Oleh: Herlianto A
Sumber: rudolfdethu.com |
Cukup polemik sebetulnya
mempredikasi “irasional” pada tindakan teroris, karena dalam keyakinan mereka
tindakannyalah yang paling rasional. Justru kita yang ramai-ramai mengutuk
kebrutalan teror baik di media online
atau medsos lainnya itulah yang irasional, terjangkit westernisasi kafir, mengingkari
agama Allah, laknat, dan bahkan kita semua adalah kafir. Artinya, kita punya
takaran berbeda dengan mereka soal
rasionalitas, bisa jadi saling beropposisi. Lalu mana yang betul-betul rasional
dan yang “menyamar” rasional?
Loren Bagus dalam Kamus Filsafat
menilai suatu konsep (ajaran) itu rasional apabila berkaitan (sejalan) dengan
realitas. Mengatakan bahwa manusia dapat berjalan kaki menuju langit itu adalah
irasional, karena konsepsi ini tidak memiliki realitas.[1] Sebaliknya, yang
tidak memiliki takaran-takaran realitas maka
irasional. Realitas yang dimaksud tentu saja tidak hanya material,
tetapi juga immaterial dan hal-hal yang berdaya kausal lainnya.
Takaran rasionalitas lainnya
adalah efisiensi dan efektifitas atau bahasa gamblangnya tingkat kemanfaatan
suatu tindakan. Tindakan menjadi begitu rasional sejauh memiliki manfaat yang
paling banyak, dan manusia sadar bertindak berdasar nilai ini. Sebaliknya,
manusia akan menjauhi tindakan yang sia-sia, apalagi yang merugikan.[2]
Ukuran rasionalitas selanjutnya
adalah sejauh mempertimbangkan aspek komunikasi antar subjek (intersubjektif),
mempertimbangkan aspek kemanusiaan dirinya dan orang lain lain karenanya perlu
jalinan komunikasi atau dialog. Jadi rasionalitas bukanlah tindakan
instrumental seperti menjadikan diri sebagai alat.[3] Artinya,
rasionalitas itu mempertimbangkan hak-hak orang lain, paling tidak hak orang
lain untuk hidup.
Dengan beberapa takaran ini, mari
kita uji putusan-putusan rasional di atas dengan tindakan teroris. Tantangannya,
jika putusan di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan maka aksi terorislah yang
rasional, tetapi jika sebaliknya maka berarti teroris adalah irasional.
Kita mulai dari ukuran yang
terakhir. Sejauh ini tindak terorisme menyebarkan ketakutan dan tidak segan
membunuh siapapun yang dianggap tidak sejalan. Pengeboman dan pembunuhan tidak
hanya dialami oleh mereka yang non Islam, tetapi masyarakat muslim bahkan ulama
juga mereka teror. Pengeboman tidak hanya terjadi di gereja, masjid-masjid juga
dibom, dan tempat-tempat lainnya. Sama sekali tak ada pertimbangan atau
komunikasi, paling tidak dialog dengan manusia lainnya yang sesama muslim (jika
mereka benar muslim).
Tindakan teroris bukan hasil
dialog, melainkan dampak “brain wash” yang doktriner dan penuh ketundukan, di
mana akal sama sekali dibungkam. Mereka betul-betul menjadikan dirinya
instrumen atau alat bagi mereka yang melakukan pencucian otak. Makanya, aksi
bom bunuh diri tidak pernah dilakukan oleh petinggi teroris yang sejauh ini
mengendalikan aksi teror. Bom bunuh diri lebih banyak melibatkan orang-orang
miskin dan proletar lainnya yang karena kemiskinannya dimanfaatkan oleh
penjahat teror.
Pada takaran kedua, dari sisi
efisiensinya. Apa sebetulnya manfaat yang didapat dari aksi teror, lebih-lebih
bom bunuh diri. Pengebom tewas, yang dibom juga tewas, fasilitas tempat bom
meledak rusak dan hancur, dan masyarakat justru ketakutan. Jadi, what next
setelah ngebom? Tidak jelas. Bagaimana mau jelas, sudah mati. Wah, itu jalan short
cut menuju surga. Mengapa jalan ke surga begitu mengerikan dan sadis? Atau
sebetulnya itu jalan ke neraka?
Islam menyediakan berbagai wahana
dan petunjuk untuk melakukan perbuatan berpahala yang bermanfaat bagi diri
sendiri, bermanfaat bagi orang lain, dan karenanya menjadi tiket menuju surga.
Jadi, Islam menggunakan asas kemanfaatan. Makanya, dalam ijtihat para ulama
ketika membuat putusan-putusan suatu tindakan boleh atau tidak untuk dilakukan,
salah satu pertimbangannya adalah asas kemanfaatan. Lalu apa ukuran kemanfaatan
itu? Ini jelas: tidak mencelakakan diri sendiri dan tidak mencelakakan orang
lain. Kurang salah satunya, suatu tindakan tidak lagi bernilai bermanfaatkan
malah menjadi mara bahaya. Tindakan teror mungkin bermanfaat bagi dirinya
tetapi mencelakakan orang lain. Dengan begitu, teror membelakangi asa
kemanfaatan yang dipegang Islam yang dikemas dalam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Kemudian masuk pada asas yang
pertama, terorisme memiliki idealitas kehidupan tanpa kejahatan. Mereka tidak
dapat menerima realitas sosial di mana kejahatan dan kebaikan berada dalam
keutuhan bermasyarakat. Kehipan bermasyarakat bagi mereka harus yang baik-baik
saja. Itu yang mereka yakini sebagai kehidupan Islami.
Padahal sejak zaman kemunculan
awal Islam kejahatan dan kebaikan merupakan satu paket yang selalu ada, karena
itu ajaran Islam menjadi terus kontekstual. Itulah keragaman realitas kehidupan
dunia sejak sejarah manusia itu ditulis. Bahwa Islam mengajarkan melawan
kejahatan, tidak ada yang menolak. Malah dari situlah, pahala didapatkan dan
Surga dijaminkan. Jadi mengandaikan dunia dan kehidupan sosial tanpa kejahatan
adalah seperti mengandaikan manusia dapat berjalan kaki menuju langit.
Dengan demikian jelas, bahwa
terorisme adalah ajaran yang irasional. Tak memiliki pertimbangan sosial
(subjek-subjek yang lain) yang justru dijunjung tinggi oleh Islam, tak
mempertimbangkan asas kemanfaatan bagi diri, orang lain dan masyarakat, serta
idealitasnya tak memiliki pijakan realitas. Padahal saat setan membangkang, Tuhan
tak langsung menghabisinya. Karena itu, tindakan mereka “sungguh-sungguh”
irasional. Jika rasionalitas adalah ciri kemanusiaan sekaligus pembedanya
dengan kerabat terdekatnya: hewan. Maka siapapun yang mengabaikan rasionalitas
berarti tak ubahnya kerabat dekatnya itu.
[1]
Jika begitu, pembaca dapat mengajukan segudang persoalan konsep yang diyakini
rasional tapi tidak memiliki realitas, macam: malaikat mencabut nyawa, setan
mengganggu manusia ibadah, dst. Dua konsep itu bukan tidak memiliki realitas
melainkan realitasnya imaterial.
[2]
Paling akstrim penilaian ini dianut oleh Jeremy Bentham dan J.S. Mill yang
dikenal dengan ajaran teleologis.
[3]
Penggagas ajaran ini adalah Jurgen Habermas, yang hidup dalam tradisi filsafat
kritis.
0 Komentar