Oleh: Herlianto A
Sumber: vivo.co.id |
Saya kira problem “fiksi” Roky Gerung sudah
usai, tetapi rupanya masih ada sebagian kalangan yang memperbincangkannya.
Entah, perbincangan ini bagian dari telatnya merespon atau memang karena
sebegitu berpengaruhnya pernyataan Gerung itu. Memang sejauh ini menimbulkan
pro-kontra utamanya antara “pagar betis” Jokowers dan prabowowers, serta, tentu
saja, merembet ke sekutunya yaitu “para cebong” dan alumni “kapak Wiro Sableng
sito gendeng” (212). Naifnya, bahan bakar perseteruan ini tak lain dan tak
bukan adalah pilpres 2019.
Sebelum peristiwa “fiksi” itu viral, sebetulnya
Roky Gerung cukup menjadi role model dikalangan penyuka retorika. Lantaran, dia
punya ciri khas yang tidak fiktif saat berargumentasi. Tak sedikit teman saya,
saat mereka berbicara menyebut kata: jadikhhh….., makakhhhhhh…., nggak ada soal….
dst. Tentu saja raut wajah dan memek semi mocong, nafas tersengal seperti
mahasiswa telat masuk kelas di lantai lima naik tangga, saat ditanya terbata
menjawabnya. Semua itu merupakan corak dan mode Gerung dalam berdiskusi.
Suatu hari sedang nongrong di warkop, seorang
teman datang dengan menjepit sebatang kretek di antara telunjuk dan jari
tengahnya, dia lalu berkata: “ini ada videonya Roksi Gerung bagus”. Belum juga
ditunjukkan video itu, para penikmat kopi yang semalaman belum pulang itu
seketika menyembulkan tawa, lantaran namanya bukan Roksi tapi Roky. Sekelas dengan
teman ini, barangkali tak sedikit kalangan pemuda dan aktivis yang sudah menjadi
kolektor video Gerung.
Baca Juga:
Rupanya TVOne berhasil membranding Gerung,
lebih-lebih pasca peristiwa fiksi. Banyak yang mentracing video-video Gerung, alhamdulillah
TVOne dapat berkah, kita dapat emosinya, he.he.he.he. Tapi ini cukup positif
bagi mereka lantaran tak semua pernyataan Gerung problematis dan kontroversial,
ada juga beberapa kritiknya yang mendasar dan penting (menurut saya). Tapi
untuk kasus “fiksi” ini, kita perlu bincangkan lebih jauh. Well, kita
mulai saja soal fiksi ini, pengantar terlalu panjang membuat pembaca bosan.
Mula-mula kita ajukan pertanyaan: bagaimana
Gerung sampai pada kesimpulan bahwa kitab suci adalah fiksi? Kira-kira
pernyataan gerung begini: “Kalau saya pakai
definisi bahwa fiksi itu menghidupkan imajinasi, maka kitab suci itu fiksi.”
Pernyataan ini dapat dipetakan sebagai berikut:
-
Fiksi itu menghidupkan
imajinasi (putusan mayor)
-
Kitab suci menghidupkan
imajinasi (putusan minor)
-
Kitab suci adalah fiksi (konklusi)
Kaum logikawan menyebut cara
bernalar seperti ini sebagai silogisme, yang jauh abad lalu sudah diformulasi
dengan genius oleh Aristoteles, bisa ditelusuri di bukunya “Prior Analitics”.
Pada silogisme Gerung ini persoalannya bukan pada konklusinya “kitab suci
adalah fiksi,” tetapi bagaimana putusan bahwa “fiksi itu menghidupkan imajinasi”
didapat. Karena bagi saya fiksi itu juga mengerikan, terutama yang horor. Berarti
Gerung membuat definisi (batasan) hanya pada salah satu fungsi fiksi.
Menghidupkan imajinasi adalah salah satu fungsi dari fiksi.
Definisi ini saya kira kurang
mumpuni. Mari kita lihat persoalannya pada kasus lainnya dengan model ini. Misalnya,
apa itu semen? Semen adalah bahan pembuat rumah, padahal ada semen buat patung,
buat rabat beton, buat dagangan, dst. Ini mungkin yang disebut definition
logic error.
Kemudian, kriteria “menghidupkan
imajinasi” yang dipredikasikan pada fiksi juga merupakan batasan yang tidak
terbatas, definisi yang tidak definite. Karena, semua bisa menghidupkan
imajinasi bergantung bagaimana setiap subjek menempatkan sesuatu dalam
nalarnya. Kuda yang dipasang jilbab lalu bibirnya diolesi lipstik merah delima,
bagi para joblower bisa jadi menghidupkan imajinasi (makanya nikah). Ada
batu terbelah, bisa menghidupkan imajinasi, lumayan bisa diambil dan dijual
buat bayar tagihan bulanan.
Lantas, apa yang menjadi
batasan menghidupkan imajinasi dan tidak? Bahkan sosok Roky Gerung sendiri bisa
menghidupkan imajinasi, apakah dia fiksi? Kalau begitu apa yang bukan fiksi di
dunia ini, sejauh ia menghidupkan imajinasi? Lalu apa itu fakta, fiktif, dan
realitas yang oleh Gerung dibedakan dari fiksi? Bukankah semua itu juga dapat
meghidupkan imajinasi. KPK menangkap seorang bupati karena anggarannya fiktif,
misalnya.
Lebih jauh, Gerung melawankan
fiksi dengan realitas, bukan dengan fakta. Menurut saya, pengopposisian ini
tidak aple to aple. Soalnya, fiksi itu juga realitas yaitu realitas yang
fiksional, artinya fiksi itu ada (riil). Begitu juga fakta dan fiktif, keduanya
juga realitas. Maka, dari sisi realitas, fiksi, fakta, dan fiktif adalah
sama-sama realitas atau nyata adanya.
Dengan begitu, berarti Gerung melawankan
sebagian dengan keseluruhan, seperti melawankan antara siswa dengan sekolah,
padahal dalam sekolah sudah ada siswa. Menyebut sekolah pastilah termasuk
didalamnya siswa. Pendeknya, semua yang dibicarakan oleh Gerung itu adalah
realitas, baik realitas fiksi, fakta, dan fiktif. Lalu pertanyaan baliknya, apa
yang bukan realitas? Jawabnya, tidak ada yang bukan realitas.
Lebih jauh, Gerung menilai
fiksi itu baik. Nah, di sini barangkali ada persinggungannya dengan pernyataan
Prabowo sebelumnya tentang Indonesia bubar 2030 yang dikutip dari novel Ghost
Fleet. Bahwa kutipan dari fiksi (ilmiah) itu sebagai sesuatu yang
membangkitkan imajinasi, itu baik, yang tidak baik adalah fiktif, demikan tutur
Gerung. Di sini, saya kira, Gerung kembali problematis pernyataannya. Bagaimana
dia menilai baik pada fiksi? Apakah baik itu pada fiksinya atau pada dampak
yang ditimbulkan yaitu dapat membangkitkan imajinasi?
Kalau acuannya adalah fiksi
dapat membangkitkan imajinasi, dan karena fiksi adalah baik, maka segala yang
dapat membangkitkan imajinasi adalah baik. Sayangnya, kesimpulan ini akan inkonsisten
dengan definisi fiksi di awal. Karena segala yang dapat membangkitkan imajinasi
bukan hanya fiksi, sebagaimana kita korek sebelumnya. Jika Gerung ingin memaksa
“fiksi adalah baik” dengan asumsi bahwa “fiksi itu membangkitkan imajinasi,”
maka definisinya tentang fiksi sebaiknya bukan sebagai putusan mayor melainkan
minor. Kira-kira sebagai berikut:
-
Segala yang menghidupkan
imajinasi adalah baik
-
Fiksi menghidupkan imajinasi
-
Fiksi adalah baik
Silogisme ini cukup fair,
hanya saja definisi pertama Gerung menjadi tidak bisa ditarik
universalisasinya. Artinya, fiksi itu hanya salah satu yang dapat menghidupkan
imajinasi. Menghidupkan imajinasi menjadi tidak identik dengan fiksi. Masih ada
banyak yang lain yang dapat menghidupkan imajinasi, Alquran bisa jadi salah
satu yang mengidupkan imajinasi. Tetapi menggolongkan Alqura’an sebagai fiksi
adalah fallacy, berdasar cara bernalar ini. Karena fiksi sudah tidak
universal lagi dalam hal menghidupkan imajinasi. Contoh komparasi mungkin begini.
-
Kopi dapat diminum
-
Alkohol juga dapat diminum
-
Berarti kopi adalah alkhohol.
Tentu saja ini adalah
kesesatan yang nyata. Karena meskipun sama-sama dapat diminum kopi tetap
berbeda dengan alkhohol. Dengan penalaran yang sama, meskipun fiksi dan Alquran
sama-sama dapat menghidupkan imajinasi, tetapi tetaplah Alquran bukan fiksi.
Saya tidak tahu mengapa
konsekuensi pernyataan Gerung ini menjadi begini problematisnya. Tetapi saya
yakin, sebagai salah satu ahli filsafat Gerung sudah hatam bolak-balik soal silogisme
(logika) bahkan hafal buku “Prior Analitics”. Namun, sebagaimana semua para
pelajar logika bersepakat bahwa tidak semua yang mengerti logika dapat
berlogika dengan baik, lebih-lebih saat nalarnya tertutupi oleh kabut tebal
bernama kepentingan akan kekuasaan.
Akhirnya, siapa sebetunya yang
retoris, Gerung atau Saya, atau malah keduanya. Yang pasti pembaca adalah penikmat
retorika yang sesungguhnya.
#berjabattangandenganfilsafat
0 Komentar