Oleh: Herlianto A
Sumber: edition.cnn.com |
Upaya mempertautkan antara
Mohamed Salah (Mo Salah) dengan Hassan Hanafi terbilang memaksakan diri, atau
kalau tidak, spekulatif dan emosional. Perkaranya, kedua figur bergelut dalam
bidang yang berbeda, Mo Salah di stadion sepak bola dan Hanafi di “stadion”
pemikiran. Namun begitu keduanya berasal dari negara yang sama, Mesir, bahkan,
tak berlebihan, jika dianggap pembawa identitas dan simbolisasi peradaban Timur
Tengah (Islam).
Mengapa Salah tenar, sementara
ada begitu banyak pesebak bola muslim lainnya namun dilampaui popularitasnya?
Pertanyaan ini sudah dijawab pada artikel “Mohamed Salah, “Infus” Derita Muslim
Timteng”. Kali ini akan mencoba merelasikan antara gerakan pemikiran Hanafi
dengan gerakan gocek bola Salah di lapangan. Namun sebelum itu, menarik kita
kembali review kekalahan Liverpool di laga final liga Champion (27/5),
di mana Salah tak bermain penuh karena cedera.
Liverpool Kalah, Mo Salah
Tetap Menang
Sejak pluit pertama ditiup,
Liverpool berupaya menggebrak barisan belakang Real Madrid. Salah termasuk
pemain yang merepotkan Marcelo, sehingga akselerasinya terbatas karenanya los
blankos cukup tertekan. Jika Sadio Mane mengacak-acak pertahanan kanan
Madrid, maka di bagian kiri Salah merepotkannya. Alhasil Firmino dapat bergerak
cukup leluasa dalam membagi bola, sehingga wajar jika dengan posisi demikian
Zidane (pelatih Madrid) mulai was-was.
Namun, pada menit 25 dewi fortuna
mulai berbalik arah. Tepatnya, saat Salah lari menggiring bola ke sisi kanan
pertahanan lawan berduel dengan Sergio Ramos. Ramos menggapit tangan Salah
dengan sedikit menariknya, lalu menjatuhkan diri persis teknik submission
ala MMA (Mix Martial Art) di atas rink. Seketika pemain dengan koleksi
42 goal musim ini tersebut terkapar dan tangannya lumpuh. Sempat di-treatmen
dan bermain lagi, namun pada menit 29 tak tertolong. Akhirnya penuh berurai air
mata, Salah keluar dengan indikasi cedera dislokasi tulang bahu.
Liverpool kalah, dihajar dengan
skor akhir 3-1. Namun demikian, sebagai individu pemain Salah tetap menang. Pertama,
keluarnya Salah membuat permainan Liverpool seakan tidak imbang, spiritnya
menurun. Ini menegaskan bahwa betapa pengaruh Salah sangat besar, persis
seperti kehadiran Lionel Messi bagi Barcelona, yang musim ini tidak beruntung
di liga Champion. Kedua, “cara gangster” Ramos membuat empati mata dunia
menuju pada Salah. Itulah sebabnya meskipun Carvarjal, bek Madrid, juga cedera
dan sama-sama meneteskan air mata, namun mata dunia sama-sekali tak menolehnya.
Headline berita-berita online tetap menempatkan liputan tentang
Salah. Ketiga, dalam situasi demikian Salah tinggal mengobati cederanya,
entah dioperasi atau sangkal putung, setelah itu tinggal menunggu waktu untuk
menggeser Neymar sebagai pemain termahal dunia. Ini artinya, meskipun Livepool
kalah, Mo Salah tetap menang.
Temalinya Dengan Hanafi
Hanafi lahir 1935 di Kairo,
Mesir. Masa hidupnya mengalami situasi sosial yang tak kalah anomienya
dengan dialami Salah saat ini. Tahun 1951, Hanafi menyaksikan langsung
pembantaian para syuhada oleh tentara Inggris di terusan Suez hingga
pemandangan lahirnya revolusi 1952. Tahun 1954 memilih bergabung dengan Ikhawanul
Muslimin karena dianggap memiliki visi ke-Islaman yang tegas. Tetapi karena
ada banyak perbedaan dengan petinggi di dalamnya, dia keluar dari organisasi
yang kini sudah terlarang di negeri Piramida itu. Hanafi beralih pada
kajian-kajian keagamaan, perubahan sosial, dan penegasan keadilan sosial ala
Sayyid Qutb.[1]
Dalam hidupnya, Hanafi
berkesempatan belajar di Prancis, Universitas Sorborne. Di sinilah dia bersentuhan
dengan pemikiran yang berkembang di Eropa. Dia mendalami metode berpikir dan
sejarah filsafat. Teori Edmund Husserl, Paul Ricour, Henry Bergson, dst,
dilumat dalam nalarnya. Di Barat dia mendalami corak berpikir modern yang
merentang mulai dari Rene Descartes hingga Friedrich Nietzsche. Uniknya, Hanafi
tidak menelan begitu saja kemoderenan itu, dia meramunya dengan tradisi klasik
(Islam) yang dibawa dari Mesir. Karena itu, visi besarnya adalah penyatuan
antara tradisi dan pembaruan (at turats wa at tajdid), harapannya tak
lain agar khazanah agama (Islam) menjadi senjata revolusi. Visi ini membuatnya
sering disebut sebagai pembaru Islam. Kozuo Simogaki menyebutnya sebagai tokoh
utama “Kiri Islam”, lantaran membawa gagasan besar Islam untuk pembebasan kaum
tertindas.
Upaya Hanafi untuk memodernisir
pemikiran Islam (di Mesir dan dunia), tak ubahnya Salah dengan caranya
melakukan pembaruan di bidang sepak bola negeri beribu kota Kairo itu. Jika
Salah mengubahnya lewat gojekan kaki, maka Hanafi dengan “gojekan” pikiran. Jika
Salah lari dilapangan berumput, maka Hanafi “lari” di lapangan keilmuan dan
pengetahuan. Keduanya, tidak hanya sama-sama menginspirasi di bidangnya
masing-masing, tetapi juga membawa suatu simbol yang mengutuhkan utamanya
representasi masyarakat (Islam) Timteng. Pada Salah dan Hanafi sama-sama ada harap
untuk kebaikan umat muslim Timteng dan dunia, yang tengah diuji.
Islam Yang Membebaskan
Hanafi pernah berseloroh bahwa
dirinya menemukan muslim tanpa Islam di Eropa dan menemukan Islam tanpa muslim
di timur. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa betapa Islam memiliki nilai-nilai
yang luhur tetapi kemudian karena dipahami secara jumud, maka muslim di Timur
terbelakang secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah, Hanafi
menyadari sepenuhnya bahwa untuk mengolah atau menggali keluhuran tradisi
Islam, dia merasa perlu belajar metodologi ke Eropa. Seperti Salah untuk
mengembangkan sepak bolanya perlu menuju ke Eropa. Karena harus diakui saat ini
Eropa maju secara ilmu pengetahuan dan sepak bola, maka tak keliru jika muslim
belajar ke benua biru, sebagaimana Islam pernah belajar ke Yunani, dan
sebagaimana Eropa pernah belajar ke Islam menjelang abad tengah.
Tak heran jika karya-karya Hanafi
dipenuhi dengan penggunaan metode berpikir Barat dalam mengeksplorasi khazanah
Islam, sembari menyantirkan kekhasannya. Dengan cara ini, dia ingin membawa
Islam lebih membumi, dan peka terhadap persoalan ilmu pengetahuan yang
berdampak secara sosial. Islam bukanlah soal semata kenikmatan pribadi yang
ditempuh lewat self spritual experience. Tetapi, Islam adalah kepedulian
sosial itu sendiri.
Alhasil karya-karyanya bernuansa
menurunkan nilai-nilai Islam yang melangit. Misalnya seri Islamologi
(1,2,3) yang sama sekali menarik ajaran Islam ke realitas sosial. Buku pertama bertekat
menurunkan teologi ke anarkisme, kedua rasionalisme ke empirisme, dan ketiga
teosentrisme ke antroposentrisme. Karya lain yang cukup bercorak emansipatif
adalah Dari Akidah ke Revolusi. Buku ini mengulas prinsip-prinsip akidah
dan konsekuensi niscayanya untuk membela yang teralienasi. Artinya semakin
tinggi pemahaman akidah seseorang mestinya keasadaran sosialnya paling besar.
Apakah Hanafi sebegitu profannya, dan bahkan materialistik? Sama sekali bukan
begitu, dia meyakini antara yang profan dan yang transenden atau materialistik
dan spritualistik tak terpisahkan. Dasar perjalanan material dan perjuangan
profan inspirasinya haruslah spiritual. Perjuangan pembebasan dilakukan karena
dorongan-dorongan ilahiah dan kedalaman nurani. Inilah Islam yang membebaskan.
Jika spritualitas tak menyentuh realitas, maka itu yang dimaksud “onani” yang
sesungguhnya.
Metode Emansipasi
Lalu bagaimana metode Hanafi
menjadikan nilai Islam sebagai senjata emansipatif? Dia menulis dua jilid buku
tentang Studi Filsafat yang cukup penting. Dua buku ini bukanlah
pengantar filsafat sebagaimana umumnya buku filsafat, melainkan lebih dekat
pada bagaimana metode menggali nilai-nilai Islam. Buku pertama berupaya
melakukan “pembacaan atas tradisi Islam kontemporer” dan buku kedua “pembacaan
atas tradisi Barat modern”. Lewat dua karya ini, Hanafi menetapkan tiga sikap
metodis dalam ber-Islam, yaitu sikap kita terhadap tradisi klasik, tradisi
Barat, dan terhadap realitas.[2]
Yang pertama Hanafi ingin
menampik bahwa tradisi Salaf itu tak relevan. Justru dia ingin menegaskan
sumber sesungguhnya Islam adalah tradisi klasik yang karena pengaruh modern
kemudian dibuang begitu saja. Lalu memaksakan tradisi modern dalam
kehidupannya, sehingga terjadi turbulensi sosial lantaran tak cocok. Sementara pada
sikap terhadap tradisi Barat, Hanafi menyadari bahwa itu perlu sejauh untuk
melakukan pembacaan atas tradisi klasik agar terus relevan dengan perkembangan
zaman. Namun memang, Hanafi meyadari dominasi Barat membuat muslim silau, itu
yang dikaji dalam buku Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat.
Pada buku itu Hanafi memastikan
telah terjadi pemalsuan dalam tradisi Eropa. Pertama, mereka melakukan
universalisasi sejarah, seolah sejarah dunia adalah tunggal. Padalah sejarah
peradaban Islam berkembang melalui tahapan berbeda dengan peradaban Barat. Pada
Barat mengalami abad kegelapan (dark age) sejak abad ke 6 hingga 15 M,
Islam sedang bercahaya, sebaliknya Barat berkibar, Islam mulai menurun. Kedua,
untuk memuluskan visi universalisasi ini, Barat menyembunyikan sumber-sumber
pengetahuannya. Itulah yang disebut oleh Hanafi sebagai sumber diekspos dan
tidak diekspos. Yang diekspos: peradaban Yunani dan Kristen, sementara yang tak
diekspos adalah Babilonia, Mesir kuno, Persia, dan timur secara umum.[3]
Lalu berikutnya, sikap pada
realitas merupakan medan bagi dua sikap sebelumnya. Artinya realitas harus
dibaca dengan dua pendekatan sekaligus, sehingga kebudayaan yang lahir tidak
tercerabut dari akarnya dan tetap kontekstual dengan dinamisasi zaman. Itulah
proyek besar Hanafi bagi masyarakat Mesir (dan umat Islam). Melalui gagasan
demikian, Hanafi berharap dapat menemukan Islam di masyarakat muslim Timteng.
Perwujudan diri dari visi Hanafi
ini, persis seperti yang dilakukan oleh Mo Salah saat ini. Sekalipun dia telah
termoderenkan melalui profesionalitas sepak bola. Tetapi dia sama sekali tidak
tercerabut dari akar klasiknya yaitu sebagai umat Islam dan warga Mesir. Karena
itu, Salah tetap rendah hati sebagaimana Islam mengajarkannya, Salah tetap
menjalankan ibadah puasa sekalipun latihan berat. Pendeknya, Mo Salah
mewujudkan modernisme dan profesionalisme sepakabolanya dalam tarikan nafas
tradisi Timteng. Dan yang paling membanggakan, Salah setia dengan Mesir lalu
membawanya ke piala dunia 2018 di Rusia. Mo Salah adalah at turats wa at
tajdid itu sendiri.
0 Komentar