dengan persoalan lain sebagai
entitas-entitas yang berbeda dan terpisah dan dengan penyebab yang berbeda pula.
Misalnya,
munculnya privatisasi dunia pendidikan yang membuat
orang tua mahasiswa menjerit membayar UKT/SPP/DPP dilihat berbeda dan tak terkait dengan kekejian sistem outsoursing dalam perburuhan. Begitu
pula dengan persoalan mahalnya pupuk
dalam pertanian serta beberapa segi yang lain dianggap berbeda.
Cara pandang parsial ini memunculkan
gerakan-gerakan yang juga terpetak-petak, alhasil gerakannya tidak kokoh. Padahal
sebenarnya, dari sekian ketimpangan sosial tersebut, pemicunya
satu yaitu kapitalisme.
Selanjutnya, gerakan tidak solid ini tidak akan
mampu menciptakan perlawanan yang berarti bagi
kapitalisme. Kapitalisme tetap berdiri kokoh dengan akar menjalar
menghisap sari-sari kesejahteraan negara-negara dunia ketiga, termasuk
Indonesia.
Memang K.H.
Marx pernah membuat perhitungan dengan sistem kapitalis, dia menemukan titik lemah utama kapitalisme dan itu menjadi bom waktu bagi keruntuhannya. Kelemahan itu adalah perbedaan
kepentingan antara penindas dan tertindas di internal sistem kapitalis.
Para pemodal atau pemilik produksi saling bersaing untuk saling mengungguli
satu sama lain yang berujung pada dikuasainya modal ekonomi oleh segelintir pemodal
saja.
Ketika
mal-mal atau para mini market didirikan maka secara
perlahan toko-toko kecil yang ada disekitarnya tidak laku. Pembeli
cenderung pada harga lebih murah, tempat
lebih bersih dan memiliki prestise lebih tinggi. Akhirnya ditutuplah toko-toko kelontong,
dan orang-orangnya bergeser menjadi kelas
proletar. Persaingan merebut pasar dan merebut kosumen terus
terjadai.
Semakin lama sistem ini bekerja, semakin banyak
kuantitas kelas proletar dan berlaku sebaliknya semakin sedikit para pemilik
modal yang berkuasa, sehingga akan
berujung pada monopoli ekonomi. Pada kondisi itulah Marx
berhipotesis akan terjadi revolusi oleh masyarakat proletar, buruh akan merebut
monopoli ekonomi.
Tetapi pada
kenyataannya sampai saat ini hipotesis ini belum terbukti secara utuh, karena
kapitalis terus melakukan reifikasi (penyamaran eksploitasi) melalui ideologi-ideologi
yang disebut oleh Marx sebagai kesadaran palsu. Dunia
lalu menyimpulkan bukan kapitalisme yang hancur melainkan sosialismelah yang
runtuh. Pendeknya, analisa penyakit internal kapitalisme yang dianalisa Marx
meragukan.
Berkaitan dengan kesimpulan buruk tentang sosialisme itu, seorang Marxis
berkebangsaan Slovenia Yugoslavia,
Slavoj Žižek, berupaya menajamkan konsep perbedaan kepentingan internal dalam
sistem kapitalisme. Dia merumuskan lima gejolak
dalam kapitalisme yang secara perlahan telah menyeret leher kapitalisme ke
tiang gantung, yang sialnya dibuat oleh kapitalisme itu sendiri.
Pertama, dalam bidang ekonomi yaitu
neolibelaralisme. Neoliberalisme
mencakup beberapa hal, di antaranya: privatisasi
terhadap aset-aset negara apapun bentuknnya, baik pendidikan, pertanian,
perburuhan atau bahkan militer. Kemudian prampingan
bisnis, selanjutnya wara laba yaitu pengembangan
perusahaan di negara-negara berkembang dengan mengeruk keuntungan laba yang
sebesar-besarnya. Terakhir adalah deregulasi atas penguasaan negara atas kekayaan alam. Dampak dari neoliberalisme
adalah kemiskinan dan penderitaan.
Kedua, lingkungan eksternal,
dalam hal ini misalnya global warming yang disebabkan oleh eksploitasi minyak
dan gas bumi yang berlebihan. Akibatnya
jelas yang diderita oleh para petani akibat global warming adalah musim yang tidak menentu,
sehingga petani tidak dapat
menanam bahan pangan dengan baik.
Ketiga, lingkungan internal, hal ini terkait
dengan berkembangnya bioteknologi, manipulasi terhadap mahluk hidup. Hal ini berakibat pada tidak seimbangnya kehidupan ekosistem mahluk
hidup. Padahal mestinya, mahluk hidup dalam satu ekosistem adalah satu mata rantai
makanan satu sama lain, jika satu saja mata rantai ini dimanipulasi dan diputus
melalui bioteknologi maka mata rantai tidak akan berjalan dan itu akan
berakibat pada punahnya mahluk hidup.
Keempat, aspek infrastruktur komunikasi. Dalam hal ini
berkait erat dengan bahasa informasiat, misalnya media sosial macam facebook,
twitter ataupun jejaring sosial
lainnya. Yang mana manusia tanpa sadar menyerahkan semua identitas kediriannya
pada media, dengan keyakinan bahwa dunia maya tidak ada yang mengatur. Lewat
penyerahan identitas itu, kehidupan dunia betul-betul dikontrol oleh segelintir
orang. Kemudian pemanfaatan media dunia maya yang mampu menjangkau segala lini,
akan menjadi motor penggalian kubur bagi kapitalis sendiri, karena dari situ
pemahaman dan provokasi kebusukan kapitalis akan berkembang.
Kelima, pertentangan ekslusi-inklusi, hal ini menunjukkan
munculnya ekslusifitas antar lapisan masyarakat, yaitu antara yang kaya dan
yang miskin. Contoh sederhana, jika kita masuk pada kompleks perumahan dengan
tanpa membawa mobil atau kendaraan mewah, maka akan ada introgasi yang alot
dari satpam, namun tidak bagi mereka yang bermobil.
Maka kehidupan sosial yang dijalankan dengan lima sistem yang telah
dijelaskan di atas tidak akan berjalan lama. Dengan sendirinya cara hidup yang
demikian akan ditinggalkan oleh manusia. Itulah analisa Žižek terhadap konflik
internal dalam kapitalisme yang sampai saat ini tidak ada jawabannya bagi
kapitalis.
Kapitalis sejauh ini hanya mampu menyamarkan gejolak-gejolak itu lewat
intervensi negara dan pembohoan politik dan pendidikan. Oleh karena itu, penyelesaian
terhadap sistem kapitalis tidak cukup hanya dilakukan oleh segelintir orang,
tetapi perlu ada suatu pemahaman kolektif untuk melakukan suatu perubahan, dan
itu sangat mungkin sekali untuk dilakukan.
Catatan diskusi bersama Winarko (Kang Pay), penerjemah karya-karya Žižek.
1 Komentar
Okay sama2..
BalasHapus