Oleh: Herlianto A
Salah satu pencarian purba
manusia adalah pencarian akan Tuhan. Ribuan tahun lalu Ibrahim pernah mengira matahari adalah Tuhan, lalu
bulan juga dianggap Tuhan. Tetapi seketika keyakinan itu sirna lantaran
matahari tenggelam bersama senja dan bulan kehabisan cahaya di saat fajar mulai
menyingsing. Peradaban-peraban purba macam Babilonia, Persia, Mesir, Cina, Yunani
pun tak ketinggalan melakukan pencarian sebagaimana Ibrahim melakukanya. Di
situlah berbagai rupa ritualitas, atau pendeknya agama, berkembang dan terus
lestari hingga hari ini.
Sebagian manusia, kemudian
memilih bersandar begitu saja (taklid) pada ritus-ritus agama yang
menyediakan pakem-pakem ketuhanan, kemudian
mereka jadikannya petunjuk teknis yang standart (dogma) menuju Tuhan.
Namun, dalam sejarahnya yang dianggap pakem itu justru tidak pernah pakem,
sebagaimana ditunjukkan secara ilmiah oleh Karen Amstrong lewat History of
God bahwa pencarian Tuhan memiliki sejarahnya sendiri yang tidak tunggal.
Alhasil, agama sebagai jalan menuju Tuhan menjadi beragam.
Sementara sebagian manusia lainnya,
menempuh jalan berbeda dari sebatas “ikut-ikutan”. Mereka berupaya melakukan
pencarian sendiri dengan memaksimalkan perangkat pengetahuan yang ada pada
dirinya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh para filosof. Hasilnya adalah “tuhan-tuhan”
yang dicapai secara rasional. Beberapa filsuf yang melakukan pencarian ini di
antaranya Al Ghazali dan Rene Descartes, yang sekaligus akan menjadi fokus
pembuatan hipotesa dalam tulisan ini, dengan model komparasi dua buku Al
Munqid Min Adh Dhalal dan Meditation on First Philosophy.
Dua tokoh ini dipilih dengan
berbagai alasan atau problem yang sebetulnya perlu ditelisik lebih jauh. Pertama,
Descartes sebagai salah satu simbol filsafat Barat, sementara Al Ghazali simbol
filsafat Islam. Simbol dalam arti bukan semua corak filsafat di lokalitasnya
masing-masing mengacu hanya pada mereka berdua. Melainkan, bahwa keduanya
merupakan tokoh besar filsafat di era dan kawasan masing-masing. Seberapa besar
sebetulnya pengaruh dua tokoh ini dalam corak filsafatnya masing-masing?
Kedua, tak sedikit
penulis filsafat meletakkan kedua tokoh itu pada pot skeptisisme. Yang cukup
panjang lebar pembahasannya dieksposisi oleh Ali Asgari Yazdi dalam Sejarah
Skeptisisme. Omar Edward Moad juga melakukan komparasi skeptisisme kedua
tokoh itu dalam Comparing Phases of Skepticism in Al Ghazali dan Descartes.
Soalnya, bagaimana kedua tokoh meletakkan sikap skeptis? Benarkah skeptis
adalah jalan epistemik terakhir mereka, atau itu hanya pijakan awal dalam memulai
pencarian pengetahuan? Lebih jauh seperti apa corak skeptis mereka, apakah
skeptisisme ala Protagoras sehingga semuanya relatif atau ala Gorgias yang
kemudian menolak realitas riil, atau ala Sextus Empirikus yang curiga pada yang
inderawi saja?
Ketiga, ada dugaan plagiasi
gagasan yang dilakukan Descartes terhadap Al Ghazali, khususnya pada buku Al
Munqid yang kemudian diwujudkan menjadi Meditation. Salah satu
yang menjadi penanda praduga ini adalah “konon” buku Al Ghazali tersebut
ditemukan di perpustakaan pribadi Descartes. Bahkan Descartes memberi sedikit
oretan catatan di buku itu. Maka soalnya, seperti apakah penulisan Meditation
dan Al Munqid sehingga yang satu layak disebut memplagiasi yang lain?
Lalu bagaimana konklusi-konklusi yang dicapai kedua buku? Atau jangan-jangan Al
Munqid hanya sebagai inspirasi meditasi filosofis Descartes, jika iya
seberapa jauh sebetulnya Al Ghazali mempengaruhi Descartes? Atau memang Descartes
betul-betul melakukan suatu modifikasi?
Keempat, baik Descartes
maupun Al Ghazali sama-sama masih berbicara tentang pengetahuan dan Tuhan. Di
sini perlu penguraian yang agak panjang, karena Descartes dan Al Ghazali
sama-sama menerima Tuhan walaupun agak sedikit berbeda prosesnya. Desacartes
menerima Tuhan sebagai pengandaian dari segala pengandaian pengetahuan.
Artinya, dalam pencarian pengetahuan, manusia boleh saja awalnya berangkat dari
sikap atheis. Tetapi setelah pencarian itu sampai pada Tuhan, maka manusia
tidak bisa menolak bahwa segala perangkat fakultas pengetahuannya dan bahkan
dirinya sendiri adalah ciptaan Tuhan, karena itu hakikatnya eksistensi Tuhan
mendahului segala pengetahuan manusia. Tuhan adalah pengandaian yang melekat
dalam pengetahuan manusia (intuitif), yang kemudian disebut ide bawaan (innate
idea). Apapun pengetahuannya maka secara jelas akan terpahami bahwa tetap Tuhanlah
ada.
Baca Juga:
- Tawadu’ Ala Santri: Sebuah AlternatifDiskursus Etika Politik
- Aristotelianisme dan Rasionalisme Islam
- Kiritk Sufisme Al Ghazali, Catatan Al Munqid Min Adh Dhalal
Al Ghazali sendiri menerima
Tuhan sebagai pengetahuan yakini. Pengetahuan manusia akan Tuhan bukanlah
pengetahuan konsepsional, karena konsepsi itu sendiri bukanlah Tuhan, konsepsi
justru wujud keraguan akan Tuhan yang terus diperdebatkan. Al Ghazali, lalu
menggunakan pendekatan Sufistik, menjadikan Tuhan sebagai enigma dengan
menegaskan bahwa Tuhan adalah dialami bukan dikonsepsi. Hanya megalami Tuhanlah
satu-satunya kepastian akan Tuhan. Analoginya, antara konsep mabuk dengan mabuk
itu sendiri adalah dua hal yang berbeda, dan yang yakini adalah mengalami mabuk
itu sendiri, bukan konsep tentang mabuk.
Dilihat sekilas keduanya
sampai pada konklusi yang sama akan eksistensi Tuhan, sekalipun melalui proses
pencarian dan penemuan yang sedikit berbeda. Fakta ini, menyembulkan tanya lagi
yaitu benerkah Al Ghazali dan Descartes tokoh skeptis? Atau skeptis hanyalah
metode bagi keduanya untuk sampai pada keyakinan yang mutlak? Lebih jauh bagaimana
secara epistemologi kedua tokoh tersebut berdebat: soal posisi indera (empiris)
dan akal (rasionalis), lebih-lebih Al Ghazali memberi alternatif epistemik
ketiga yaitu intuisi (dzauk)? Secara filosofis pendekatan manakah yang
lebih mungkin digunakan dalam suatu perbincangan akan pengetahuan tentang
Tuhan? Atau jangan-jangan model pencarian keduanya adalah linear alias saling
menguatkan?
Dengan runtutan permasalahn di
atas, maka hipotesa yang bisa dibuat yaitu bahwa antara Al Ghazali dan
Descartes sama-sama menerima proses pengetahuan dengan menjadikan skeptisisme
sebagai pijakan awal untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mapan yaitu
pengetahuan tentang Tuhan. Kemudian sacara historis keduanya juga memiliki
pengaruh pemikiran yang besar, Desacartes bagi abad modern sementara Al Ghazali
di masa kejayaan pemikiran Islam, khususnya tradisi Sufi.
0 Komentar