Oleh: Herlianto. A
Mazhabkepanjen.com - Pasca ditolaknya perluasan tafsir
zina terhadap LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) pada uji materi KUHP pasal 284, 285, dan 292 oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Kelompok LGBT kembali menjadi bulan-bulanan, tentu saja di
medsos, mulai dari tuduhan sebagai kaum sodom yang dilaknat Tuhan hingga
tuduhan sebagai penyakit menular macam difteri yang belakangan ini melanda
sejumlah tempat di Indonesia. MK pun tak luput dari serangan dengan dituduh
lembaga pro zina, dst.
Kecaman-kecaman bertaburan,
hingga berupaya mengaitkan-ngaitkan putusan MK dengan hal-hal rasis dan irasional macam bencana alam. Bahwa
karena sebagian hakim MK adalah non Islam makanya pro LGBT. Alhasil kewalat. Setelah uji materi ditolak langsung diazab oleh Tuhan lewat gempa di Jawa
Barat. Pola-pola argumen dan serangan macam ini sangat khas kaum “pentol korek”
karena itu tak perlu heran.
Yang perlu ditegaskan adalah
bahwa agama (non-Islam) tidak ada kaitannya dengan putusan MK yang dianggap pro
LGBT, karena teks-teks agama semua menolak LGBT. Kemudian, soal bencana, itu
adalah kesesatan (fallacy) logis yang disebut Post Hoc Ergo Propter
Hoc, di mana melihat urutan kejadian sebagai akibat dari kejadian sebelumnya
walaupun tak ada hubungannya.
Peristiwa Y terjadi sebelum
peritiswa X, maka Y adalah sebab bagi X. Misalnya, kejadian pertama putusan MK menolak
uji materi, kejadian kedua gempa bumi. Fallacy ini langsung menyebut
bahwa kejadian yang mendahului adalah sebab bagi kejadia berikutnya.
Ini sesat, betapa tidak, karena
kejadian yang mendahului bukan hanya putusan MK, tetapi ada banyak kejadian
yang mendahului gempa Jabar. Sebutnya saja, Setya Novanto yang bungkam saat
sidang, reuni 212, kalau ditarik yang lebih lama lagi “kasus pisang” di mana
tersangkanya masih kabur sampai sekarang, dan ada banyak kejadian yang
mendahului lainnya. Soalnya, lalu yang mana sesungguhnya sebabnya?
Dalam kesempatan ini, saya tidak
bermaksud sebagai advokad bagi LBGT, apalagi seperti lawyer-lawyer lebay yang
menggadaikan kebenaran demi uang itu. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin bercerita
tentang pengalaman yang pernah menemani seorang teman meneliti tentang bagaimana
penerimaan masyarakat terhadap LGBT, khususnya Gay, dalam kehidupan sosialnya.
Suatu hari saya mendatangi markas
IGAMA (Ikatan Gay Malang) di salah satu tempat di Malang. Maaf saya tak perlu
mencantumkan lokasi, khawatir “kaum pentol korek” melakukan tindak sembarangan.
Setibanya di lokasi terdengar suara-suara di mana mereka saling berdiskusi,
tentu saja para diskusannya “berkunam” semua. Mereka menemui kami, salaman dan menyapa
dengan ramah, lalu mempersilahkan kami duduk. “Kira-kira apa yang bisa kami
bantu?,” tanyanya santai.
Saya lihat pakaiannya sebagaimana
pria pada umumnya pakai celana jeans, kemejanya dengan dua kancing atasnya
dilepas sehingga dadanya yang bidang dan badannya yang kekar terlihat jelas,
dengan model duduk kaki kanan menyilang di atas kaki kiri. Yang khas lagi
adalah dia sangat wangi, saya tidak tahu kira-kira jenis parfum apa yang
digunakan. Tapi sepertinya bukan parfum murahan.
Sebelum menjawab pertanyaannya, seperti
orang kehilangan saya masih melihat-lihat kiri-kanan, atas-bawah, dan
depan-belakang. Pas di samping kanan, saya melihat etalase kira-kira berukuran
50x70 sentimeter. Etalase ini berisi kotak-kotak kertas bergambar pria dan
wanita dan bertuliskan “Sutra”, warnanya ada yang merah dan hitam, ada juga
kotak warna-warni lebih kecil ukurannya dari “Sutra” di situ bertuliskan “Fiesta”
rasa strawberry. Sepertinya ini benda-benda kesehatan.
Lalu di depan saya ada whiteboard,
di situ berisi jadwal-jadwal pertemuan penting. Salah satunya yang saya ingat
adalah tentang kajian kesehatan reproduksi dengan calon pembicara seorang
dokter. Merasa sungkan seperti orang glagapan di rumah orang, saya memutuskan
diam dan melanjutkan penggalian data.
Menurut pengakuan Gay ini, bahwa
dirinya tidak pernah meminta pada Tuhan untuk menyukai sesama jenis. Bagi dia,
apa yang dialami juga pemberian Tuhan. Karena itu dia menjalani kehidupan ini
sebagaimana manusia lainnya: bekerja sebagai dosen, bisnis, bergaul dengan
orang lain, berolahraga, belajar sebagai mahasiswa, dan tentu saja urusan
seksual juga. “Hanya saja orientasi seks kami berbeda dengan orang-orang pada
umumnya, jadi kami seperti terjebak dalam wadah yang tidak diinginkan,” kata
dia.
Lalu kami mencoba menelusuri
bagaimana suka pada lawan jenis itu bermula. Menurut dia, dirinya tidak bisa
menjelaskan mengapa rasa suka pada sejenis itu muncul, sebagaimana kita
tiba-tiba jatuh cinta pada lawan jenis, sulit dijelaskan. Begitulah yang mereka
juga alami.
Perkenalannya dijelaskan sebagaimana orang lagi PDKT, biasanya ngajak
makan bareng, nonton, memberi perhatian, intinya ada pengorbanan. Dan mereka
sangat senang jika berhasil menggaet laki-laki yang beneran, laki-laki normal.
Karena itu, mereka cukup banyak berkorban untuk pria yang sesuai selera itu
demi cintanya.
Bagaimana pola hubungan
seksualnya? Menurut mereka saat intim juga tetap mengandaikan laki-laki dan
perempuan, maksudnya berntidak di bawah (simbol perempuan) dan di atas (simbol
laki-laki). Loh bukankah sama-sama pisang bagaimana nentuin atas-bawahnya? Penentuannya
terjadi pada saat mereka berhubungan pertama kali, jika puas di atas maka dia
akan menjadi Gay Up, dan jika puas di bawah maka dia akan menjadi Gay
Bottom. Begitulah cara mereka membina hubungan.
Dan sejauh ini dengan status yang
tak umum ini. Mereka kadang dikucilkan dalam kehidupan sosial. Padahal mereka
bukanlah penyakit menular, melainkan sedang menjalankan takdirnya. Karena
alasan itulah, menurut dia, meskipun di Malang banyak Gay termasuk di
kampus-kampus negeri tetapi tidak berani tampil terbuka karena kehidupan sosial
belum bisa memperlakukannya dengan baik.
Lalu apa empatinya? Dilihat dari
pola PDKT hingga ke acara inti: seks itu sendiri. Mereka tetap mengandaikan laki-laki dan
perempuan. Konstruksinya bukan homo tetapi tetap hetero. Artinya, cukup beralasan
jika mereka merasa terjebak dalam wadah yang tak sesuai dengan orientasi
seksnya. Keterjebakan ini bisa jadi suatu derita buat mereka sehingga mereka
tidak bisa bersosial dengan baik saat posisinya terbuka ke publik.
Jadi, sebagai suatu derita homoseks
ini tidak mengenal siapa. Siapapun bisa saja mengalami dan menjadi Gay atau Lesbian.
Di sinilah perlunya berempati, empati bukan pro Gay melainkan mencoba
menempatkan diri di posisi mereka. Saat ini mungkin saja kita tidak menjadi
bagian dari mereka, tetapi bagaimana dengan keturunan kita kelak.
Semoga saja tidak
mengalami derita keterjebakan itu. Andaikan ada di posisi mereka apa yang bisa
dilakukan? Kita banyak cincong saat ini karena belum di posisi mereka. Bahwa
mereka dalam derita, itu berarti tetap perlu dibantu untuk terbebas dari jerat
itu.
0 Komentar