Oleh: Herlianto. A
Al Ghazali. (Foto: ulinnuhatuban.blogs) |
Tak bisa dipungkiri bahwa Al
Ghazali merupakan pemikir yang menempati satu slot penting dalam lipatan
sejarah pemikiran filsafat (utamanya filsafat Islam) dan mistisisme Islam
(sifisme).
Kritiknya atas para filosof (Ibn Sina dan Al Farabi) yang dikemas
dalam Tahafut al Falasifah dinggap membuat taste filsafat memudar di
kalangan muslim. Karena itu tak sedikit yang menyanyangkan “efek domino” dari
kritik Al Ghazali atas para filosof itu, salah satunya yang kemudian mengkritik
balik adalah Ibn Rusdy melalui Tahafut at Tahafut.
Saya kira dua pemikir
ini berikut karya-karyanya merupakan simbol pergulatan dan upaya penyelarasan terdahsyat
antara filsafat dan agama (Islam).
Sulaimȃn Dunyȃ
yang memberi pengantar pada kedua buku monumental tersebut menyimpulkan bahwa
sebetulnya telah terjadi kesalahan dalam menangkap pemikiran Al Ghazali.
Menurutnya, Al Ghazali sama sekali tidak punya pretensi untuk menolak filsafat,
karena Tahafut al Falasifah dikonstruksi sebegitu argumentatif,
filosofis dan sistematis yang justru menguatkan buku itu sebagai buku filsafat.
Artinya,
sama sekali tidak logis menolak filsafat dengan menyusun buku filsafat.
Walaupun beberapa argumen Al Ghazali menurut Dunyȃ mencampuradukkan antara argumen teologis (kalam)
dan filosofis. Tetapi adalah fakta Al Ghazali menulis buku filsafat.
Dengan begitu, Sulaimȃn Dunyȃ memilih menyebut bahwa Al
Ghazali mengkritik pandangan filsafat yang kebetulan berkembang saat itu, dalam
hal ini adalah kalangan pemikir Islam peripaterik (Ibn Sina dan Al Farabi), dan
bukan menolak filsafat.
Bahkan Al Ghazali menjadi pemikir penganjur logika,
salah satu bagian filsafat yang juga digandrungi para filosof. Baginya logika
adalah cermin ilmu (mi’yar al ilmu). Maqashid Al Falasifah
adalah satu penekannya pada logika, juga ditegaskan dalam Al Munqid Min Ad
Dhalal.
Tulisan ini merupakan catatan atas
Al Munqid Min Ad Dhalal, yang menurut penulis merupakan bagan struktur
atau bagan bagaimana Al Ghazali mengkonstruksi pemikirannya hingga dia
cenderung pada Sufisme ketimbang pada filsafat.
Buku ini bernuansa kritik
terhadap filosof, namun tidak memblejeti satu persatu argumen filsosof
sebagaimana pada Tahafut At Tahafut melainkan berbicara secara lebih umum tentang
pandangannya berdasarkan pengalaman perjalanan pribadinya. Jadi buku ini dekat
dengan sebuah otobiografi pemikirannya.
Beberapa Varian Kritik
Buku yang disebut-sebut ditulis
pada tingkat kematangan pemikiran Al Ghazali ini dimulai dari pembagian para
pencari pengetahuan. Ada empat golongan, yaitu: teolog (mutakallimun),
kalangan batiniah, filosof, dan kaum Sufi.
Dari empat
golongan ini, menurut Al Ghazali yang selamat dan sampai pada tahap kebenaran
yang hakiki adalah hanya kaum Sufi. Sisanya cukup bertengger pada tahap-tahap
yang masih perlu ditingkatkan menuju kebenaran.
Teolog tercebur dengan
ortodoksinya dan upaya terus-terusan membela keyakinannya demi terbebas dari
segala inovasi (bid’ah) dengan menggunakan premis-premis tertentu.
Kadangkala premis-premis ini taken for granted dari tradisi atau
konsensus tertentu, atau diturunkan secara cuma-cuma dari Alquran.
Cara ini
membuat kita tidak berhenti berputar diwilayah diskusi tentang substansi dan
aksidensi, dan itu sama sekali tidak mengantarkan teolog pada tujuannya yaitu
sang Kholiq. Namun begitu, Al Ghazali tidak tertarik mengkritik teolog hanya saja
sepanjang pengalamannnya, pengetahuan ini belum bisa menyingkap sang maha indah
itu.
Baca Juga:
Kemudian kritik yang cukup
panjang adalah terhadap para filosof. Al Ghazali memetakan beberapa aliran
filsafat yang berkembang pada eranya, yaitu: materialis, naturalis,
Theis (ilahiyat). Dua golongan pertama tidak perlu dibicarakan lebih
jauh karena sudah pasti anti Tuhan, sementara yang ketiga inilah yang perlu
dikritik lebih.
Filsuf theis masih menerima agama dan Tuhan hanya saja ada
beberapa kerancuan yang perlu ditebas. Mereka adalah para filsuf yang
terpengaruh oleh pemikir Yunani Klasik macam Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
Hal ini sebagaimana direpresentasikan oleh Al Farabi dan Ibn Sina.
Upaya transmisi
filosof (Islam) atas pemikiran Yunani dapat dinilai dalam tiga hal: hal tidak
patut tidak dipercaya, sesuatu yang inovatif, dan yang harus ditolak
seluruhnya. Tiga penilaian ini oleh Al Ghazali diterapkan pada enam tema
filsafat peripatetik yang dikembangkan oleh Al Farabi dan Ibn Sina, yaitu:
matematika, logika, fisika, metafisika, politik, dan moral. Tema-tema ini jika
dipadatkan sangat khas Aristotelian yaitu menyangkut filsafat teoritis
(matematika, logika, fisika dan metafisika) dan praktis (politik, dan
moral).
Al Ghazali kemudian memerinci
beberapa persoalan yang diderita oleh sekian tema ini. Cara pandang matematika
dikiritk karena menganggap semua ilmu harus pasti seperti kepastian 1+2 = 3.
Lalu dengan kepastian ini mencoba membaca semua tentang alam dengan kepastian,
termasuk fenomena alam.
Padahal kebenaran agama kadangkala tidak matematis,
Tuhan tidak bisa dibatasi oleh matematika. Sekalipun secara matematis hari ini
adalah gerhana matahari, tetapi jika Tuhan tidak menghendaki maka tidak akan
terjadi. Adapun fisika ditolak karena tentu akan membawa pada pandangan materialis
yang menegasi spritualitas.
Ajaran metafisika juga rancu,
setidaknya ada 17 kerancuan sebagaimana dibahasa dalam Tahafut Al Falasifah,
di mana tiga diantaranya membuat mereka kafir yaitu: tentang penerimaan mereka
akan kekekalan alam, penerimaan mereka bahwa jasad tidak dibangkitkan, dan
penerimaan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular. Dalam
buku ini Al Ghazali hanya menyebut yang tiga.
Di bidang politik juga persoalan,
karena justru membuat mereka menjadi sekuler yang memisah jauh antara agama dan
negara, antara ruang keimanan dan sosial. Sementara dibidang moral, menurut Al
Ghazali para filosof banyak melakukan pencampuradukan antara doktrinnya yang
sesat dengan ajaran Sufisme dan hal-hal profetik lainnya.
Sehingga seolah-olah
ajaran etikanya bersumber dari dua hal tersebut, padahal tidak demikian.
Kebenaran etisnya murni berasal dari olah pikir mereka sendiri, sehingga
kebenaran bersumber dari manusia padahal Das Sollen manusialah yang
bersumber dari kebenaran.
Dari keenam tema ini hanya logika yang tidak
dikiritik oleh Al Ghazali, ini menandakan penerimaan dia terhadap ilmu
hukum-hukum berpikir ini, sekalipun sebetulnya juga berasal dari sistematisasi
Aristoteles.
Sebelum masuk pada bagian
bagaimana Sufi menjadi satu alternatif terbaik mencapai kebenaran. Al Ghazali
masih memberi ulasan kritik terhadap kalangan ta’limiyah (Batiniah) yang
menyandarkan kebenarannya pada imam ma’sum sebagai Master of The Truth
(kritik ini cenderung pada Syiah Imamiyah). Ajaran ini dianggap sesat karena
manusia ma’sum sudah tidak ada pasca wafatnya Muhammad SAW.
Dialah guru
kebenaran yang sesungguhnya, dan orang-orang pasca itu harus mengikuti
sunnah-sunnahnya. Maka segala bentuk otoritarisasi pada seseorang sebagai yang
anti salah tentu akan melahirkan kebuntuan yang tak berkesudahan, utamanya jika
dikaitkan dengan kasus fikih yang sangat kental keterlibatan usaha manusia
dalam melakukan kontekstualisasi teks-tekas yang ada.
Al Ghazali kemudian menyitir Imam
Malik bahwa suatu hukum fikih dapat diterima sejauh dapat diperjuangkan secara
argumentif. Karena itu, dia menerima hasil ijtihad para ulama sekalipun berbeda
pandangan secara fikih.
Pengakuan akan imam anti salah ala Batiniah ini jelas
menutup segala bentuk pintu ijtihad, segala argumen akan diasalkan pada satu
orang imam. Dan parahnya, lanjut Al Ghazali, saat mereka mentok argumentasinya
tentang suatu persoalan, maka akan dilarikan pada imam yang belum muncul. Inilah
kelemahan dasar imamiyah Batiniah.
Jalan Sufi
Untuk itu Al Ghazali mengajukan
jalan terbaik yaitu Sufisme. Dia menyatakan bahwa Sufi menyatukan antara
pengetahuan dan praktik, tujuannya adalah untuk membersihkan
rintangan-rintangan yag hadir pada jiwa dan untuk mencuci kebiasaan tercela
serta hal-hal picik lainnya sehingga hati menjadi kosong dari keburukan itu
semua dan yang tersisa hanyalah Tuhan dan ingatan yang konstan Terhadap-Nya.
Untuk mewujudkan jalan misktik
ini, dia mempelajari beberpa karya dan pemikiran tokoh-tokoh Sufi besar.
Beberapa di antaranya yang disebut: Abu Talib al-Makki, al-Harith al-Muhasibi,
al-Junaid, al-Shibli, dan Abu Yazid Al Bistami.
Dari tokoh-tokoh inilah dia
menimba air dan memuaskan dahaga Sufismenya, hingga menyadari bahwa betapa
mempraktikkan pengetahuan jauh lebih sulit ketimbang membincangkannya secara
teoritik. Mengapa begitu?
Menurut Al Ghazali ada perbedaan
mendasar antara mengetahui dan mengalami pengetahuan, antara tahu tentang
definisi mabuk dan mengalami mabuk itu sendiri. Orang yang mengalami mabuk dia
tidak peduli apa itu definisi dan konsep mabuk, dia sudah merasakannya.
Tetapi
orang yang hanya tahu definisi mabuk tentu saja tidak bisa disebut sedang
mabuk, dan dia susah untuk mempraktikkan mabuk itu sendiri. Begitulah dia
membedakan Sufisme dengan non-Sufisme, Sufi adalah suatu keadaan merasakan
puncak kenikmatan dan berada dalam kondisi berekstasi (sakau).
Dan, itu pula
berbeda dengan orang yang hanya mengerti secara teoritik tentang Sufisme,
artinya Sufisme bukan untuk dipikirkan tetapi untuk dialami.
Lalu bagaimana sampai pada suatu
ekstasi? Al Ghazali menceritakan pengalamannya sejauh yang dapat diungkapkan.
Mula-mula dengan menarik diri dari hal-hal yang delusi. Kemudian menggerakkan
seluruh diri menuju yang immortal dan upaya melebur diri pada Tuhan yang besar.
Tetapi ini tidak mudah baginya, dia dihadapkan pada pilihan yang rumit antara
hidup berdasar passion mengajar agama dan mengabdi pada masyarakat,
tetapi di sisi lain usia yang terus menua membuat dirinya terdorong untuk
mempersiapkan segala sesuatu untuk menuju perjalanan yang jauh lebih panjang
dengan meninggalkan segala passionnya.
Al Ghazali mengalami kecemasan pada
pengetahuannya, hingga bertekat meninggalkan segala yang meragukan itu.
Kecemasan itu telah membuatnya tidak bisa bicara banyak di hadapan para
mahasiswa, tidak bisa mengunyah pun menelan, pencernaannya tidak lancar.
Hingga
akhirnya dia menyadari ketakberdaayaan dan kefanaan dirinya. Al Ghazali memutuskan
keluar dari Nizamiyah dan hijrah dari Bagdad menuju Mekkah dengan meninggalkan
segala hal yang dia sebut sebagai delusi, meninggalkan para kolega, komunitas,
kampus, termasuk kekhalifahan saat itu.
Dalam perjalanan, baik saat berada di
Damaskus, Jerussalem, hingga tiba di Madinah dan Mekkah, dia melakukan
penyucian diri. Situasi ini dijalani oleh Al Ghazali kurang lebih 10 tahun,
lalu memutuskan menulis pengalamnnya.
Jadi Al Munqid Min Ad Dhalal,
menjelaskan bahwa Al Ghazali sekalipun memutuskan jalan Sufi adalah yang
terbaik, namun dia sebelumnya diawali dari suatu upaya pengetahuan teoritik
filosofis. Artinya dia membuat tingkatan pengetahuan, dan ibarat anak tangga
tidak langsung melangkah ke anak tangga paling atas sebelum melalui anak tangga
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Hingga keyakinan itu mantap, dan diri
mengalami ekstasi yang sesungguhnya.
Catatan: Tulisan ini
dibuat sebagai catatan atas bedah buku Al Munqid Min Ad Dhalal yang
dialih bahasakan oleh bung Ach. Khoiron Nafis.
0 Komentar