Oleh: Herlianto A
Sumber: islamtimes.org |
Putusan PTUN (Pengadilan Tata
Usaha Negara) menolak gugatan HTI atas pembubaran dirinya menjadi tebasan
terakhir bagi leher salah satu gerombolan pengusung khilafah tersebut. Secara
formal kegiatan-kegiatan HTI terhenti, namun bagaimana secara non-formal? Belum
tentu. Tepat di point ini HTI seperti memiliki dua nyawa, dan belum betul-betul
menghadapi maut.
Dia masih mungkin menyelinapkan
ideologinya ke kepala-kepala yang sedang kosong di mana harapan sudah pupus,
lewat amarah akan realitas sosial yang tak kunjung mensejahterakan.
Anjuran-anjuran HTI akan masih diyakini sebagai solusi kilat bin instan untuk mengentaskan
penderitaan diri akan himpitan-himpitan sosial yang kian menggencet. Imajinai “bunga-bunga
surga” yang ditebar sepertinya masih lebih wangi ketimbang melati yang mereka
hirup.
Maka, penangkalan HTI selanjutnya
menjadi tugas pendidikan, ruang-ruang diskusi, seminar, dan kegiatan pertukaran
pikiran lainnya. Artinya, pertarungan tetap berlangsung di ruang gagasan. Dan di wilayah ini HTI harus dihadapi secara
demokratis lewat suatu perdebatan yang gentle dengan mengutakan ketajaman
pikiran bukan kutukan apalagi sumpah serapah, dan tentu saja pembuktian-pembuktian
rasional-saintifik.
Kemudian, melihat trend bersosial
masyarakat Indonesia belakangan ini, dunia maya (cyber space) sepertinya
akan menjadi satu medan yang akan dimaksimalisasi oleh HTI untuk menghirup
udara kehidupan lewat satu nafasnya yang tersisa. Lalu kemudian memodifikasi
gagasannya dengan dengan bungkus yang berbeda yang terkesan soft bagi ke-Indonesiaan
kita, sehingga seakan menu baru.
Namun, tentu saja isu hitam-putih
Islam dan non-Islam tetap menjadi isi menu yang menggairahkan itu, yang
kemudian secara terus-menerus didorong ke hadapan meja makan masyarakat yang
sedang kelaparan. Merekapun melahapnya tanpa memeriksa isinya, dan bahkan lupa
minum. Citra yang diinginkan adalah bahwa negara beserta orang-orang yang tidak
setuju dengan HTI telah secara terang-terangan menolak Islam. Maka, pembubaran
HTI adalah indikator anti-Islam yang paling nyata. Islam dijadikan bahasa
universal akan sikapnya yang partikular. Islam diidentikkan dengan tindakannya
sendiri sehingga siapapun di luar dirinya maka berarti non-Islam.
Baca Juga
Hal inilah yang harus disikapi
dengan cerdas dan jernih pasca bubar HTI ini. Karena sama sekali tidak ada
relasi keidentikan antara HTI dengan Islam. Islam tetaplah rumah besar yang
memiliki beragam tafsiran, dan HTI hanya salah satu penafsirnya. Sayangnya,
tafsir HTI tidak sesuai dengan tafsir Islam ke-Indonesiaan, utamanya soal
negara Islam. Dengan demikian, HTI tetap nyata sebagai salah satu penafsir
Islam tetapi secara formal silahkan terapkan di negaranya sendiri (cara wilayah
sendiri) dan jangan di Indonesia. Biarlah Indonesia dengan segala keragamannya
menentukan sendiri tafsir keberilamannya.
Pengidentikan Islam dengan HTI,
sepertinya, akan terus berjalan. Pasalnya, momentum politik nasional masih
membutuhkan isu-isu “tong sampah” tersebut untuk “seolah-seolah” memberi
kepastian kepada muka-muka HTI yang terlanjur kecut akibat putusan PTUN,
sehingga massa yang mereka miliki—yang
belum pecah sepenuhnya—dapat
dikonsolidasi untuk pencoblosan di pemilu yang menjelang ini. Partai Bulan Bintang
(PBB) rupanya yang akan segera mendapat tuah dari massa tanpa induk itu.
Sebagai pernghargaan atas jerih payah Yusril Ihza Mahendra sebagai pembelanya
dalam proses peradilan.
Dengan demikian, kita mesti
pandai memilah antara gerakan-gerakan yang mencoba menunggang pada isu Islamisme
dengan keberislaman itu sendiri. Membumikan Islam dalam spirit berpolitik
berbeda dengan Islam yang dijadikan tunggangan. Yang beredar saat ini adalah
upaya mencoba menunggang pada Islam, faktanya mondar-mandir ke pesantren jelang
pilgub, pilbub, pun pilpres. Membangun isu lewat partai Allah dan partai setan,
serta isu-isu sandal jepit lainnya. Sementara yang belum ditemukan adalah
menjadikan Islam sebagai nafas dan spirit berpolitik, yaitu gerakan politik Islam
yang tanpa berteriak Islam.
0 Komentar