“Apology” Bukan Sekedar Apologi

Oleh: Herlianto A
Sumber: despritualwiki.org
“Apology” adalah satu pembelaan jenius Sokrates atas tuduhan-tuduhan lawannya yang belum tercerahkan. Buku ini ditulis dengan baik oleh Plato, muridnya. Dia seperti sorang jurnalis yang dengan cermat mencatat setiap orasi Sokrates, memberi penekanan pada argumen-argumen penting yang disampaikan, lalu kemudian dituangkan dalam sebuah buku.

Memang tak sedikit pihak yang mencurigai karya ini sebagai akal-akalan Plato tentang gurunya. Kitapun tidak melihat langsung kejadian itu, artinya kita patut menyimpan rasa ragu yang sama. Studi stilometri sudah dilakukan seperti yang dilakukan oleh F. Schleiermacher, tetapi tak dapat sepenuhnya menyimpulkan “Apology” sebagai buah pikir Sokrates atau Plato. Tetapi para peneliti menyatakan bahwa karya ini merupakan karya awal Plato yang banyak dicampuri oleh pandangan Sokrates. Pemikiran Sokrates yang dibaluti kata-kata Plato.

Para ahli menemukan beberapa ciri Sokratian pada karya awal Plato, di antaranya Sokrates cenderung membicarakan etikadan politik, berupaya menemukan definisi universal, dan menggunakan corak berpikir induktif. Lewat kriteria ini, karya awal Plato sangat “berbau Sokratian”, misalnya buku Lysis tentang persahabatan, Lakhes tentang keberanian, Xarmides tentang keugaharaan.

Namun demikian, bukanlah persoalan terkait racikan gagasan Plato dan Sokrates di buku ini. Yang terpenting adalah bahwa “Apology” bukan sekedar apologi. Ini tidak sekedar ditulis agar penyampainya, dalam hal ini Sokrates, dibebaskan dari satu tuntutan hukum tertentu saat itu. Melainkan jauh melampaui itu, melalui “Apology” Plato ingin mengajarkan nilai agung berfilsafat, maksimalisasi anugerah akal (berpikir), berpendidikan, bernegara, dst.


Melalui pembelaan itu, Sokrates pria paling bijaksana se-Athena, setidaknya itu yang dikatakan sabda Delphi, menjangkarkan konsistensi dan tekatnya untuk melawan pembodohan dan irasionalitas (mitos dan dogma). Sokrates mengajarkan bahwa kebenaran tak bisa ditukar dengan apapun imbalannya, sekalipun nyawa dipertaruhkan, apalagi hanya receh rupiah. “Apology” mengajarkan bagaimana kepatuhan pada hukum, supremasi hukum dan equality before the law, yang kini sedang diributkan di negara ini.

Itulah sebabnya Sokrates menolak untuk merendahkan diri di depan para hakim dengan berpura-pura mengaku bersalah bahwa apa yang dilakukannya selama ini memang kesalahannya, demi terlepas dari jerat hukum. Tetapi drama pengakuan macam ini pantang bagi Sokrates. Dia juga menolak menyuap hakim demi kebebasannya. Keberaniannya berpegang teguh pada kebenaran inilah membuat dia menjadi musuh bagi para cukong, para penjahat, para jumud dan segenap bromocorah. Dia dirong-rong sedemikian rupa, tetapi Sokrates tidak bergeming. Dia menjadi orang Athena pertama yang rela mengorban nyawa demi pendiriannya yang diyakini benar.

Pidato pembelaan di depan publik Athena ini begitu menggelegar membuat panas telinga-telinga yang syirik padanya, membuat sakit hati mereka-mereka yang menjadikan hukum sebagai alat kriminalisasi dan pembodohan masyarakat. Sokrates menantang bahwa selama hayat masih dikandung badan, selama masih ada sisa kekuatan, maka tak seorangpun akan dapat menghentikan misinya (memberantas kejahatan dan mafia hukum). Kebenaran adalah kemutlakan yang mestinya menjadi prinsip setiap manusia termasuk segala bentuk etika yang menjadi panduan hidup manusia.

Keikhlasannya mengajari pemuda Athena tanpa bayaran mengajarkan pada kita semua sesuatu yang sangat berarti dalam bernegara, saat semua bentuk pendidikan di negara ini harus dibalas dengan segepuk uang. Itulah yang disebut oleh Plato “para penjual barang rohani”. Kesederhanaan hidup Sokrates menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah kesombongan dan kepongahan, melainkan kesediaan diri untuk menyadari bahwa diri bukanlah apa-apa selain sebagai para pencari ketakterbatasan absolut (ultimate reality). Sayang, Athena terlalu jahiliyah hingga akhirnya membunuh Sokrates. Kebodohan memang sering mengorbankan yang terbaik dari generasi.

Ada yang menilai bahwa kematian Sokrates menyiratkan lima kekalahan. Pertama, kekalahan filsuf (pengetahuan) atas awam (kebodohan). Kedua, kekalahan aristokrasi atas demokrasi. Ketiga, kekalahan pikiran atas politik. Keempat, kekalahan kebebasan individual atas negara. Kelima, kekalahan terobosan baru atas konvensi sosial. Tafsir ini boleh-boleh saja dalam melihat Sokrates sebagai simbol perlawanan, tidak akan mengurasi esensi sesungguhnya dari apa yang dia lakukan.

Sesungguhnya “Apology” menceritakan sebaliknya, justru yang dialami Sokrates adalah kemenangan, kemenangan atas segalanya. Bahwa tak ada apapun, tidak juga politik, hukum, dan negara, yang dapat membatasi kebebasan individu. Dia telah melakukan kemerdekaannya sebagai manusia yang paling hakiki.

Dia adalah simbol kemenangan kejujuran atas tawaran untuk berbohong, keteguhan menang atas keraguan, kemenangan atas ketakutan akan kematian, dan segala bentuk kemenangan lainnya. Karena itu, saya secara pribadi tertarik menerjemahkan buku ini, untuk di hadirkan pada para pembaca agar dapat belajar bagaimana menjadi “jantan” yang sesungguhnya. Jantan akan kejujuran, jantan akan kebenaran, konsistensi, keteguhan, dan keutuhan tekat.

#filsafatmazhabkepanjen
                                                                        

Posting Komentar

0 Komentar