Oleh: Herlianto A
Sumber: mantrahindu.com |
Salah satu kegelisahan azali manusia adalah menemukan dan sampai pada
yang absolut, yaitu realitas hakiki yang berada di luar diri manusia. Segenap
upaya dicurahkan untuk menyingkap yang ekaternal tersebut, yang kemudian
memantik perdebatan epistemologi secara panjang lebar, yaitu bagaimana manusia
mengetahui.
Term dasar dalam upaya epistemik ini di antaranya: empirisme,
rasionalisme, intuisionisme dalam kosa kata barat, atau bayani, burhani,
dan irfani dalam nuansa Islam, atau vidya dan moksa dalam
term filsafat Timur. Semua penamaan ini menunjuk pada upaya manusia menyingkap
yang absolut. Lewat jalur epistemik ini manusia kemudian menetapkan yang ontik,
misalnya: eidos, causa prima, roh absolut, Ada, Brahman,
bahkan hingga Allah.
Konsekuensi dari penetapan yang absolut ini adalah universalisasi,
yaitu upaya manusia mencari kesamaan-kesamaan tertentu dari hal-hal partikular
yang dapat diatributkan pada segala hal. Lalu dirumuskanlah konsep-konsep umum
sebagai tanda kehadiran yang absolut, bahwa yang realitas hakiki yang obektif
telah tersingkap. Namun persolannya, benarkan term-term absolut
itu menunjuk pada realitas yang sungguh absolut? Bagaimana memastikan bahwa
nomenklatur sebagai tanda kehadiran itu
betul-betul berkorespondensi dengan realitas? Di sinilah polemik representasi
ini mengemuka.
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menyentuh pada ukuran
kebenaran apa yang dapat digunakan untuk menilai konsep atau term—apakah
koherensi, korespondensi, pragmatis, atau yang lainnya—tetapi juga berkelindan
dengan struktur bahasa sebagai media pengungkapannya. Artinya, sedekat apakah
bahasa sebagai simbol-simbol dapat berdempet dengan realitas yang disimbolkan,
sehingga dapat menghilangkan jarak di mana kesalahan mungkin membentang pada
jarak itu? Dapatkah berarti bahwa menunjuk pada bahasa, misalnya
"uang" itu berarti betul realitas uang, dan bukan sifat keumuman dari
uang? Atau dapatkah menyebut "Allah" itu betul merepresentasi Allah
dan bukan halusinasi kita akan kata itu? Di mana ketersambungannya?
Tampaknya, beberapa persoalan linguistik ini memicu berseterunya
strukturalisme dan pascastrukturalisme, atau antara tradisi logosentrisme
modernis dan tradisi pascamodern yang anti fondasionalis. Pascastrukturalisme,
alih-alih, membedah kemungkinan penggunaan alat dan metode tertentu untuk
sampai pada yang absolut, malah ia memotong mediumnya sendiri, yaitu bahasa itu
sendiri. Bahwa persoalan dasarnya adalah ada pada bahasa yang digunakan. Bahasa
selalu tergelincir dari apa yang dibahasakan. Selalu ada jarak antara bahasa
dan yang dibahasakan, sehingga makna tak pernah menyatu dengan bahasa, sehingga
yang kita tangkap dari bahasa sebagai makna bukanlah makna melainkan jejak (trace)
dari makna itu sendiri.[1]
Baca Juga:
Baca Juga:
Tak pelak, nalar pascastruktural yang memuncak pada Jacques
Derrida, melibas nalar struktural ala Ferdinand De Saussure yang mendahuluinya.
Metafisika kehadiran ala strukturalis hanyalah teks yang kemudian
didekonstruksi menjadi metafisika ketakhadiran. Makna menjadi sesuatu yang
terus mengambang yang tak mungkin dipungut. Karena semuanya tak bisa keluar
dari bahasa maka semuanya adalah teks, tak ada di luat teks, di situlah rimba
makna. Sudut pandang ini, bagi sebagian kalangan mengakhiri universalitas-logosentrisme
menuju partikularitas ala posmodernisma. Inilah senjakala metafisika kehadiran barat.
Lantas bagaimana melampaui bahasa demi menuju realitas?
Pascastruktural pada hakikatnya tidak menolak realitas, hanya saja menurutnya
manusia berputar-putar di mediumnya, yang membuat mereka tidak pernah sampai
pada realitas. Makna, meminjam bahasa Kant, tetap menjadi noumena, dan
manusia hanya puas diri pada fenomena.
Secara epistemik, untuk mengantisipasi keterbelahan makna dan tanda
muncul jalan alternatif: intuisi atau irfani dalam bidang epistemologi. Intuisi
dan irfan antara definisi Barat dan Islam cukup berbeda. Intuisi setidaknya
menurut Descartes dalam Meditation on First Philosophy, adalah
sebagaimana kita tahu bahwa lingkaran adalah bulat atau segitiga memiliki tiga
sudut. Justifikasi bulat dan tiga sudut adalah intuitif yang sifatnya
apodeiktik, pasti, dan tak mungkin meleset. Sehingga Descartes menempatkan
intuisi ini sebagai pengetahuan yang swabukti (self evident).
Sementara irfan, cukup berbeda, setidaknya yang dijelaskan Al
Ghazali dalam Al Munqid Min Ad Dhalal bahwa irfan bukanlah mengetahui
lewat konsep-konsep yang bentuknya berupa definisi-definisi, melainkan
mengalami. Irfan bukan mengajarkan apa definisi gila, tetapi bagaimana
mengalami gila, sehingga ada keterpilahan yang jelas antara mengalami dan
mengetahui.
Dari dua keadaan ini, dapat diidentifikasi mana yang memerlukan
medium bahasa dan mana yang berupaya keluar melamapui tanda-tanda. Selain irfan
membutuhkan bahasa untuk ditransformasi, sementara irfan karena mengalami
langsung maka ketersingkapan itu hadir sebagai sesuatu yang yakini pada diri
subjek. Mungkin analogi paling sederhana adalah pengetahuan kita tentang rasa
manis, yang tidak bisa dikonsepsi lewat bahsa melainkan harus dialami. Begitulah
kira-kira irfan sebagai suatu upaya epistemik.
Seturut dengan irfan dalam filsafat Timur, khususnya tradisi
Hinduisme dan Buddisme, juga memberi alternatif untuk melampaui bahasa dalam menuju
realitas hakiki: Brahman. Dalam ajaran mereka ketakmampuan manusia
menembus jarak antara diri dan Brahman tidak hanya dibatasi oleh aral
bernama bahasa, melainkan hakikat material manusia itu sendiri merupakan
halangan untuk sampai pada realitas. Karena itu, manusia perlu melepaskan diri
dari yang meterial ini.
Hal-hal material adalah duhka atau halangan utama pengetahuan
manusia akan kediriannya (atman). Maka untuk melamapaui bahasa caranya
adalah melalui moksa, suatu jalan asketis, dengan menarik diri dari
segala hiruk pikuk dunia lewat suatu meditasi (pertapaan). Inilah jalan manusia
menemukan atman-nya yang sebetulnya tidak berbeda atau bahkan identik
dengan Brahman.[2]
Sederhananya, irfan pun moksa, merupakan suatu keadaan yang
terbebas dari bahasa, pengetahuan yang dicapai bersifat langsung dan dialami.
Karena itu, kedua mode epistemik ini tidak terlalu memperdulikan konsep-konsep
yang dikemas lewat bahasa, melainkan lebih cenderung menjalani atau mengalami.
Dengan demikian, strukturalisme pun pascastrukturalisme merupakan
diskursus yang sama-sama tak bisa keluar dari logosentrisme. Pascastruktural
memang mengkritik logosentrisme strukturalis, tetapi tak lama setelah itu juga
terjebak dengan logosentrismenya sendiri. Karena itu, keyakinan Derrida bahwa
tak ada di luar teks, dapat diantisipasi dengan jalan irfan dan moksa.
#filsafatmazhabkepanjen
0 Komentar