Oleh: Herlianto A
Sumber: maknawi.com |
Gelagat “ulama” paling nyata saat ini adalah berupaya menunjukkan diri sebagai yang paling Islam. Mereka menunjukkan serangkaian bukti, baik pembuktian argumentatif-rasional, berdasar fakta-fakta (empiris), ataupun lewat nash-nash tertentu yang dicocokkan.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan upaya pembuktian, memang
begitu seharusnya Islam dalam bingkai pengetahuan. Motivasi “ber-Islam” memang
haruslah motivasi “menjadi Islam” bukan yang lain. Di sini barangkali
level-level ke-Islaman hadir sebagai konsekuensinya, dan level itu ditentukan
oleh seberapa kokoh kekuatan proses pembuktiannya.
Namun persoalannya, tujuan menjadi Islam menjadidi meleleh begitu
upaya menunjukkan diri sebagai yang paling Islam hanyalah sebatas dalam rangka
pertarungan kekuasaan. Artinya, tidak sungguh-sungguh mencari dan menjadi Islam
tetapi sekedar membuat citra—citra baik bagi dirinya, dan citra buruk bagi
lawan politik. Setelah nafsu politik tercapai maka mengerang klimaks dan
selesai, lalu mendengkur di atas bantal.
Kita dapat melihat banyak contoh kasus betapa wacana agama untuk fore
play. Peristiwa bencana akan diagamaisasi menjadi azab jika menimpa lawan
politik, dan disebut cobaan jika mengenai dirinya. Bagi yang memilih berbeda
pilihan politik disebut sudah keluar dari hidayah Allah, bahkan yang paling
ngeri ada Partai Allah (PA) dan Partai Setan (PS). Dan beberapa orang
dipihaknya diidentikkan dengan Khulafaur Rasyidin agar pernyataannya
menjadi fatwa dan mendulang massa. Menggelikan hingga ke selangkangan memang,
tapi ini ada.
Kunjungan-kunjungan ke pesantren kian rutin dan intensif. Sarung
dipakai saat kunjungan, tanpa mengerti manfaat sarung: bisa dibuat tidur,
ibadah, serta memudahkan saat “nganu”. Ngeres tenan! Tiba-tiba halaman istana
menjadi tempat istigosah bersama “ulama”, walaupun puluhan tahun sebelumnya
pernah ada. Deklarasi kiai muda sebagai kekuatan suatu kubu tertentu, hingga
ada yang mengkritik tak punya tampang kiai. Baru kali ini kiai diukur dari
tampangnya. HTI dibubarkan, (nah kalau ini sudah benar nggak usah diubah
lagi). Namun Pembubaran ini juga bagian dari upaya menunjukkan ke-Islaman tadi.
Baca Juga:
Dari sekian akrobat berbau agamis ini yang dihasilkan tak lain
adalah sebatas mengarahkan mata dan kepala publik pada pilihan politik
tertentu, dan bukan pada keber-Islaman yang dicari. Seperti kita masuk pasar,
lalu dari dari belakang ada yang bilang “salak-salak manis dan murah,”.
Publik (muslim) dijadikan konsumen dengan dihujani oleh narasi
agama bernuansa iklan dan promosi. Celakanya, keber-Islaman kita masih sebatas
keyakinan pada judul berita online. Di mana tanpa peduli isi berita, yang
penting judulnya cocok dengan kebutuhannya maka screen shot dan share,
setelah itu hujat-hujatan di kolom komentar. Ini kemudian disebut dakwah demi
kebenaran. Beginilah kehidupan pasar dan konsumen Islam Indonesia saat ini.
Lalu siapa penjual agamanya? Dialah para “ulama”. Kata ulama yang
saya maksud bukanlah ulama yang sesungguhnya tetapi ulama jadi-jadian yang
memang dibikin dengan dibungkus kain putih hanya kepentingan sesaat. Maka itu
setiap memaksudkan ulama jadi-jadian pakai tanda petik. Jadi saya tegaskan
lagi, ulama yang dimaksud adalah yang baru dua hari pakai sorban sudah disebut
ulama dan turut berjualan, cirinya dikit-dikit teriak “take a bear”, dikit-dikit
menista agama, dikit-dikit ireksi lalu pipis.
Di tangan ulama yang demikian itu “Islam” betul-betul digelar di
lapak-lapak baik online maupun offline. Bahkan bisa juga pesan
antar ke rumah, pembeli tinggal menikmati. Tak berhenti di situ, mereka juga
mendiskonnya hingga 60 persen. Untung sedikit nggak apa-apa yang penting
cepat sold out, agar bisa kulakan lagi. Serta menawarkan berbagai jenis
promo dan model-model terbaru, tak segan memberi voucher umroh, gratis
kaplingan di surga, dengan dua bidadari syantik di dalamnya.
Dengan cara ini konsumen agama tak sempat berpikir untuk apa
membeli agama dalam narasi ulama tersebut. Apakah itu dibutuhkan atau tidak,
apakah barang jualannya orisinil atau KW 9 lantaran ada muatan politik di
dalamnya. Konsumen agama hanya berpikir ini sedang harga promo dan didiskon 60
persen, kapan lagi ada diskon sebesar ini. Ditambah voucher dan hadiah lainnya
yang menggairahkan. Udahlah yang penting beli dulu, soal keaslian barang nanti
saja dipikirnya. Beginilah transaksi agama itu terjadi. Dan transaksi ini yang
terus bikin gaduh.
Nah, setelah “para ulama” itu dapat konsumen setia—dan diberi nama
ikatan konsumen tertentu—berarti dia sudah punya pasar. Kekuatan pasar ini
dijual lagi oleh si “ulama” kepada agen-agen besar lainnya lagi, yang memang
membutuhkan suara konsumen. Larisnya lapak-lapak ulama ini tak lepas dari
politik elektoral yang terus menghantui kita dalam berdemokrasi. Selamat menikmati
menu-menu “ulama” bagi yang sudah kadung tergila-gila.
0 Komentar