Pancasila dan Posmodernisme


Oleh: Herlianto A
Sumber: purwoudiutomo

Sejak renaisans digeber pada abad ke 15 M, manusia punya harapan besar akan kehidupan lebih baik dalam bermasyarakat. Rebirth (kelahiran kembali) hadir untuk mengakhiri dominasi dan mitos-mitos gereja di abad tengah yang telah terlalu lama memegang otoritas tunggal atas kebenaran. Secara politik hadir Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) dengan gerakan sekulerisasinya, bahwa negaralah yang mesti mengatur agama bukan agama yang mengatur negara. Sehingga secara perlahan otoritas gereja mundur ke belakang.

Dari sisi ilmu pengetahuan berkembang saintisme, bahwa pengetahuan dianggap sah sebagai pengetahuan sejauh dapat dibuktikan secara saintifik. Saintifik berarti harus bersandar pada metode-metode ilmiah yang proses verifikasinya empiris (dapat dibuktikan secara inderawi). Ini semua dalam rangka agar pengetahuan beul-betul objektif, berdasar pada realitas sesungguhnya dan bukan menyantir pada rekaan subjek dengan kecenderungan irasionalnya. Inilah rezim objektivisme.

Namun alih-alih mewujudkan terang humanisasi, modernisme justru melahirkan mitos-mitos baru. Muncul otoriterisme baru, yaitu gigantisme objektivisme atas subjek. Manusia, dalam konteks pengetahuan, dengan segala keunikannya sama sekali tidak dilibatkan. Manusia tak ubahnya benda-benda mati yang kaku dan beku. Di sinilah mitos modernisme mengemuka yaitu seolah-olah pengetahuan tak membutuhkan manusia dan berada di luar manusia. Cara pandang ini secara politik melahirkan ideologi-ideologi tertutup yang memotori tragedi mengerikan dalam sejarah umat manusia, beberapa di antaranya adalah holocaust oleh Nazisme di Jerman dan kekejaman komunisme yang merebak di hampir sepertiga umat dunia, termasuk di Indonesia, dengan pusatnya Uni Soviet.


Dalam situasi demikian, posmodernisme hadir. Jean Francois Lyotard (1924-1998) adalah tokoh penting lahirnya era ini. Atas prakarsa pemerintah Quebec, Kanada, dia melakukan penelitian untuk memastikan suatu proposisi pengetahuan yang berlaku secara universal pada segala zaman, keadaan, dan tempat. Pendeknya, pengetahuan yang bersifat metanaratif (grand naration). Lahirlah buku The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Dalam buku ini, alih-alih melaporkan temuan narasi agungnya, Lyotard malah mendeklarasikan matinya narasi besar yang menjadi corak pandangan dunia modernisme.

Narasi yang berlaku pada segala waktu, tempat, dan realitas sosial sama sekali tidak ada, yang ada hanyalah narasi–narasi kecil yang spesifik dan unik yang berbasis pada keragaman etnik, kultur, dan letak geografis. Spirit posmodernisme ini menyelinap ke berbagai disiplin mulai dari arsitektur, kesusastraan, seni rupa, musik, sosiologi, hingga filsafat.[1] Alhasil tak ada lagi dominasi aliran dalam berbagai bidang ini, tak ada pengkultusan atas gagasan tertentu.

Baca Juga:


Namun begitu, tentang apa itu modernisme masih menyisakan diskusi yang masih dinamis. Setidaknya ada tiga gagasan yang dirumuskan Lyotard sendiri untuk mendudukkan konsep posmodernisme. Di antaranya, sebagai kelanjutan atau suksesi bagi modernisme; sebagai langkah maju dari modernisme dalam arti baik kompleksitas maupun simplisitasnya; dan sebagai upaya pelupaan akan makna yang radikal dan jumud dengan mengetengahkan sikap yang terus-menerus mempertanyakan setiap asumsi-asumsi yang dibangun oleh modernisme.[2] Tiga ciri ini, dapat ditarik benang merah bahwa posmodernisme membuka ruang bagi semua dan inklusif pada setiap makna-makna yang dibangun oleh rezim apapun. Setiap ideologi dapat dibuka lebar untuk didialogkan demi memberi ruang pada yang lain (lyan). Penghargaan atas keterbukaan dan keragaman inilah yang menjadi pandangan dunia (weltanschauung) posmodernisme.

Filosofi dasar ini tak ubahnya Pancasila sebagai suatu ideologi inklusif dan menghargai keragaman dan perbedaan. Memang sejak perumusannya, Pancasila diramu dari berbagai sudut pandang yang paling cocok dengan keragaman etnis, tradisi, dan agama di Indonesia. Narasinya dapat kita telusuri kembali dalam pidato para tokoh founding fathers termasuk Bung Karno dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berlangsung antara 28 Mei-22 Agustus 1945. Tepat dipoin inilah, tulisan ini akan mengeksplorasi bahwa sesungguhnya Pancasila menubuh dalam diri posmodernisme, dengan mendasarkan pada pidato Sukarno dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI). Bahwa keduanya sama-sama mengiyakan dan respek terhadap perbedaan dan keberagaman.       

Linearitas Pancasila dan Posmodernisme

Pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, tiba giliran Sukarno menyampaikan gagasannya tentang dasar Indonesia Merdeka. Mula-mula dengan wawasannya yang luas Bung Karno mengetengahkan revolusi-revolusi dunia yang terjadi, seperti Uni Soviet (1917), Arab Saudi (1932),  Jerman (1932), dan Tiongkok (1895). Setiap negara ini memiliki dasar negaranya yang disebut philosofische grondslag (dasar filosofis) yang kemudian menjadi pandangan dunianya. Uni Soviet dibawah Lenin dengan Marxismenya, Arab Saudi di tangan Ibnu Saud dengan Islamismenya, Jerman dibawah Hitler dengan nasional-sosialismenya, sementara Tiongkok dalam gagan Sun Yat Sen dengan San Min Cui yaitu: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme.[3]

Itulah beberapa pandangan dunia yang menjadi metanarasi bagi negara-negara lain yang baru merdeka seperti Indonesia saat itu. Namun Sukarno tak tertarik pada satupun narasi agung tersebut untuk diadopsi secara mentah. Alih-alih mengadopsi, dia malah menyatakan keunikan Nusantara dibanding berbagai pandangan lain. Baginya Indonesia memiliki fundamen sosialnya sendiri yang telah hadir ratusan tahun sebelum kemerdekaan itu tiba. Fondasi itu adalah keragaman etnis, budaya, agama, dan tradisi yang menjadi corak hidup masyarakat Indonesia. Maka, dengan demikian sebelum dasar negara dirumuskan, pertanyaan dasarnya menurut Sukarno adalah:

Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk satu orang, untuk satu golongan? Mendirikan Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?[4]
           
Sukarno dengan tegas menolak Indonesia untuk satu golongan, termasuk menolak hanya untuk golongan Islam sekalipun dia sendiri adalah muslim. Sang orator itu kemudian mengajukan dasar negaranya. Pertama yang disebut negara kebangsaan Indonesia. Kebangsaan menurut Sukarno adalah “semua buat semua”. Indonesia bukan hanya buat Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Papua, Bugis, dst. “Bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah Swt tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatra hingga ke Irian.”[5] Inilah yang membedakan nusantara di era kerajaan yang membatasi diri pada area kerajaan masing-masing dengan Indonesia merdeka yang mengakomudir semua bangsa (nation).

Namun begitu, kebangsaan ini jika berlebihan akan melahirkan chauvinisme atau dalam bahasa Sukarno “Indonesia Uber Alles”. Padahal Indonesia hanya satu bagian dari dunia, sementara di dunia ada beragam bangsa, maka perlu satu asas yang mampu mewadahi keragaman di dunia ini, itu yang disebut internasionalisme atau perikemanusiaan sebagai sila kedua. Dengan ini, tidak akan terjadi pengkultusan pada “bangsa Aria” seperti yang dialami Jerman yang kemudian melahirkan tragedi kemanusiaan paling sadis sepanjang sejarah di bawah rezim Nazi.

Lalu bagaimana keragaman ini akan diatur aspirasi-aspirasinya? Sukarno merumuskan sila ketiga yaitu mufakat, perwakilan, dan permusyawaratan. Lewat sila suara-suara golongan akan ditampung dan dirumuskan bersama untuk menyusun hukum yang akomodatif. Lebih jauh disinilah perlunya dibentuk lembaga parlemen yang menjadi badan perwakilan bagi setiap golongan. Inilah medannya bagi golongan Islam, Kristen, dan agama serta golongan lainnya untuk membuktikan kehebatannya masing-masing. Dengan ini Sukarno sekali lagi menegaskan bukan anti terhadap Islam, melainkan dia ingin memperjuangkan Islam melalui mufakat di mana agama kemudian menjadi satu jalan keselamatan. Dia menegaskan begini:
           
Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar  daripada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam […….] Ibarat Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja agar supaya 60,70,80,80 utusan yang duduk diperwakilan rakyat ini orang Islam. Dengan sendirinya hukum yang keluar hukum Islam [……..] baru jikalau demikian hiduplah Islam Indonesia dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja.[6] 
             
Setelah itu, dilanjutkan dengan asas ke empat yaitu kesejahteraan sosial. Yaitu bahwa kemerdekaan haruslah mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan bagi Sukarno tidak memiliki arti apa-apa jika justru kapitalisme yang menyengsarakan merajalela. Rakyat harus menjadi tuan bagi kekayaannya sendiri dan menikmatinya sebagaimana mestinya. Dan asas yang terakhir adalah Indonesia Merdeka berasaskan ketuhanan yang maha esa. Sukarno ingin menekankan bahwa bangsa Indonesia bukan hanya bertuhan tetapi hendaknya setiap orang bertuhan. Lebih jauh “Ketuhanan” ingin mengukuhkan tiadanya “egoisme agama,” keber-agamaan dijalankan dengan berkebudayaan. Pendeknya, setiap agama harus menghormati agama lain. Inilah Pancasila yang dirumuskan Bung Karno.

Kemudian, bagaimana linearitasnya dengan posmodernisme? Pancasila sebagaimana ditegaskan  Sukarno jelas memiliki pandangan dunia yang searah dengan posmodernisme. Tepatnya penolakan atas metanarasi sebagaimana Sukarno lebih memilih dasar negara yang berbasis pada keunikan Nusantara. Artinya pilihan ini menjadi suatu artikulasi untuk meramaikan hidupnya narasi-narasi kecil. Panggung bagi pengakuan atas kebangsaan sebagai penghormatan atas semua suku bangsa yang berbeda-beda. Jelas ini yang turut diinginkan oleh Posmodernisme.

Tak kalah mengesankannya, asas kemanusiaan (humanity) yang membaluti rasa kebangsaan  menaikkan derajat manusia. Ia tidak hanya menjadi satu neraca dalam berbegara, tetapi manusia beserta kemanusiaannya juga diakui keunikannya. Tak seperti modernisme yang terlanjur menakar manusia tak lebih dari sebongkah batu. Maka, mereka ini harus dihargai dengan mensejahteraan kehidupannya.

Dari sisi keber-agamaan, ini yang sebetulnya cukup sensitif, tetapi Sukarno tetap memilih asas “Ketuhanan” bukan kei-Islaman sekalipun dirinya adalah muslim. Bahkan sebagian besar yang hadir dalam sidang BPUKI adalah muslim. Namun Sukarno menempuh jalan yang paling fair yaitu melalui proses permufakatan di Badan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, setiap agama berhak sebagai Subjek di Indonesia untuk menjalankan tuntunannya masing-masing dan mewujudkan idealitas keagamaannya tanpa merecoki agama lain.         

Bhinneka Tunggal Ika dan Melelehnya Makna

Jika posmodernisme seiya-sekata dengan Pancasila, apa keakraban yang dapat digambarkan dari keduanya untuk merayakan selebrasi keberagaman dan pesta inklusifitas? Dalam bidang pemikiran (filsafat) posmodernisme melahirkan postrukturalisme, yaitu suatu corak berpikir yang beralih pada bahasa atau linguistik (lingustic turn). Pendeknya, postrukturalisme menggunakan  bahasa sebagai metode untuk memastikan mata rantai keterkaitan antar elemen-elemen keragaman.

Ada dua cara pandang bahasa yang digunakan oleh postrukturalisme yaitu anti-esensialisme dan teori tentang tanda (sign). Anti-esensialisme di diteorikan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), bahwa bermaknanya suatu tanda (kata atau konsep) bukan karena esensi dari tanda itu sendiri melainkan karena perbedaannya dengan tanda-tanda yang lain. Sebuah buku dapat dipahami sebagai buku hanya karena ia berbeda dengan pulpen, penghapus, pensil, dan benda-benda lainnya.

Artinya, makna pada suatu tanda tidak hadir secara independen, melainkan karena keterhubungannya dengan tanda-tanda lainnya. Suatu tanda tidak bisa dilepaskan dari struktur keterkaitannya dengan tanda-tanda lain.[7] Etnis Madura dapat dipahami sebagai etnis yang unik hanya karena ada Jawa, Bugis, Mandar, Batak, dst. Begitu juga pada pada tradisi-tradisi, agama, dan kebudayaan itu sendiri. Karena itu, segala keberagaman itu harus diletakkan dengan perbedaannya sembari dirangkai dalam satu kesatuan. Itulah bhinneka tunggal itu (unity in diversity).

Kemudian yang kedua, berkenaan dengan teori tanda itu sendiri. Metode ini digeluti oleh tokoh-tokoh macam Roland Barthes, Michael Foucault dan Jean Jaques Derrida. Mereka berpijak pada kiritik atas teori Saussure tentang tanda. Saussure menetapkan bahwa sebuah tanda selalu melibatkan petanda (signifier) dan penanda (signified). Antara petanda dan penanda saling acu, dan makna itu sendiri adalah apa-apa yang ditandakan. Jadi kata kursi selalu mengacu pada kursi atau alat yang diduduki yang nyata di realitas. Relasi antar keduanya ini bersifat arbitrer.[8]

Nah, kemestian relasi antara penanda dan petanda inilah yang dibantah oleh postrukturalisme. Bahwa kursi sebagai petanda tidak mesti bermakna alat untuk duduk, bisa jadi kursi untuk tidur, tempat belajar, penyangga mengambil barang yang agak tinggi, dst. hingga tak berbatas. Di sinilah Derrida hadir dengan teori dekonstruksinya, yang menyatakan bahwa tanda sebagai suatu teks bahasa, maknanya selalu dapat diurai ke dalam bagian-bagian tertentu. Sehingga antara tanda dan makna selalu mengalami perbedaan dan penundaan, karenanya yang tersisa hanyalah jejak-jejak (traces) makna. Pada tanda tertentu maknanya bisa beragam, bahkan hingga tak terbatas.[9] Sementara Barthes hadir dengan model yang agak sedikit berbeda. Dia mengklasifikasi antara makna denotasi dan konotasi. Penundaan makna atau pelelehan makna hanya terjadi pada yang konotatif bukan yang denotatif. Jadi, misalnya, keterhubungan kata kacamata dengan benda kacamata itu sendiri tidak perlu diperdebatkan lagi, itu denotatif. Tetapi apabila kacamata dimaknai sebagai simbol orang jenius maka inilah konotatif, dan maknanya bisa beragam.

Dengan demikian tidak ada makna tunggal yang otoriter karena merasa paling benar. Semua hanyalah tafsir atas tanda tertentu. Di sinilah ruang bagi yang lain dimungkinkan, ruang bagi yang minoritas dan keragaman digelar. Apakah berarti posmodernisme pengusung relativisme nilai? Sama sekali bukan itu visinya, melainkan lebih kepada penghormatan kepada setiap subjek dengan segala keunikan untuk turut tampil di pentas publik. Maka, visi posmodernisme tak ubahnya bhinneka tunggal ika yang menghormati setiap subjek, baik subjek agama, budaya, etnis, dan kebudayaan untuk turut berkiprah dalam kesatuan Republik Indonesia. Bhinneka tunggal menemukan penguatan metodisnya pada poststruktulisme, sementara spirit pancasila berkelindan dengan posmodernisme itu sendiri.

Posmo dan Pancasila, Suatu Keniscayaan

Lalu seberapa kuatkah posmodernisme sebagai suatu corak zaman? Sejauh posmodernisme beserta kerangka filosofisnya, postrukturalisme, mengakomodasi keragaman pemikiran, keragaman, tradisi, etnis dan kebudayaan, maka sejauh itu pulalah posmodernisme tetap menemukan pembenarannya dan karenanya selalu kontekstual. Semakin kita menunjukkan perbedaan-perbedaan tertentu baik lewat penelitian sosial, maupun sains, maka secara tanpa sadar visi posmodernisme dikuatkan. Alhasil pancasila dan bhinneka tunggal ika juga tidak akan pernah lekang oleh zaman.

Penganut khilafah boleh saja berusaha keras menanamkan ideologi jumudnya di penjuru negeri ini. Tak apa menghadirkan bentuknya yang mengerikan lewat aksi teror. Begitu juga dengan narasi-narasi besar lainnya, macam Komunisme, tetapi percayalah bahwa keragaman dan perbedaan itu adalah suatu kepastian dan bahkan ketetapan Tuhan. Dengan demikian pancasila dan cara pandang posmodernisme dengan keragamannya adalah suatu keniscayaan alamiah sekaligus ilahiah.




[1] Martin Suryajaya. Transendensi dan Imanensi. Jakarta Barat: Penerbit Aksi Sepiha. 2009., hal 128-129
[2] Ibid., hal 132
[3] Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI: 22 Mei-22 Agustus 1945. Diterbitkan oleh Ghalia Indonesia atas prakarsa Sektaris Negara Republik Indonesia. 1995., hal 63-70
[4] Ibid., ha 71
[5] Ibid., hal 74
[6] Ibid., hal 77
[7] John Lechte. 50 Filsuf  Kontemporer: Dari Strukturalisme Sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Filsafat. 2001., hal 234
[8] Amir Yasraf  Piliang. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Jogjakarta: Jalasutra. 2003.,hal 158-159
[9] Muhammad Al-Fayyald. Derrida. Jogjakarta. LKiS. 2009., hal 79-81

Posting Komentar

0 Komentar