Oleh: Herlianto A
Sumber: kompasiana.com |
“Milenial” menjadi term
yang singgah di ujung lidah setiap obrolan belakangan ini. Kata itu menjadi
semacam kuasa yang diatributkan pada hal-hal dan tindakan-tindakan yang
sebetulnya kurang biasa, lalu kemudian terjadi permakluman. Seperti arus besar,
“milineal” tengah melanda kehidupan sosial kalangan remaja. Dan, sebagaimana
biasanya penolakan dan penerimaan atau penerimaan dengan syarat kerap kali
menjadi cuap-cuap di kehidupan sosial kita. Tulisan ini tidak berpretensi
mengarahkan pada salah satu pilihan itu, tetapi mencoba membicarakan dengan
lebih sederhana dengan melihat kejadian keseharian, lalu mengkaitkannya dengan
kehidupan mahasiswa.
Nomenklatur milenial dalam
beberapa kajian disebut juga generasi Y atau echo boomers. Generasi ini
lahir antara tahun 1980an-1997an,[1] dan berkembang di era komputerisasi, digitalisasi,
smartphone, dan berbagai jenis gadget lainnya. Generasi Y
bersama-sama generasi Z yang lahir 1998-2010an mengindentikkan diri sebagai
generasi yang tak bisa hidup tanpa teknologi. Cenderung pada yang instan-instan
dan polesan, ingin bergelimang popularitas, cita-citanya menjadi trendsetter
tertentu, dan tak bisa hidup tanpa gadget.
Era milenial, meminjam bahasa
Yasraf Amil Piliang, adalah era di mana ruang dilipat oleh waktu, jarak dilipat oleh kecepatan. Pada “Zaman
Old”, sebelum milenial, jika berkirim surat butuh waktu hingga berhari-hari
untuk mendapat kabar dari seseorang. Tetapi “Zaman Now” cukup mengusap smartphone
seketika kabar itu datang, bakan tak terbendung. Tak ada lagi jarak antara satu
orang dengan lainnya. Pergi berkunjung ke lokasi wisata di daerah tertentu,
yang biasanya ditempuh lima hingga enam hari, kini dengan pesawat hanya cukup
dalam hitungan menit. Tak ada lagi ruang terpisah antara satu lokasi dengan
yang lain. Kehidupan dituntut untuk multitasking, makan sambil chatting,
lihat televisi, ngerumpi, dan sabil pesan pakaian di online shop. Inilah
yang disebut kehidupan dromologis, yaitu kehidupan yang berpacu dalam kecepatan,
kehidupan yang terpadatkan.[2]
Nah, mahasiswa saat ini berada
dalam lingkaran kehidupan sosial macam itu. Generasi ini sepertinya tidak bisa
menolak balada milineal tersebut, dan memang sulit menemukan bagaimana cara
menolaknya. Alhasil, mereka melestarikan life style ini dalam kehidupannya,
sehingga agen of change, of social control, of intellectual
entah di mana rimbanya kini. Predikat itu menjadi sebatas teriakan-teriakn MC
saat pengenalan kampus pada mahasiswa baru, atau pada saat rekrutmen awal
organisasi mahasiswa, setelah itu bau dan basi. Perpustakaan-perpustakaan sepi
mahasiswa, ramai lagi menjelang tugas akhir. Sementara mal, tempat wisata, dan
pusat-pusat perbelanjaan dipadati oleh mahasiswa. Lebih baik menunduk pada handphone
ketimbang pada buku, atau beli banyak buku tapi tidak dibaca.
Baca Juga:
Organisasi mahasiswa esktra
kampus (Omek) macam PMII, HMI, GMNI, dll, tidak terlalu menarik lagi bagi
mereka. Bisa dipastikan beberapa organisasi ini hanya ramai penuh sesak dalam
dua situasi. Pertama, pada saat rekrutmet, generasi unyu-unyu itu banyak
yang ingin tahu kehidupan berorganisasi, ingin memperteguh leadershipnya.
Tetapi setelah tahu realitas berorganisasi, mereka perlahan mundur dengan
alasan menggelikan: tidak boleh oleh orang tua dan dilarang oleh pacar, shits!.
Kedua, Omek kembali ramai lagi
menjelang pemilihan pengurus baru, banyak para senior-senior ngajakin
ngopi. Orang-orang yang dulu pernah ikut rektrutmen kembali dipanggil untuk
dipastikan suaranya. Omek tak ubahnya style partai politik, ini salah
satu pembusukan paling jelas dalam organisasi kemahasiswaan saat ini. Setelah
dua keadaan ini selesai, selesai pulalah wacana tentang gerakan mahasiswa.
Akibat Omek yang tak dapat
berprilaku dengan baik, tak sedikit mahasiswa kemudian lebih cenderung masuk
pada komunitas-komunitas tertentu berdasarkan hobi masing-masing. Misalnya,
komunitas sekolah anak jalanan, kajian Gusdurian, komunitas reptil, kucing,
hamster, motor vespa, CB, Ninja, dst. Memang komunitas tidak salah, tetapi
gerakan mahasiswa tak memiliki bergaining
position lagi. Jika terus begini, entah lima puluh tahun yang akan datang
apakah masih butuh Omek atau tidak. Karena faktanya komunitas-komunitas itu
juga melakukan pergerakan tertentu. Inilah mahasiswa “Zaman Now” yang disupport
oleh gadget. Lalu bagaimana menata keadaan pergerakan yang terlanjur kocar-kacir
ini?
Tanamkan Sejarah
Obrolan sejarah di kalangan
mahasiswa milenial, barangkali sudah pernah, namun saya ragu. Tetapi tidak ada
salahnya jika sejarah itu diulang dan diulang tentu dengan analisa yang lebih
tajam. Setidaknya mengorek sejarah bagaimana kiprah dan keterlibatan mahasiswa
dalam gerakan nasional. Sebelum kemerdekaan, kita mengenal Budi Utomo didirikan
pada 1908, diprakarsai oleh Wahidin Soedirohusodo, Cipto Mangun Kusumo,
Soetomo, dan Ki Hajar Dewantara. Meski organisasi ini mendapat banyak tuduhan—salah satunya dianggap organisasi
pernikahan antara priyai dan kolonialis—tetapi
setidaknya ia ini memicu berhamburannya berbagai organisasi kedaerahan macam Jong Java (1920), Jong
Sumatrenen Bond (1918), Jong Ambon (1920), Jong Minahasa
(1918), dst[3], yang kemudian
melahirkan peristiwa penting: Sumpah Pemuda 1928.
Kemudian, era-era menjelang
kemerdekaan, di mana mahasiswa pernah melakukan penculikan Sukarno dan Hatta
untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan. Terkenal tiga asrama yang
menjadi pusat mahasiswa membangun gerakannya, di antaranya: Asrama Menteng Raya
31, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Beberapa orang yang ada di
asrama-asrama itu di antaranya: Chaerul Saleh, Sukarni, DN Aidit, Siswandi.
Para mahasiswa ini memperoleh wawasan langsung dari Sukarno, Sjahrir, Hatta,
dan Yamin.[4] Para generasi ini
melalukan tugasnya dengan sungguh sebagai agen perubahan. Suatu upaya berani
yang patut menjadi teladan gerakan saat
ini.
Pasca lengsernya Sukarno, para
mahasiswa terjerembab ke dalam perebutan kekuasaan bersama Suharto. Sebagian
dari mereka juga duduk di kursi kekuasaan, mejadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
misalnya David Napitupulu (KAMI), Mar’i Muhammad (HMI), Cosmas Batubara
(PMKRI), M. Zamroni (PMII), dst. Inilah yang membuat Soe Hok Gie mengirimi
mereka seperangkat alat make up, agar mereka dapat me-make over mukanya
dan melipstik bibirnya untuk tampil cantik dihadapan penguasa. Bagi Gie
mestinya mereka tidak pamrih dengan setiap perjuangan yang dilakukan.
Setelah itu, gerakan mahasiswa
tidak terlalu bergairah lantaran mendapat bredel dari sang otoriter Suharto. The
smiling jenderal yang berkuasa 32 tahun itu memanfaatkan kekuatan militer
untuk menghabisi tak sedikit mahasiswa, penculikan dan penembakan misterius
(petrus) terus mengintai. Setidaknya masih ada puluhan mahasiswa sampai saat
ini yang belum ditemukan rimbanya: beberapa di antaranya: Dedy Umar Hamdun,
Herman Hendrawan, Nova Al Katiri, dst.
Kemudian di era reformasi 1998,
bagaimana mahasiswa terlibat dalam suatu gerakan demokratisasi memperjuangkan
hak setiap individu untuk berbicara dan hidup lebih baik. Pertarugan 1998
adalah pertaruhan nyawa, itulah yang kita lihat dalam peristiwa Semanggi I dan
II serta Trisakti, yang menewaskan tak sedikit mahasiswa. Darah mereka mengalir
setelah ditembus peluruh di tanah kelahiran mereka sendiri. Sedihnya, hingga 20
tahun kemudian belum ada satu pelakupun dari kejahatan itu yang tertangkap.
Para jenderal yang saat itu menjabat, kini ditemukan sedang berkontestasi
mendirikan partai dan merebut kekuasaan. Inilah kisah pilu, di tengah nikmatnya
kita mengotak-atik smartphone, menikmati tempat wisata, beraspirasi
dengan sesuka hati di medsos.
Bongkar Diskursus Milenial
Milenialisasi sebetulnya bukanlah
wacana netral. Wacana ini sengaja dibuat sedemikian rupa untuk tujuan tertentu,
ada muatan-muatan yang di-install-kan pada term itu. Jika dari awal kita
meyakini bahwa milenial identik dengan pengidentitasan diri dengan
atribut-atribut tertentu, semacam smartphone, gadget, fashion,
kuliner, wisata, dan berbagai jenis lifestyle lainnya, maka berarti
muatan milenial adalah muatan modal. Ia menjadi suatu upaya yang “memaksa” kita
untuk terus menjadi shopaholic. Menghabiskan segenap dana kuliah
agar dapat diri teridentifikasi sebagai milenial. Artinya ada muata ideologis
di dalamnya, yaitu kapitalisme.
Maka diskursus ini perlu
dibongkar, salah satu cara membongkarnya adalah pendekatan “dekonstruksi”.
Pendekatan ini, berupaya menggelincirkan ketunggalan makna akan milenial, bahwa
secara oposisi-biner kekinian atau life style yang trendi tidak ada
kaitannya dengan milenialisasi. Milenialisasi tidak selalu semakna atau tidak
selalu berkoresponden dengan gadget yang besar, lebar dan canggih. Berpakaian
trendi dan nenteng smartphone bagus kemana-mana bisa jadi bukan
milenial melainkan suatu kedunguan, karena dengan itu malas belajar, tidak
pernah baca buku, segala waktunya dihabiskan melotot pada medsos.
Upaya counter definisi ini
bisa dimulai dari sendiri masing-masing, bahwa milenial bukan lagi mereka yang
gonta-ganti fashion, gadget, dst, melainkan mereka yang otaknya berisi
pengetahuan, aktif berorganisasi, dan selalu ada didepan dalam keberpihakannya
pada mereka yang tertindas. Dengan demikian, segala alat-alat teknologis yang ada
digunakan bukan untuk prestis, citra “kece” dan keyakinan rendahan lainnya,
melainkan untuk membangun pengatahuan diri, melancarkan konsolidasasi
pergerakan. Hal ini sebagaimana pernah dilakukan oleh anak-anak dan mahasiswa
Hongkong yang kemudian dikenal dengan revolusi payung.
Dengan demikian, belenggu
mahasiswa “Zaman Now” dan kuasa milenial dapat kita atasi seterhormat mungkin,
dan tanpa harus menjadi kolot dan anti pada gadget, melainkan bagaimana
memanfaatkannya untuk pergerakan dan kesolidasi pasukan. Akhirnya, kuasa
milenial yang tak pernah netral itu setidaknya tidak semakin menular lebih
jauh. Selamat berjuang kawan mahasiswa!
#filsafatmazhabkepanjen
[1] Generasi milenial dibedakan dengan beberapa tahpan
generasi lainnya, di antaranya: baby boomers tahun 1960 kebawah di
era-era perang. Post boomers tahun 1961-1980an atau generasi X, era-era
perang dingin. Generasi Y tahun 1981-1997an (milenial), generasi yang
berkembang di era komputerisasi, gadget, dan smartphone. Generasi
Z tahun 1998-2010an, berkecenderungan instan dan gandrung akan popularitas.
[2] Yasraf Amir Piliang. Dunia Yang Dilipat: Tamasya
Malampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. 2011
[3] Ahmad Siboy & Herlianto. Mahasiswa Dalam
Pergulatan Politik. Jakarta: Nirmana Media. 2017., hal 37-37
0 Komentar