Oleh: Herlianto A
Sumber: vebma.com |
Pencarian akan yang hakiki
seringkali bertolak belakang dengan ramainya diskusi, kritisnya forum dan ngelanturnya
audiens, megahnya seminar, atau bahkan dahsyatnya debat panel. Keramaian-keramaian
ini acap kali menjadi sebatas rutinan, merealisasikan program kerja, atau suatu
show up intelektualitas yang alih-alih menyingkap yang hakiki malah
menutup kembali tirai enigma ilahi. Sebaliknya, jalan kesunyian yang begitu soliter
(kesendirian) kadang menjadi alternatif—dengan
sedikit melampaui keramaian.
Dalam tradisi filsafat Barat
modern jalan soliter yang fenomenal dilakukan Rene Descartes (1596-1650) lewat meditasi,
“out putnya” adalah Meditation on First Philosophy. Tak pelak, Cartesian
lalu menjadi satu corak filsafat renaisans yang tak mungkin dilewatkan
saat membaca alur filsafat Barat. Pemikir modern itu, menggelisahkan dirinya,
merenungkan dirinya, menegasikan dirinya, lalu menemukan dirinya kembali sebagai
benda yang berpikir (res cogitan) dan berkeluasan (res extensa)
serta dalam kebertautannya dengan sang Ilahi.
Jika ditarik mundur, jauh sebelum
Descartes, beberapa peradaban tua yan masih ada hingga kini telah menjalani epistemik
soliter ini. Budhisme, abad ke 6 SM, menempuh jalan moksa. Mode
epistemik ini berupaya menjauhi segala dukkha dan beralih dari
hiruk-pikuk dunia ke kesunyian untuk mencapai realitas tertinggi. Kerenanya
Sidharta Gautama memutuskan meninggalkan kemewahan dan kemegahan kerajaannya
untuk bermeditasi dalam kesunyian. Lao Tzu, pendiri Taoisme, menarik diri dari
situasi perang dan kekacauan Dinasti Chou di abad ke 6 SM. Dia lalu masuk ke
dalam suatu wadah kekosongan yang justru menjadi sumber dari segala yang ada. Jalan
Tao bukanlah kebisingan melainkan operasi epistemik yang senyap.
Tak terkecuali dalam tradisi
filsafat Islam, yang cukup mengagumkan pada abad ke 12 M, Ibnu Thufail
(1105-1185) menulis karya sastra Hayy bin Yaqzan. Karya ini mengisahkan
anak manusia bernama Hayy yang diasuh rusa. Dia, dalam kesendirian, melakukan
pencarian akan yang hakiki. Hayy berhasil menapaki jalan pengetahuannya
sendirian dan berhasil beranjak dari yang nisbi menuju yang hakiki.
Secara singkat, perjalannya dapat
dinarasikan dalam beberapa tahapan. Pertama, saat dia diasuh oleh sang
induk di mana pengenalan inderawi dimulai. Hayy mengamati benda-benda sekitar
yang berbeda satu sama lain, pepohonan, bebatuan, dan segala pernak-pernik alam
sebagai rimba pluralitas dan partikularitas.
Kedua, kehidupan Hayy
murung pada saat induknya mati. Ini memicu dirinya melakukan pencarian
melintasi hal-hal yang inderawi dengan membedah tubuh sang induk untuk mencari
sebab kematiannya. Bahwa ada keanehan saat sang induk meninggal sementara
kondisi tubuhnya utuh sebagaimana rusa-rusa yang lain, tetapi mengapa induk itu
kaku dan membusuk. Sementara yang lain dengan kondisi tubuh yang sama dapat
bergerak, bernafas, makan, dan kawin, tentu saja. Dia menarik kesimpulan
sementara bahwa yang membuat sang induk hidup bukanlah kelengkapan tubuhnya
melainkan ada yang meresapi dan itu telah pergi.
Ketiga, setelah merelakan
kepergian sang induk, Hayy lalu melakukan mengamatan benda-benda sekitarnya dan
mencoba membandingkan satu sama lain. Ternyata pada semua benda-benda itu ditemukan
kesamaan-kesamaannya. Kesamaan itu adalah bahwa semua benda memiliki bentuk,
ukuran, dan keluasan, benda sekecil apapun akan
tetap saja memiliki karakter tersebut. Semua yang beragam mendapati
kemenyatuannya pada bentuk, ukuran dan keluasan. Keempat, dia lalu
menengadahkan mukanya ke atas, melakukan pengamatan benda-benda langit yang
jauh. Dia merasa takjub dengan kemegahan semesta, lalu merenungkan apakah
benda-benda itu ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakan. Jika ada
dengan sendirinya bagaimana itu bisa terjadi sebagai suatu rentetan yang begitu
terencana dan sistematis. Namun jika itu diciptakan bagaimana dapat dijelaskan
proses penciptaan itu, dan siapa penciptanya.
Kelima, dari keheranan
itu, Hayy merenungkan sang pencipta dengan memproblematisasi keberawalan
semesta. Jika alam ini berawal maka mengandaikan penciptaan dan sang pencipta
sekaligus. Juga, jika tidak berawal tetap saja mengandaikan pencipta akan
ketakberawalan itu sendiri. Namun, Hayy menyadari bahwa pencarian pencipta
tidak bisa ditemukan pada ciptaannya, persis seperti jam tangan yang diciptakan
oleh ahli, di mana pencipta jam itu tidak bisa dicari pada jam tangan itu
sendiri. Karena itu, harus pencarian harus melampaui segala yang ciptaan.
Keenam, dia bertemu dengan
guru sufi bernama Isal yang tengah berpetualang ke pulau Wak-wak tempat Hayy
menjalani hari-harinya. Pada Isal, dia belajar bahasa manusia lalu meceritakan
semua pengalamannya selama ini tentang pencariannya. Rupanya Isal juga tengah
dalam perjalanan uzlah karena perbedaan pandangan dengan orang-orang di
kampungnya. Isal dan Hayy lalu bersepakat menempuh jalan soliter bersama-sama
untuk menyingkap wujud hakiki dan itulah jalan sufi melalui proses mujahadah
(latihan ruhani) dan musyahadah (penyaksian).
Dengan demikian, novel Hayy
bin Yaqzan menunjukkan bahwa secara soliter manusia dapat melakukan
pencarian akan yang hakiki. Pencarian manusia adalah pencarian yang bertahap
dari yang sederhana ke yang kompleks. Manusia beranjak dari yang fisika ke
metafisika, dari yang imanen ke transenden, fenomena ke noumena, partikular ke
universal, dst. Dan, itu semua titik pijaknya tetaplah dari realitas material,
dari kehidupan sosial yang dialami. Lalu kemudian beranjak ke tangga berikutnya
melalui jembatan epistemik yang bertahap.
Kemudian seberapapun Hayy
dijauhkan dari lingkungan manusia lainnya, tetapi tetaplah pada dirinya
tertanam kecenderungan perenial manusia yaitu spritualitas yang diawali dengan
ingin tahu, heran, dan kagum yang kemudian secara bersama-sama mendorong
manusia itu sendiri untuk membabat tirai-tirai penghalang akan penyatuan
dirinya dengan sang maha wujud. Hayy menyiratkan bahwa alat-alat pengetahuan
pada manusia sudah lengkap dan linear dari indera, rasio, intuisi, dan hati.
Perjalanan menuju yang hakiki tidak bisa mengabaikan salah satu dari sekian
perangkat tersebut, jika tidak, dampaknya hanya dua: skeptis atau fanatis. Sayangnya,
kedua-keduanya mencelakakan. Demikian jalan soliter yang narasikan secara
filosofis oleh Ibn Thufail.
Pesona sastra Ibnu Thufail ini,
menurut Faruq Sa’ad dalam pengantarnya, banyak mempengaruhi sastra modern di
Barat. Karya-karya besar macam Robinson Cruso yang ditulis oleh Daniel
Defo, Gullivers Travels karya Jonathan Swift, dan Jungles Books
karya Rudyard Kipling, inspirasinya dari Hayy bin Yaqzan. Bahkan kisah
Tarzan juga dipengaruhi oleh karya itu, walaupun kemudian dibumbui dengan
hal-hal yang saru namun mengasikkan, seperti Tarzan-X.
Akhirnya, tak pelak, semua
kelebihan itu membuat karya tersebut sebagai novel filsafat paling seksi, dan
layak dibaca sebelum membuka novel-novel filsafat lainnya macam Dunia Sophie
karya Jostein Gaarder, atau bahkan sebelum karya-karya Albert Camus, dan tentu
saja sebelum novel-novel filsafat tanah air. Karya ini sudah berhasil
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Navilla,
Jogjakarta.
Sebelumnya telah dimuat di luhurian.or.id, dimuat kembali untuk tujuan dokumentasi
#berjabattangandenganfilsafat
0 Comments